Palu (Antara) - Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) di Sulawesi Tengah hingga kini sudah berhasil menangkarkan sekitar 1.000 ekor burung maleo (macrocephalon maleo).

Kepala Bidang Tehnis Konservasi BBTNLL, Ahmat Yani di Palu, Rabu mengatakan penangkaran satwa endemik Sulawesi itu telah dilakukan sejak 2005.

Lokasi tempat penangkaran burung maleo di Sulteng terletak di Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten  Sigi atau sekitar 50 km bagian selatan Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah.

Dipilihnya lokasi tersebut mengingat satwa langka tersebut banyak ditemukan di kawasan hutan lindung di wilayah itu.

Namun sayang karena sering diburu masyarakat satwa langka tersebut terancam punah dan untuk meningkatkan populasinya, maka dibangun penangkaran.

"Syukur alham dulillah, kini populasi maleo di wilayah itu semakin banyak dan sudah hampir mencapai klimaks," katanya tanpa merinci.

Ahmat Yani mengatakan setelah umur anak maleo sudah bisa terbang, mereka dilepas kembali ke alam bebas.

Ia mengatakan upaya pelestarian dengan sistem penangkaran merupakan solusi paling tepat untuk menghindari burung maleo dari ancaman kepunahan, dan sekaligus meningkatkan kembali populasinya.

Burung maleo mempunyai berat sekitar tiga kg dengan panjang paruh sampai ke ekor kurang lebih 23 cm.

Dalam keadaan berdiri normal, ukuran badan antara jantan dan betina hampir sama.Maleo betina pada bagian punggungnya berwarna hitam dan dibagian dadanya putih bersih serta badan tertutup oleh bulu yang pendek sekitar 2-5 cm.

Sementara maleo jantan pada bagian dadanya berwarna putih kemerah-merahan, bulu sayap berwarna hitam dengan panjang 25 cm dan panjang leher sekitar 14 cm.

Musim bertelur burung maleo sepanjang tahun, namun puncaknya pada sekitar bulan Mei-Oktober. Dalam setahun burung yang lebih senang berjalan dari pada terbang itu bisa memproduksi telur 8-12 butir.

Untuk memproduksi satu butir telur, maleo membutuhkan waktu 7-9 hari, dan telur dibenamkan induk maleo pada lubang yang digali sendiri sampai menetas dengan bantuan panas secara geothermal.

Sementara seorang petugas polisi kehutanan TNLL, Herman Sasia secara terpisah mengatakan, setiap harinya para petugas proyek penangkaran maleo di Desa Saluki masuk-keluar hutan mencari telur-telur maleo untuk selanjutnya dibawa ke tempat pemeliharaan reproduksi alami.

Bagi orang awam mencari telur maleo cukup sulit, karena maleo membuat sarang-sarang tipuan, dan memungkinkan dari 10 sarang yang dibuat hanya satu lubang yang berisi telur.

Tapi bagi mereka yang sudah ahli, mencari telur maleo tidaklah sulit. Anak burung maleo yang baru menetas diberi pakan dari jagung giling halus, kemiri dan kelapa.

Setelah berumur dua bulan, anak maleo hasil reproduksi dilepas kembali ke habitatnya.

Lokasi penangkaran maelo di desa Saluki selain berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penelitian, juga merupakan salah satu obyek wisata yang akhir-akhir ini banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Bahkan ada sejumlah LSM dalam negeri dan internasional melakukan penelitian tentang satwa endemik itu. (Antara)

Pewarta: Oleh Anas Masa

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014