Denpasar (Antara) - Bentara Budaya Bali, lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia, bekerjasama dengan Udayana Science Club Universitas Udayana menggelar Sinema Bentara menyuguhkan seputar Dokumenter Indonesia dan Gus Dur, 20--21 Februari 2014.

"Kegiatan itu menyuguhkan tujuh film dokumenter dan dua film fiksi terpilih," kata Juwitta Lasut, staf Bentara Budaya Bali (BBB) yang menata kegiatan tersebut, di Denpasar, Rabu.

Ia menyatakan, tujuh film dokumenter dan dua film fiksi pendek yang akan disuguhkan kali ini merupakan sebuah retrospektif kecil, untuk melihat Indonesia sebagai "rumah" dengan laju demokrasi yang  kian dinamis.

Sejumlah judul film yang akan ditayangkan itu, di antaranya berjudul "Begini Lho, Ed!; High Noon in Jakarta", "Konjak Julio; Kubu Terakhir", "Wayang Kampung Sebelah", "Omasido Sekolah", "Indonesiaku di Tepi Batas", dan Kumpulan "Fiksi Pendek Indonesia vol".        
BBB menampilkan hasil Festival Film Solo "Begini Lho, Ed!" yang merupakan sebuah film dengan narasi lugas menceritakan peran Bung Karno dalam memediasi penggunaan ruang publik dan keterlibatan seniman secara kolektif.

Semua itu, menurut Juwita, bertujuan untuk membangun ikon-ikon peradaban yang menggambarkan karakter sebuah bangsa Indonesia dalam perspektif positif.

Sedangkan film berjudul "High Noon in Jakarta" mengisahkan tentang sepak terjang Gus Dur (almarhum KH Abdurrahman Wahid) sebagai sosok yang teguh dan berani dalam menghadapi pergolakan politik, dan  mengambil keputusan dalam pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste yang melibatkan militer Indonesia pada awal reformasi.

Tersirat secara metaforis dalam salah satu adegan sewaktu Gus Dur berolahraga dan jalan pagi di halaman Istana Negara dengan pengawal dan ajudannya, sembari bernyanyi lirih.

Dengan mengikuti perjalanan Gus Dur ke Asia dan Eropa, melalui film tersebut digambarkan situasi diplomasi menghadapi opini internasional terkait kasus Timor Timur.

Melalui film Omasido Sekola, Kubu Terakhir dan Konjak Julio menggambarkan upaya seseorang atau sekelompok masyarakat yang menyadari penting mendapatkan pengetahuan untuk melakukan perubahan nasib agar menjadi lebih baik.

Film dokumenter berdurasi pendek, Wayang Kampung Sebelah, mencoba menghadirkan realitas-realitas sosial yang terjadi di masyarakat, dituturkan secara kocak, segar, ringan dengan muatan satire dan kritis.

Pemilihan alur, penokohan, syair atau lirik lagu dan dialog yang ada, baik dalam pertunjukan maupun yang diceritakan melalui film  merupakan sebuah gambaran nyata kondisi dan situasi masyarakat di negara ini.

"Merekam sejatinya merupakan upaya menyimpan dan menjaga ingatan, melawan kelupaan, ada sebuah refleksi kesejarahan yang menjadi benang merah dari waktu ke waktu, peristiwa ke peristiwa, dari ingatan ke ingatan, dan dari pemikiran ke pemikiran hingga dari generasi ke generasi yang patut senantiasa dijaga," ujar Juwita pula.

Melalui program Sinema Bentara kali ini, diharapkan dapat memberikan wawasan kepada generasi muda agar senantiasa ingat akan sejarah negerinya sendiri, ujarnya lagi.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014