Pakar Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Dr Firman Kurniawan mengatakan kehadiran pemerintah diperlukan untuk pengawasan transaksi Non-Fungible Token (NFT).
NFT sendiri belakangan ini mulai marak digunakan sejak fenomena Ghozali Everyday, dan sejumlah pesohor yang mulai mempromosikan aset digital berbasis teknologi blockchain itu.
Menurut Firman, pemerintah sebagai regulator dapat hadir mulai dari pemberian edukasi akan NFT seperti nilai karya dan keamanan investasi, hingga pengawasan transaksi yang tidak melibatkan "karya" yang sarat akan data pribadi seperti swafoto dengan KTP-el.
"Misalnya, sumber penciptaan nilai seperti apa, publik harus tahu. Mekanisme kenaikan nilainya seperti apa, tercipta dari apa, bagaimana membedakan ini sebagai investasi yang ada jaminannya karena (NFT) tidak ada basis fisiknya, tapi tetap (harus) memiliki kredibilitas, 'produknya' pun bukan konten ilegal dan mengandung unsur data pribadi. Di sini, negara perlu turun," jelas Firman dalam diskusi daring, dikutip pada Jumat.
Adapun kini regulator Indonesia yang terkait dengan NFT dan produk lain di sistem blockchain seperti kripto, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Adapun UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh PSE untuk memastikan platformnya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, Firman mengatakan masyarakat sebagai calon "pelapak" atau "kolektor" NFT untuk tidak ragu dengan pengawasan yang akan dilakukan pemerintah.
"Jangan alergi dengan semua pengawasan, karena itu sifatnya melindungi. Karena kita melihat sekarang, takarannya adalah masyarakat belum tahu betul soal ini (NFT)," kata Firman.
Karena "karya" yang kebanyakan dijual di NFT merupakan karya seni, Firman mengatakan masyarakat dapat memanfaatkan itu sebagai peluang untuk menyalurkan kreativitas.
Namun, ia menekankan penting bagi mereka yang ingin mencoba untuk tidak hanya berorientasi pada cuan belaka, namun juga keamanan, legalitas, yang sekali lagi, diperlukan campur tangan pemerintah di dalamnya.
"Peran pemerintah berada di legalitas. Jangan sampai masyarakat menjadi korbannya. Harus diawasi apakah 'produk' tersebut tidak 'bodong', apakah ada 'penjaminnya'. Dan bagaimana pun ini adalah teknologi informasi, tidak ada satu pun teknologi informasi yang aman, sehingga pemerintah harus melindungi itu semua," jelas Firman.
"Penting juga untuk mengawasi data pribadi dan produk ilegal, serta kemungkinan-kemungkinan lainnya seperti (NFT) yang mungkin bisa digunakan sebagai (media lain) untuk dana terorisme, money laundry, dan korupsi," tambahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
NFT sendiri belakangan ini mulai marak digunakan sejak fenomena Ghozali Everyday, dan sejumlah pesohor yang mulai mempromosikan aset digital berbasis teknologi blockchain itu.
Menurut Firman, pemerintah sebagai regulator dapat hadir mulai dari pemberian edukasi akan NFT seperti nilai karya dan keamanan investasi, hingga pengawasan transaksi yang tidak melibatkan "karya" yang sarat akan data pribadi seperti swafoto dengan KTP-el.
"Misalnya, sumber penciptaan nilai seperti apa, publik harus tahu. Mekanisme kenaikan nilainya seperti apa, tercipta dari apa, bagaimana membedakan ini sebagai investasi yang ada jaminannya karena (NFT) tidak ada basis fisiknya, tapi tetap (harus) memiliki kredibilitas, 'produknya' pun bukan konten ilegal dan mengandung unsur data pribadi. Di sini, negara perlu turun," jelas Firman dalam diskusi daring, dikutip pada Jumat.
Adapun kini regulator Indonesia yang terkait dengan NFT dan produk lain di sistem blockchain seperti kripto, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Adapun UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh PSE untuk memastikan platformnya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, Firman mengatakan masyarakat sebagai calon "pelapak" atau "kolektor" NFT untuk tidak ragu dengan pengawasan yang akan dilakukan pemerintah.
"Jangan alergi dengan semua pengawasan, karena itu sifatnya melindungi. Karena kita melihat sekarang, takarannya adalah masyarakat belum tahu betul soal ini (NFT)," kata Firman.
Karena "karya" yang kebanyakan dijual di NFT merupakan karya seni, Firman mengatakan masyarakat dapat memanfaatkan itu sebagai peluang untuk menyalurkan kreativitas.
Namun, ia menekankan penting bagi mereka yang ingin mencoba untuk tidak hanya berorientasi pada cuan belaka, namun juga keamanan, legalitas, yang sekali lagi, diperlukan campur tangan pemerintah di dalamnya.
"Peran pemerintah berada di legalitas. Jangan sampai masyarakat menjadi korbannya. Harus diawasi apakah 'produk' tersebut tidak 'bodong', apakah ada 'penjaminnya'. Dan bagaimana pun ini adalah teknologi informasi, tidak ada satu pun teknologi informasi yang aman, sehingga pemerintah harus melindungi itu semua," jelas Firman.
"Penting juga untuk mengawasi data pribadi dan produk ilegal, serta kemungkinan-kemungkinan lainnya seperti (NFT) yang mungkin bisa digunakan sebagai (media lain) untuk dana terorisme, money laundry, dan korupsi," tambahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022