Keadilan restoratif atau restorative justice memiliki semangat yang sangat bertolak belakang dengan pidana mati.
Ketika keadilan restoratif bertujuan untuk mengoreksi tindakan pelaku kejahatan dan berfokus pada pemulihan kembali. Sementara itu, pidana mati justru merenggut hak untuk hidup dan bersifat permanen. Yang artinya, ketika menerapkan pidana mati, pelaku tidak memiliki kesempatan untuk membenahi perbuatannya yang keliru.
Pidana mati merupakan bagian dari keadilan retributif yang memiliki orientasi untuk menggunakan jalur hukum sebagai tempat melakukan balas dendam sehingga terdapat tendensi untuk memberi hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.
Dalam draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pidana mati sebagai salah satu hukuman yang mungkin diterima oleh para pelaku tindak kriminal. Padahal, para aparat penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung telah menggaungkan komitmen mereka untuk menerapkan keadilan restoratif dalam menangani perkara hukum di Indonesia.
Selain itu, Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin juga telah menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal penerapan keadilan restoratif di Indonesia untuk menjadi solusi atas kekakuan hukum yang selama ini melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai Indonesia sedang berada di dalam masa inkonsistensi. Di satu sisi, Pemerintah, DPR, serta seluruh aparat penegak hukum mengawal implementasi keadilan restoratif sebagai bagian dari reformasi kebijakan hukum pidana.
Di sisi lain, mereka juga masih mendorong adanya praktik hukuman mati, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kasus belakangan ini seperti tuntutan mati untuk terdakwa perkosaan 13 santriwati di Bandung Herry Wirawan, juga tuntutan mati untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat terkait dengan kasus korupsi PT Asabri.
Berbagai kebijakan yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa sedang terjadi dilema di dalam penegakan hukum Indonesia. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyusun RKUHP.
Dilema Publik
Tidak hanya di jajaran pemerintah, hasil survei terhadap publik pun menunjukkan hasil yang dilematis.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan mengungkapkan bahwa di atas 80 persen dari 1.200 responden menyatakan setuju dengan pendekatan keadilan restoratif.
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa sebanyak 96,6 persen dari 2.020 responden menyatakan setuju dengan pidana mati bagi koruptor kelas kakap.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingginya dukungan masyarakat terhadap praktik hukuman mati. Dukungan ini yang akan menyulitkan para penyusun kebijakan untuk menghapuskan hukuman mati dari RKUHP.
Menurut anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, fenomena ini juga menggambarkan inkonsistensi publik secara keseluruhan terkait dengan keinginan untuk melakukan reformasi kebijakan hukum pidana.
Masyarakat menginginkan penerapan keadilan restoratif. Namun, di sisi lain mendengung-dengungkan hukuman mati. Bahkan, sebagian masyarakat tidak akan segan mengkritik dan memojokkan pihak-pihak yang melakukan penolakan terhadap hukuman mati, seperti yang dialami oleh Komnas HAM ketika menolak hukuman mati Herry Wirawan.
"Seolah-olah kalau kita menghukum, bahkan mematikan seseorang, berarti itu adalah kehebatan kita ketika kita melakukan penegakan hukum," kata Taufik.
Oleh karena itu, Taufik berpandangan bahwa akan sulit untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam hal penghapusan hukuman mati di RKUHP.
Guna menuai dukungan masyarakat, Pemerintah harus secara aktif melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman mengenai dampak dari hukuman mati kepada masyarakat.
Namun, sayangnya di dalam tubuh Pemerintah pun, wacana penghapusan hukuman mati pun masih menuai perdebatan. Pro dan kontra terkait dengan penerapan hukuman mati akan terus berjalan di tengah masyarakat.
Keadilan Restoratif dalam RKUHP
Langkah yang paling realistis, menurut Taufik, adalah dengan menambahkan hal-hal yang lebih progresif di dalam RKUHP, yaitu komutasi otomatis, dalam hal ini mengubah hukuman mati menjadi hukuman kurungan seumur hidup secara otomatis.
