Kupang, (Antara) - Indonesia dan Australia adalah dua negara tetangga yang memiliki hubungan panas dingin sejak Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI sampai kepada artikelnya David Jenkins yang mengupas tentang gurita bisnis Soeharto di Indonesia.

        Dalam artikelnya berjudul "After Marcos, now for Soeharto's Million" di The Sydney Morning Herald edisi April 1986, David Jenkins mau menghubungkan kejatuhan Marcos di Filipina dengan kondisi di Indonesia dalam genggaman kekuasaan Presiden Soeharto.

        Tumbangnya Marcos melalui gerakan Poeple's Power di Filipina itu, membuat sang presiden lari terbirit-birit ke luar negeri. Soeharto yang merasa tersindir dengan tulisan wartawan Australia di salah satu koran terkemuka dan berpengaruh di Australia itu jelas murka.

        Langkah yang diambil Pak Harto pada saat itu adalah menghentikan hubungan diplomatik dengan Australia dan melarang wisatawan Australia melancong ke Indonesia.

        Ketika ratu ekstasi Australia Corby ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia, Australia pun mulai berbalas pantun dengan mengancam warganya untuk tidak bepergian ke Indonesia, terutama ke Bali sebagai tujuan wisata.

        Hubungan RI-Australia terus mengalami pasang surut dan panas dingin seperti Tom & Jerry. Hubungan kedua negara kembali memanas ketika intelijen Australia melakukan tindakan penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

        Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas dengan menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia dari Canberra dan menghentikan sejumlah kerja sama antara kedua negara yang sudah disepakati bersama.

        Ketika skandal penyadapan ini belum tuntas penyelesaiannya, muncul lagi ulah AL Australia dengan menerobos masuk ke wilayah perairan Indonesia sekitar tujuh mil dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur saat menghalau dan mendorong masuk sebuah perahu yang mengangkut sekitar 45 imigran gelap, pada Senin (6/1) dini hari.

        Begitulah riwayat hubungan kedua negara bertentangga ini. Australia pernah membantu Indonesia secara nyata saat Tragedi Bom Bali dan petaka tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, dan sebaliknya Indonesia menjadi salah satu pasar utama produk Australia dan investor terbesar ke-9 di Indonesia dengan nilai investasi 700 juta dolar AS.

        Mencermati pasang surut dan panas dingin hubungan RI-Australia ini, pengamat politik Dr Colin Brown dari Griffith University, Brisbane, Australia bertamsil "Hubungan Indonesia-Australia ibarat Roller Coaster: naiknya lambat, tetapi ketika sudah mencapai puncak akan menukik secara cepat".

        Mantan PM Australia Kevin Rudd malah secara jenaka melukiskan relasi diplomatik kedua negara, Indonesia dan Australia seperti Tom & Jerry. Tokoh kartun "kucing dan anjing" tersebut sengaja digunakan Kevin untuk melukiskan panas dingin hubungan kedua negara "yang terkadang penuh bara, namun kemudian mesra".

        Indonesia dan Australia sudah saling berhubungan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan, Australia adalah salah satu negara yang turut mendukung kemerdekaan Indonesia.

        Salah satu bantuan Australia untuk kemerdekaan Indonesia ditunjukkan oleh serikat buruh pelabuhan Australia. Mereka melakukan pemboikotan dan pelarangan kapal Belanda yang membawa persenjataan untuk militer Belanda di Indonesia. Akibat reaksi ini, Belanda melakukan agresi pada tanggal 20 Juli 1947.

        Meskipun demikian, hubungan kedua negara tetap saja seperti Tom & Jerry seperti dilukiskan mantan PM Australia Kevin Rudd, terkait dengan lepasnya Timor Timur dari NKRI melalui referendum pada Agustus 1999. Indonesia menuduh Australia mendukung dan mendorong referendum yang dilakukan oleh Presiden BJ Habibie pada saat itu.

        Hubungan kedua negara kembali memanas pada tahun 2006. Indonesia menarik duta besarnya di Australia. Penyebabnya, kala itu Australia memberikan visa sementara untuk 42 warga Papua. Ke 42 warga Papua itu mengatakan, mereka lari karena dikejar-kejar oleh militer Indonesia.

        Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengontak Perdana Menteri Australia John Howard untuk meminta agar para pengungsi dipulangkan, sebab langkah Australia memberikan suaka tersebut dapat mengganggu hubungan kedua negara.

        Ketika mencuatnya kasus penyadapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terang-terangan menyatakan Australia menjadi penyebab rusaknya hubungan antara negara itu dengan Indonesia.

        "Tindakan (penyadapan oleh) Amerika Serikat dan Australia jelas telah merusak kemitraan strategis dengan Indonesia sebagai sesama negara penganut sistem demokrasi," tulis SBY melalui akunnya, @SBYudhoyono.

        Presiden SBY juga menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang terkesan meremehkan isu penyadapan terhadap Indonesia tanpa menunjukkan rasa penyesalan, padahal sejak kabar penyadapan oleh AS dan Australia itu muncul, Indonesia telah menyatakan protes keras.

        Belum tuntasnya kasus penyadapan terusebut, Australia kembali berulah dengan arogannya memasuki kedaulatan NKRI saat hendak menghalau dan mendorong keluar sebuah kapal yang mengangkut sekitar 45 imigran gelap pada Senin (6/1) dini hari.

