Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyatakan pemangku kepentingan harus memberi perhatian serius terhadap maraknya kasus pernikahan dini agar kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat terus ditingkatkan untuk menjawab tantangan bangsa pada masa depan.
"Di tengah upaya untuk menjadikan bangsa ini memiliki keunggulan dari bangsa lain, maraknya pernikahan usia anak di Tanah Air harus menjadi perhatian serius dari pemangku kepentingan," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Data Unicef sebelum pandemi COVID-19 memperkirakan 100 juta anak di dunia menjalani pernikahan paksa hingga 10 tahun ke depan. Angka itu diprediksi alami peningkatan hingga 10 persen dari data saat ini.
Lestari Moerdijat antas menyebutkan sejumlah faktor melatarbelakangi tingginya kasus pernikahan anak di Indonesia, antara lain pendidikan, status sosial ekonomi rendah, dan relatif sedikitnya informasi mengenai risiko nikah dini, dan persepsi keliru tentang pernikahan dini juga menyebar di media sosial.
Menurut Lestari, banyaknya faktor yang memengaruhi terjadinya pernikahan usia anak menuntut perhatian yang serius dari banyak pihak agar segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi sejumlah kendala tersebut.
"Selain memengaruhi masa depan bangsa karena terganggunya upaya peningkatan kualitas SDM, pernikahan anak di bawah 19 tahun adalah bentuk pelanggaran hukum," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa praktik tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di sisi lain, menurut dia, pernikahan usia anak menuai risiko kesehatan yang tinggi terhadap ibu muda, anaknya, serta aspek psikologis.
Lestari mengutarakan bahwa tingginya risiko kesehatan pada pernikahan usia anak harus mendorong pemangku kepentingan segera mengatasi ancaman tersebut lewat upaya masif dan berkelanjutan dalam menekan munculnya faktor-faktor pemicu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
"Di tengah upaya untuk menjadikan bangsa ini memiliki keunggulan dari bangsa lain, maraknya pernikahan usia anak di Tanah Air harus menjadi perhatian serius dari pemangku kepentingan," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Data Unicef sebelum pandemi COVID-19 memperkirakan 100 juta anak di dunia menjalani pernikahan paksa hingga 10 tahun ke depan. Angka itu diprediksi alami peningkatan hingga 10 persen dari data saat ini.
Lestari Moerdijat antas menyebutkan sejumlah faktor melatarbelakangi tingginya kasus pernikahan anak di Indonesia, antara lain pendidikan, status sosial ekonomi rendah, dan relatif sedikitnya informasi mengenai risiko nikah dini, dan persepsi keliru tentang pernikahan dini juga menyebar di media sosial.
Menurut Lestari, banyaknya faktor yang memengaruhi terjadinya pernikahan usia anak menuntut perhatian yang serius dari banyak pihak agar segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi sejumlah kendala tersebut.
"Selain memengaruhi masa depan bangsa karena terganggunya upaya peningkatan kualitas SDM, pernikahan anak di bawah 19 tahun adalah bentuk pelanggaran hukum," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa praktik tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di sisi lain, menurut dia, pernikahan usia anak menuai risiko kesehatan yang tinggi terhadap ibu muda, anaknya, serta aspek psikologis.
Lestari mengutarakan bahwa tingginya risiko kesehatan pada pernikahan usia anak harus mendorong pemangku kepentingan segera mengatasi ancaman tersebut lewat upaya masif dan berkelanjutan dalam menekan munculnya faktor-faktor pemicu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022