Bengkulu (Antara) - Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu mempraperadilankan Kementerian Kehutanan dan Kapolri mengenai penangkapan terhadap empat warga komunitas adat Semende Bandingagung, Kaur dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

"Penangkapan masyarakat adat ini cacat hukum karena surat perintah penangkapan yang dikeluarkan sehari setelah penangkapan jelas menyalahi syarat formal penangkapan yang diatur pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," kata Fitriansyah, kooordinator kuasa hukum empat masyarakat adat Semende, Kamis.

Sebanyak 15 advokat memberikan pembelaan hukum kepada masyarakat adat di Bandingagung, Kaur.

Sidang perdana praperadilan digelar pada Rabu (15/1) dan akan dilanjutkan Kamis (16/1) di PN Bintuhan, Kaur, dengan agenda mendengarkan jawaban termohon yakni Kemenhut dalam hal ini TNBBS dan Kapolri atau Kapolres Kaur.

Dalam sidang perdana praperadilan Rabu (15/1), tim kuasa hukum meminta pengadilan negeri Bintuhan, Kaur membebaskan empat orang warga adat itu.

Sebab, tidak ada bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang melakukan tindak pidana sehingga syarat materil penangkapan menurut Pasal 17 KUHAP.

"Selama operasi berlangsung keempat orang yang ditangkap dan warga komunitas adat Bandingagung lainnya telah mengalami berbagai tindakan kekerasan dan intimidasi seperti pemukulan dan tembakan senjata api ke udara," katanya.

Bahkan, rumah-rumah warga dibakar agar segera meninggalkan kampung mereka. Untuk itu kata dia agar melalui praperadilan ini ada keputusan pengadilan yang menyatakan penangkapan dan penahanan itu tidak sah.

Empat warga adat Bandingagung ditangkap dan ditahan pada 23 Desember 2013 dengan dugaan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud Pasal 92 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Mualimin Pardi Dahlan, SH berpendapat bahwa pihak TNBBS dan Polres Kaur belum secara tuntas membaca dan memahami UU No. 18 Tahun 2013 yang dimaksud hingga bertindak secara sewenang-wenang dan cenderung merendahkan martabat masyarakat adat.

"Betul UU ini dibentuk bertujuan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan sekaligus menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan, tapi itu tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional," katanya.

Ketentuan tersebut lanjutnya, ditegaskan pula dalam penjelasan UU bahwa pengecualian terhadap perladangan tradisional diberikan untuk masyarakat adat yang hidup secara turun temurun di dalam wilayah hutan.

Berdasarkan fakta dan temuan lapangan katanya, terdapat kuburan tua Depati Matcannegara Dusun Bandingagung leluhur mereka, peralatan-peralatan peninggalan yang tersisa dan terus dijaga hingga sekarang.

"Juga tata pemerintahan adat dan aturan adat yang masih berlaku, serta diperkuat dengan bukti-bukti berupa dokumen Surat Pemerintah Hindia Belanda melalui Kepala Kewedanaan Kaur tentang Pengangkatan Depati Dusun Bandingagung tertanggal 22 Agustus 1891," katanya.

Ada 10 permohonan para pemohon yang dibacakan antara lain menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, menyatakan penangkapan terhadap diri para pemohon oleh termohon tidak sah dan lainnya.

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014