Jangan berkata bahwa berpuasa di wilayah minoritas itu sulit dan sepi, bahkan melaksanakan ibadah selama Ramadhan di wilayah minoritas di Bali itu justru sangat indah.
Betapa tidak. Sejak awal, saudara-saudara non-Muslim atau pemeluk Hindu di Bali sudah memberikan sapaan yang indah: "Selamat menunaikan ibadah puasa, Pak, semoga lancar, sehat selalu, sampai Lebaran tiba".
Yang tidak disangka adalah saat menjelang buka puasa yang hampir bersamaan dengan kebiasaan saudara-saudara Hindu di Bali yang melakukan "mantra puja Trisandhya" dengan pengeras suara pada pagi, siang, dan malam.
Nah, saat menjelang buka puasa itu justru mantra puja Trisandhya menjelang pukul 18.00 Wita, ternyata tidak terdengar lagi, karena saudara-saudara Hindu itu menghargai azan maghrib sebagai penanda berbuka puasa.
Bahkan, saat tiba waktu berbuka puasa pun banyak teman yang mengucapkan: "Selamat buka puasa ya, Pak". Sapaan yang bukan hanya menyenangkan, tapi menyiratkan rasa persaudaraan dalam perbedaan.
Tidak hanya sampai di situ, ketika Shalat Tarawih. Di beberapa masjid, musholla, tak jarang terlihat pecalang (keamanan adat Bali) non-Muslim membantu menertibkan parkir, mengatur lalu lintas, menjaga keamanan kendaraan.
"Bu, nanti ibadah (maksudnya, Shalat Tarawih) jam berapa ya? Nanti, saya bantu menjaga kendaraan saudara-saudara yang ibadah (shalat)," kata seorang tetangga non-Muslim yang juga pecalang di banjar/desa.
Secara manusiawi, penghargaan saudara-saudara non-Muslim yang penuh toleransi itu sangat menyentuh hati. Cara menghargai orang berpuasa yang sangat indah bagi kaum minoritas.
Pengalaman toleransi yang lebih indah dikisahkan Ketua LTN NU Kabupaten Badung, Bali, Wandy Abdullah, dalam laman www.aswajadewata.com (12/4/2022), saat ia berinteraksi dengan teman-teman pemeluk Hindu.
Kebetulan, ia bekerja pada sebuah instansi yang setiap hari berinteraksi dan bersosial dengan saudara-saudara Hindu yang berlangsung kurang lebih 4 tahun di Bali.
"Suatu ketika saya diajak acara penyucian diri (melukat), porsi saya ikut itu tidak untuk mengikuti ritualnya, tapi untuk mendokumentasi dan untuk kekompakan," katanya.
Namun, tiba-tiba jam berubah dari rencana diawal, kala itu, direncanakan menuju lokasi pukul 18.30. Ia pun gelisah, karena waktu itu (18.30) bersamaan dengan waktu Shalat Maghrib juga, sedangkan perjalanan kurang lebih 1-2 jam ke lokasi.
Ia pun memberanikan diri untuk izin tidak ikut kegiatan tersebut. "Maaf, pak. Saya mohon izin tidak bisa ikut, karena pukul 18.50, saya punya kewajiban shalat, sedang rencana berangkat ke lokasi penyucian pukul 18.30. Agar tidak mengubah jadwal yang terencana, saya izin," katanya, memohon izin.
Tak lama, pimpinan "melukat" itu justru menjawab singkat, "Ya, kami berangkat setelah kamu selesai shalat," katanya. Jawaban singkat yang merupakan penghargaan dan penghormatan, bukan kepada dirinya, tapi pada keyakinannya.
Bukan hanya cerita
Kisah selanjutnya, Wandy bersama rekan kerja mendapat tugas menjemput salah satu pengurus pusat ke bandara sekaligus mendampingi pimpinan pusat saat di Bali. Tapi sebelumnya, H-1 belum ada kepastian jam penjemputan.
Keesokan harinya, ketika sampai kantor, Wandy bertanya kepadanya kawannya. "Jadi jam berapa?. Sekarang, pukul 12.00".
Kebetulan, hari itu adalah hari Jumat, sehingga Wandy memutuskan untuk tidak ikut karena harus Shalat Jumat.
"Gimana kalau begini, kamu ikut ke Bandara, tapi langsung ke Masjid. Biar saya yang menemui/menjemput ke dalam bandara. Kalau kamu sudah selesai, kabari saya untuk dijemput", ujar rekan kerja Wandy itu.
Sikap yang demikian memang sederhana, tapi baginya itu lebih dari sekadar menghormati, tapi saling membantu/memudahkan orang lain yang berbeda keyakinan.
Bagaimana dengan Ngaji Qur'an (Tadarrus) dengan memakai pengeras suara saat malam hari? Ternyata, ada jawaban dari tokoh masyarakat (Hindu) di Kuta Selatan, Badung, yang diluar dugaan.
"Kami sudah terbiasa dengan suara di masjid ini, dan sama sekali tidak mengganggu," kata teman non-Muslim yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan Masjid Al Fatah.
Hal itu pun dibenarkan oleh Anggota Komisi I DPRD Kota Denpasar I Ketut Suteja Kumara (Hindu) saat mengikuti Buka Puasa Bersama (Bukber) di Musholla "Al-Hidayah Gatsu" di lingkungan Banjar Teruna Sari, Denpasar, Rabu (20/4) petang.
