Timika (Antara) - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Papua Matius Murib menegaskan penyelesaian hukum atas konflik Djayanti harus tetap dilakukan setelah dua kelompok yang bertikai berdamai mengingat Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara adat.

"Proses hukum harus tetap dikedepankan setelah dua kelompok ini berdamai dan menghentikan perang. Kalau proses adat itu bisa dilakukan belakangan, karena negara ini negara hukum bukan negara adat," kata Matius Murib di Timika, Jumat.

Komnas HAM Papua datang ke Timika untuk memantau semua perkembangan yang terjadi sehubungan dengan konflik masyarakat Suku Moni dan Dani-Damal di Djayanti-Mayon, Kuala Kencana yang telah berlangsung lebih dari sebulan.

"Kami perlu mengetahui kronologis awal yang memicu konflik dua kelompok warga ini, siapa-siapa yang terlibat dan lainnya," jelas Matius Murib.

Usai melakukan investigasi atas konflik di Djayanti-Mayon Timika itu, Komnas HAM Papua akan memberikan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi utama yaitu agar dua pihak yang berkonflik harus segera berdamai dan menghentikan pertikaian diantara mereka.

Guna mendukung upaya damai tersebut, Komnas HAM Papua meminta partisipasi semua pihak untuk memberikan sumbangsih dalam bentuk apa pun untuk satu tujuan yaitu menghentikan konflik antara warga Moni dengan warga Dani-Damal.

Komnas HAM Papua memandang dibutuhkan adanya perundingan yang baik, komunikasi yang baik antara pihak-pihak yang bertikai untuk sama-sama mewujudkan penyelesaian akar persoalan diantara mereka.

"Kita semua sangat berharap kedua kelompok ini menerima niat baik dari semua pihak yang menginginkan segera ada perdamaian. Agar perang ini bisa dihentikan, tentu sangat bergantung dari sejauhmana negosiasi dan komunikasi yang kita bangun. Di level pemerintahan harus jalan, HAM juga jalan dan tokoh-tokoh masyarakat juga harus ikut memberikan dukungan," harap Matius Murib.

Tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak, Matius pesimistis konflik di Djayanti bisa terselesaikan dalam waktu yang cepat.

"Semua orang harus menyadari bahwa upaya menghilangkan nyawa sesama manusia itu melanggar HAM karena kewenangan untuk mencabut nyawa manusia bukan kehendak manusia sendiri tetapi Sang Pencipta. Di luar itu, atas nama perang atau atas nama kepentingan apa pun tidak bisa ditoleransi usaha menghabisi nyawa orang lain," tuturnya.

Selama konflik berlangsung di Djayanti, tercatat tujuh warga meninggal dunia dan ratusan orang lainnya terluka serta sejumlah rumah warga dibakar massa.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014