Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener, M.Psi., Psi, membagikan sejumlah kiat mengurangi kecemasan serta kekhawatiran bagi orang tua yang melepas anak untuk pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah.
“Pertama, kenali diri kita dulu kebutuhannya seperti apa. Apakah kita termasuk orang yang tipe pemikir atau tipe perasa,” ujar Samanta dalam sesi diskusi virtual, ditulis Jumat.
Jika memiliki kecenderungan sebagai tipe pemikir, maka orang tua dapat menuliskan daftar hal apa saja yang dikhawatirkan serta memikirkan kembali seberapa penting dan dalamnya hal tersebut. Setelah itu, beri peringkat atau rating dari angka 1 hingga 10 untuk menilai tingkat kekhawatiran yang muncul.
“Yang paling dikhawatirkan, contohnya, takut anak ini tidak bisa menjaga prokes dengan baik di sekolah, maskernya suka dilepas. Misalnya, kekhawatiran itu nomor satu dibandingkan dengan yang lainnya. Lalu beri rating. Jadi kita akan tahu solusinya nanti apa,” terang Samanta.
Begitu pula apabila orang tua memiliki kecenderungan sebagai tipe perasa, metode yang digunakan masih serupa yakni dengan pemberian penilaian dari angka 1 hingga 10. Namun pada tipe ini, barometer tingkat kekhawatiran yang digunakan didasarkan pada perasaan.
“Setelah mengetahui kekhawatiran itu, kita tarik nafas, inhale lalu exhale. Selanjutnya kita bisa merasakan bahwa tingkat kekhawatiran, kepanikan, atau kecemasan kita bisa berkurang dengan menyadari bahwa ternyata kita tidak merasakan itu sendirian, ibu yang lain juga pasti merasakan,” katanya.
Selain membuat daftar tingkat kekhawatiran, Samanta juga merekomendasikan teknik lain untuk mengurangi kekhawatiran.
Orang tua dapat melakukan teknik dengan menyusun dan menuliskan satu kalimat afirmasi yang mengandung dua hal yang kebenaran (two things are true) sekaligus mencakup elemen frasa yang tampak berlawanan.
“Jadi ada dua hal yang benar, tapi satu negatif dan satu lagi positif, lalu kita kombinasikan. Contoh kalimatnya: ‘Virus Omicron berbahaya dan saya mampu, kok, melalui ini’,” ujar Samanta.
Menurutnya, teknik tersebut membantu diri individu agar tetap berada dalam level optimis yang realistis. Teknik ini, kata Samanta, harus dilakukan dengan cara dituliskan sebab dengan begitu individu dapat lebih meresapi realita itu ke dalam pikiran serta bermanfaat untuk melatih ketenangan dan penghayatan.
“Kalimat seperti, ‘Ada virus Omicron yang katanya berbahaya dan saya mampu melaluinya’. Itu lebih optimis rasanya juga lebih realistis. Kita yang menulis dan membaca ulang itu jadi merasakan dan mengevaluasi kembali, ‘Oh iya, ya, kenapa saya bisa melalui ini’,” katanya.
Ketika orang tua merasa sudah lebih siap melepas anak untuk menjalankan PTM di sekolah, maka persiapan-persiapan lain dalam masa transisi dari PJJ ke PTM bisa dilakukan secara bertahap. Mulai dari membiasakan diri sendiri agar bangun tidur lebih awal, menyiapkan masker dan handsanitizer untuk anak, hingga menyiapkan suplemen tambahan untuk anak jika dibutuhkan.
Memastikan kesiapan fisik orang tua, kata Samanta, merupakan hal pertama yang perlu diperhatikan sebelum menjalankan aktivitas transisi keluar rumah, seperti mengantar atau mendampingi anak-anak ke sekolah.