        Peraih Civil Justice Award Nasional 2013 dari Aliansi Pengacara Australia Ferdi Tanoni mengatakan Australia telah dengan sengaja melanggar kedaulatan NKRI dengan alasan menggiring keluar para imigran tersebut sampai tujuh mil dari daratan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

        Langkah yang dilakukan Australia tersebut sebuah tindakan pelecehan terhadap martabat dan harga diri Bangsa Indonesia, sehingga sepatutnyalah Jakarta segera mengambil tindakan atas insiden tersebut.

        Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu mengatakan sebagai bangsa yang bermartabat, Australia sepatutnya menghormati kedaulatan NKRI, bukan menciptakan permusuhan dengan tingkah laku arogan dan menganggap Indonesia sebagai bangsa yang tidak ada artinya apa-apa di depan mata Australia.

        Pemerintahan koalisi Australia pimpinan PM Tony Abbott seharusnya menciptakan suasana persahabatan yang saling menghormati terhadap hak kedaulatan masing-masing negara, dengan membangun sebuah kerja sama komplimenter yang saling melengkapi guna mensejahterakan rakyatnya masing-masing.

        IAksi kapal perang AL Australia yang memasuki wilayah perairan Indonesia secara semena-mena itu, setelah Kepolisian Resor Rote Ndao di Pulau Rote, sekitar 40 mil dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur mengamankan 45 imigran gelap asal Timur Tengah yang terdampar di Dusun Kakaek, Desa Lenupetu, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao di Pulau Rote, Senin (6/1).

        Yusuf Ibrahim (28), salah seorang imigran kepada aparat kepolisian di Mapolres Rote Ndao mengatakan kapal yang mereka tumpangi itu digiring oleh tiga kapal perang AL Australia dan enam buah kapal cepat (speed boat) yang digunakan Marinir Australia, sampai ke wilayah perairan Indonesia di dekat Pulau Rote.

        Yusuf Ibrahim kemudian menunjukkan bukti pelanggaran kedaulatan NKRI tersebut berupa JPS yang menunjukkan bahwa kapal perang AL Australia tersebut telah memasuki wilayah perairan Indonesia, sekitar tujuh mil dari daratan Pulau Rote.

        Para imigran tersebut tiba di perairan Pulau Rote pada 6 Januari 2014 sekitar pukul 02.00 Wita pada Senin dini hari, namun baru diketahui oleh warga Desa Lenupetu di Kecamatan Pantai Baru pada pukul 06.00 Wita.

        Pengamat hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa mengatakan tindakan yang dilakukan oleh patroli AL Australia tersebut harus disikapi secara tegas oleh Jakarta dengan cara melayangkan surat protes kepada PM Australia Tony Abbott atas tindak yang tidak menghargai kedaulatan negara lain itu.

        Australia sudah berulang kali melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Indonesia lewat skandal penyadapan beberapa waktu lalu dan sejumlah kisah masa lalu, kini kembali berulah dengan melanggar wilayah kedaulatan NKRI saat mengusir pulang para imigran yang hendak mencari suaka di negeri Kanguru itu.
   Sebagai bangsa yang bermartabat, sepantasnya pemerintahan PM Australia Tony Abbott menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas tindakan AL Australia tersebut, karena bukanlah sebuah persoalan sepeleh dalam membangun hubungan persahabatan antarbangsa.

        Anggota Komisi I DPR-RI Susaningtyas Nefo H  Kertopati berpendapat pemerintah Indonesia harus tegas menghadapi sikap ekstrem Australia dalam menangani masalah imigran.

        Tindakan Australia dalam kasus ini, sama sekali tidak menghormati hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya di wilayah perairan yang tidak bisa dilihat sebagai hal yang biasa dalam hubungan bilateral dua negara.

        Sikap tegas Indonesia yang perlu ditunjukkan adalah mengadakan pertemuan antarmenteri luar negeri kedua negara guna menyelesaikan masalah tersebut, karena kebijakan Perdana Menteri Australia Tony Abbott itu harus ditentang karena negara itu mau enaknya saja dalam hubungan dua negara.

        Pandangan anggota Komisi I DPR-RI itu cukup beralasan dengan mengambil contoh kasus dibakarnya tiga buah perahu milik nelayan Indonesia oleh pihak Bea Cukai dan AL Australia pada Oktober 2013 di Darwin, Australia Utara.

        Sejak bulan Juli lalu, sudah empat buah perahu nelayan asal Indonesia yang dimusnahkan di Australia, dan para awak kapalnya ditahan untuk diproses hukum lebih lanjut.

        John Marrington dari Otorita Pengelola Perikanan Australia mengatakan perahu-perahu tersebut dimusnahkan dengan cara dibakar, karena mengancam lingkungan serta tidak laik berlayar.

        Kasus pemusnahan perahu nelayan Indonesia tersebut, bukanlah sebuah peristiwa baru dalam hubungan diplomatik kedua negara, tetapi jauh sebelumnya kasus serupa juga sudah pernah terjadi.

        Begitulah panas dingin hubungan diplomatik Indonesia-Australia yang dilukiskan oleh mantan PM Australia Kevin Rudd dalam bahasa jenaka seperti film kartun Tom & Jerry, terkadang penuh bara, namun kemudian mesra.

    ***1***

Pewarta: Oleh Laurensius Molan

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014