Komutasi dapat menjadi jalan keluar untuk mengurangi praktik hukuman mati selagi menunggu Pemerintah memperoleh dukungan dari segala pihak untuk menghapus hukuman mati, baik dukungan secara internal maupun dari publik.
Sesungguhnya, kata Taufik, Pemerintah memiliki politik otoritatif untuk mengambil kebijakan progresif terkait dengan isu hukuman mati, asalkan Pemerintah berani berbicara bukan berdasarkan popularisme, melainkan berdasarkan pada keinginan untuk melakukan reformasi hukum pidana berdasarkan keadilan restoratif.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beserta jajarannya dapat menjelaskan mengenai apa permasalahan dari hukuman mati ini dan kenapa hukuman tersebut harus dihapuskan atau dikurangi jumlahnya.
Oleh karena itu, terdapat beberapa peluang yang dapat dilakukan oleh para pihak yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati, baik dari kalangan masyarakat maupun DPR. Peluang pertama adalah melakukan advokasi dan persuasi dengan Pemerintah.
Peluang selanjutnya adalah mendorong Pemerintah untuk menyempurnakan atau memperbaiki RKUHP terkait dengan hukuman mati berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan restoratif. Penyempurnaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mendorong Pemerintah untuk memasukkan beberapa poin mengenai grasi dan komutasi hukuman mati di dalam RUU.
Tidak hanya di dalam RKUHP, hal yang serupa juga dapat diimplementasikan pada penyusunan RUU Pemasyarakatan sebagai wujud reformasi dari lembaga pemasyarakatan, serta RUU Narkotika yang memiliki keterkaitan dengan hukuman mati.
Peluang ketiga adalah tetap mendorong adanya keinginan politik dari Pemerintah untuk bisa melakukan komutasi terhadap hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Taufik meyakini bahwa menyempurnakan RKUHP merupakan wujud konsistensi para pembentuk undang-undang, khususnya Pemerintah, dalam melakukan reformasi hukum pidana yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Sudah saatnya Indonesia berhenti mengglorifikasi praktik hukuman mati dan mulai menumbuhkan semangat keadilan restoratif dalam penegakan hukumnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Ketika keadilan restoratif bertujuan untuk mengoreksi tindakan pelaku kejahatan dan berfokus pada pemulihan kembali. Sementara itu, pidana mati justru merenggut hak untuk hidup dan bersifat permanen. Yang artinya, ketika menerapkan pidana mati, pelaku tidak memiliki kesempatan untuk membenahi perbuatannya yang keliru.
Pidana mati merupakan bagian dari keadilan retributif yang memiliki orientasi untuk menggunakan jalur hukum sebagai tempat melakukan balas dendam sehingga terdapat tendensi untuk memberi hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.
Dalam draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pidana mati sebagai salah satu hukuman yang mungkin diterima oleh para pelaku tindak kriminal. Padahal, para aparat penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung telah menggaungkan komitmen mereka untuk menerapkan keadilan restoratif dalam menangani perkara hukum di Indonesia.
Selain itu, Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin juga telah menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal penerapan keadilan restoratif di Indonesia untuk menjadi solusi atas kekakuan hukum yang selama ini melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai Indonesia sedang berada di dalam masa inkonsistensi. Di satu sisi, Pemerintah, DPR, serta seluruh aparat penegak hukum mengawal implementasi keadilan restoratif sebagai bagian dari reformasi kebijakan hukum pidana.
Di sisi lain, mereka juga masih mendorong adanya praktik hukuman mati, sebagaimana yang terjadi pada beberapa kasus belakangan ini seperti tuntutan mati untuk terdakwa perkosaan 13 santriwati di Bandung Herry Wirawan, juga tuntutan mati untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat terkait dengan kasus korupsi PT Asabri.
Berbagai kebijakan yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa sedang terjadi dilema di dalam penegakan hukum Indonesia. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyusun RKUHP.
Dilema Publik
Tidak hanya di jajaran pemerintah, hasil survei terhadap publik pun menunjukkan hasil yang dilematis.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan mengungkapkan bahwa di atas 80 persen dari 1.200 responden menyatakan setuju dengan pendekatan keadilan restoratif.