“Kita kadang tidak sadar, dua tahun kita di rumah saja begitu keluar ke jalanan, apalagi di kota besar yang macet seperti Jakarta, kita jadi lebih terasa capeknya. Rasanya seperti berhari-hari pergi, padahal cuma beberapa jam saja,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
“Pertama, kenali diri kita dulu kebutuhannya seperti apa. Apakah kita termasuk orang yang tipe pemikir atau tipe perasa,” ujar Samanta dalam sesi diskusi virtual, ditulis Jumat.
Jika memiliki kecenderungan sebagai tipe pemikir, maka orang tua dapat menuliskan daftar hal apa saja yang dikhawatirkan serta memikirkan kembali seberapa penting dan dalamnya hal tersebut. Setelah itu, beri peringkat atau rating dari angka 1 hingga 10 untuk menilai tingkat kekhawatiran yang muncul.
“Yang paling dikhawatirkan, contohnya, takut anak ini tidak bisa menjaga prokes dengan baik di sekolah, maskernya suka dilepas. Misalnya, kekhawatiran itu nomor satu dibandingkan dengan yang lainnya. Lalu beri rating. Jadi kita akan tahu solusinya nanti apa,” terang Samanta.
Begitu pula apabila orang tua memiliki kecenderungan sebagai tipe perasa, metode yang digunakan masih serupa yakni dengan pemberian penilaian dari angka 1 hingga 10. Namun pada tipe ini, barometer tingkat kekhawatiran yang digunakan didasarkan pada perasaan.
“Setelah mengetahui kekhawatiran itu, kita tarik nafas, inhale lalu exhale. Selanjutnya kita bisa merasakan bahwa tingkat kekhawatiran, kepanikan, atau kecemasan kita bisa berkurang dengan menyadari bahwa ternyata kita tidak merasakan itu sendirian, ibu yang lain juga pasti merasakan,” katanya.
Selain membuat daftar tingkat kekhawatiran, Samanta juga merekomendasikan teknik lain untuk mengurangi kekhawatiran.
Orang tua dapat melakukan teknik dengan menyusun dan menuliskan satu kalimat afirmasi yang mengandung dua hal yang kebenaran (two things are true) sekaligus mencakup elemen frasa yang tampak berlawanan.
“Jadi ada dua hal yang benar, tapi satu negatif dan satu lagi positif, lalu kita kombinasikan. Contoh kalimatnya: ‘Virus Omicron berbahaya dan saya mampu, kok, melalui ini’,” ujar Samanta.
Menurutnya, teknik tersebut membantu diri individu agar tetap berada dalam level optimis yang realistis. Teknik ini, kata Samanta, harus dilakukan dengan cara dituliskan sebab dengan begitu individu dapat lebih meresapi realita itu ke dalam pikiran serta bermanfaat untuk melatih ketenangan dan penghayatan.
“Kalimat seperti, ‘Ada virus Omicron yang katanya berbahaya dan saya mampu melaluinya’. Itu lebih optimis rasanya juga lebih realistis. Kita yang menulis dan membaca ulang itu jadi merasakan dan mengevaluasi kembali, ‘Oh iya, ya, kenapa saya bisa melalui ini’,” katanya.
Ketika orang tua merasa sudah lebih siap melepas anak untuk menjalankan PTM di sekolah, maka persiapan-persiapan lain dalam masa transisi dari PJJ ke PTM bisa dilakukan secara bertahap. Mulai dari membiasakan diri sendiri agar bangun tidur lebih awal, menyiapkan masker dan handsanitizer untuk anak, hingga menyiapkan suplemen tambahan untuk anak jika dibutuhkan.
Memastikan kesiapan fisik orang tua, kata Samanta, merupakan hal pertama yang perlu diperhatikan sebelum menjalankan aktivitas transisi keluar rumah, seperti mengantar atau mendampingi anak-anak ke sekolah.
“Kita kadang tidak sadar, dua tahun kita di rumah saja begitu keluar ke jalanan, apalagi di kota besar yang macet seperti Jakarta, kita jadi lebih terasa capeknya. Rasanya seperti berhari-hari pergi, padahal cuma beberapa jam saja,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022