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan bahwa sebanyak 96,6 persen dari 2.020 responden menyatakan setuju dengan pidana mati bagi koruptor kelas kakap.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingginya dukungan masyarakat terhadap praktik hukuman mati. Dukungan ini yang akan menyulitkan para penyusun kebijakan untuk menghapuskan hukuman mati dari RKUHP.
Menurut anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, fenomena ini juga menggambarkan inkonsistensi publik secara keseluruhan terkait dengan keinginan untuk melakukan reformasi kebijakan hukum pidana.
Masyarakat menginginkan penerapan keadilan restoratif. Namun, di sisi lain mendengung-dengungkan hukuman mati. Bahkan, sebagian masyarakat tidak akan segan mengkritik dan memojokkan pihak-pihak yang melakukan penolakan terhadap hukuman mati, seperti yang dialami oleh Komnas HAM ketika menolak hukuman mati Herry Wirawan.
"Seolah-olah kalau kita menghukum, bahkan mematikan seseorang, berarti itu adalah kehebatan kita ketika kita melakukan penegakan hukum," kata Taufik.
Oleh karena itu, Taufik berpandangan bahwa akan sulit untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam hal penghapusan hukuman mati di RKUHP.
Guna menuai dukungan masyarakat, Pemerintah harus secara aktif melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman mengenai dampak dari hukuman mati kepada masyarakat.
Namun, sayangnya di dalam tubuh Pemerintah pun, wacana penghapusan hukuman mati pun masih menuai perdebatan. Pro dan kontra terkait dengan penerapan hukuman mati akan terus berjalan di tengah masyarakat.
Keadilan Restoratif dalam RKUHP
Langkah yang paling realistis, menurut Taufik, adalah dengan menambahkan hal-hal yang lebih progresif di dalam RKUHP, yaitu komutasi otomatis, dalam hal ini mengubah hukuman mati menjadi hukuman kurungan seumur hidup secara otomatis.
Komutasi dapat menjadi jalan keluar untuk mengurangi praktik hukuman mati selagi menunggu Pemerintah memperoleh dukungan dari segala pihak untuk menghapus hukuman mati, baik dukungan secara internal maupun dari publik.
Sesungguhnya, kata Taufik, Pemerintah memiliki politik otoritatif untuk mengambil kebijakan progresif terkait dengan isu hukuman mati, asalkan Pemerintah berani berbicara bukan berdasarkan popularisme, melainkan berdasarkan pada keinginan untuk melakukan reformasi hukum pidana berdasarkan keadilan restoratif.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beserta jajarannya dapat menjelaskan mengenai apa permasalahan dari hukuman mati ini dan kenapa hukuman tersebut harus dihapuskan atau dikurangi jumlahnya.
Oleh karena itu, terdapat beberapa peluang yang dapat dilakukan oleh para pihak yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati, baik dari kalangan masyarakat maupun DPR. Peluang pertama adalah melakukan advokasi dan persuasi dengan Pemerintah.
Peluang selanjutnya adalah mendorong Pemerintah untuk menyempurnakan atau memperbaiki RKUHP terkait dengan hukuman mati berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan restoratif. Penyempurnaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mendorong Pemerintah untuk memasukkan beberapa poin mengenai grasi dan komutasi hukuman mati di dalam RUU.
Tidak hanya di dalam RKUHP, hal yang serupa juga dapat diimplementasikan pada penyusunan RUU Pemasyarakatan sebagai wujud reformasi dari lembaga pemasyarakatan, serta RUU Narkotika yang memiliki keterkaitan dengan hukuman mati.
Peluang ketiga adalah tetap mendorong adanya keinginan politik dari Pemerintah untuk bisa melakukan komutasi terhadap hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Taufik meyakini bahwa menyempurnakan RKUHP merupakan wujud konsistensi para pembentuk undang-undang, khususnya Pemerintah, dalam melakukan reformasi hukum pidana yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan restoratif.
Sudah saatnya Indonesia berhenti mengglorifikasi praktik hukuman mati dan mulai menumbuhkan semangat keadilan restoratif dalam penegakan hukumnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022