"Saya tahu sendiri warga di Banjar Teruna Sari ini mencerminkan kemajemukan yang sesungguhnya, karena hubungan Muslim dan Non-Muslim di sini bukan hanya cerita atau pembicaraan mulut saja, tapi kerukunan yang harmonis itu benar-benar terjadi di sini," kata legislator dari PDIP Denpasar itu.
Buktinya, kegiatan di Musholla Al-Hidayah Gatsu VI-F ini sejak masih berada di sisi selatan hingga berpindah ke utara dan kini diperluas hingga dua kali lipat dari bangunan sebelumnya itu selalu dijaga para pecalang (aparat keamanan desa adat) non-Muslim, seperti saat Bukber, Shalat Tarawih atau Shalat Jumat.
"Begitu juga kalau ada kegiatan Nyepi disini selalu dijaga pecalang Muslim, demikian pula kalau ada perayaan Natal. Jadi, hubungan antar-masyarakat yang berbeda-beda di sini sangat harmonis," katanya dalam "bukber" bersama anak yatim-piatu yang juga dihadiri tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh Hindu.
Saat menghadiri "bukber" itu, Anggota DPD RI Bambang Santoso, menjelaskan puasa itu bukan hanya menahan nafsu dengan tidak makan dan minum semata, tapi puasa juga bersifat rohaniah, artinya mata juga puasa dari melihat hal-hal yang tidak baik, telinga juga puasa, anggota tubuh lain juga begitu.
"Jadi, puasa bukan tidak makan saja, tapi ucapan juga baik. Ramadhan bukan hanya menjalankan ibadah puasa dan meyakini akidah yang bersifat baku dan langsung kepada Allah, namun juga bermakna menjaga hubungan baik dengan sesama, melalui lisan, mata, telinga, dan segala tindakan yang baik," katanya.
Ya, puasa Ramadhan itu menundukkan jasad dan jiwa/rohaniah untuk Allah, bukan hanya akidah/keimanan/keyakinan dan ibadah/ritual/spiritual, melainkan juga menjaga hubungan baik dengan sesama melalui akhlak/karakter menjadi manusia sesungguhnya dan utuh (jasad, jiwa, akidah, ibadah, akhlak).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Betapa tidak. Sejak awal, saudara-saudara non-Muslim atau pemeluk Hindu di Bali sudah memberikan sapaan yang indah: "Selamat menunaikan ibadah puasa, Pak, semoga lancar, sehat selalu, sampai Lebaran tiba".
Yang tidak disangka adalah saat menjelang buka puasa yang hampir bersamaan dengan kebiasaan saudara-saudara Hindu di Bali yang melakukan "mantra puja Trisandhya" dengan pengeras suara pada pagi, siang, dan malam.
Nah, saat menjelang buka puasa itu justru mantra puja Trisandhya menjelang pukul 18.00 Wita, ternyata tidak terdengar lagi, karena saudara-saudara Hindu itu menghargai azan maghrib sebagai penanda berbuka puasa.
Bahkan, saat tiba waktu berbuka puasa pun banyak teman yang mengucapkan: "Selamat buka puasa ya, Pak". Sapaan yang bukan hanya menyenangkan, tapi menyiratkan rasa persaudaraan dalam perbedaan.
Tidak hanya sampai di situ, ketika Shalat Tarawih. Di beberapa masjid, musholla, tak jarang terlihat pecalang (keamanan adat Bali) non-Muslim membantu menertibkan parkir, mengatur lalu lintas, menjaga keamanan kendaraan.
"Bu, nanti ibadah (maksudnya, Shalat Tarawih) jam berapa ya? Nanti, saya bantu menjaga kendaraan saudara-saudara yang ibadah (shalat)," kata seorang tetangga non-Muslim yang juga pecalang di banjar/desa.
Secara manusiawi, penghargaan saudara-saudara non-Muslim yang penuh toleransi itu sangat menyentuh hati. Cara menghargai orang berpuasa yang sangat indah bagi kaum minoritas.
Pengalaman toleransi yang lebih indah dikisahkan Ketua LTN NU Kabupaten Badung, Bali, Wandy Abdullah, dalam laman www.aswajadewata.com (12/4/2022), saat ia berinteraksi dengan teman-teman pemeluk Hindu.
Kebetulan, ia bekerja pada sebuah instansi yang setiap hari berinteraksi dan bersosial dengan saudara-saudara Hindu yang berlangsung kurang lebih 4 tahun di Bali.
"Suatu ketika saya diajak acara penyucian diri (melukat), porsi saya ikut itu tidak untuk mengikuti ritualnya, tapi untuk mendokumentasi dan untuk kekompakan," katanya.
Namun, tiba-tiba jam berubah dari rencana diawal, kala itu, direncanakan menuju lokasi pukul 18.30. Ia pun gelisah, karena waktu itu (18.30) bersamaan dengan waktu Shalat Maghrib juga, sedangkan perjalanan kurang lebih 1-2 jam ke lokasi.
Ia pun memberanikan diri untuk izin tidak ikut kegiatan tersebut. "Maaf, pak. Saya mohon izin tidak bisa ikut, karena pukul 18.50, saya punya kewajiban shalat, sedang rencana berangkat ke lokasi penyucian pukul 18.30. Agar tidak mengubah jadwal yang terencana, saya izin," katanya, memohon izin.
Tak lama, pimpinan "melukat" itu justru menjawab singkat, "Ya, kami berangkat setelah kamu selesai shalat," katanya. Jawaban singkat yang merupakan penghargaan dan penghormatan, bukan kepada dirinya, tapi pada keyakinannya.
Bukan hanya cerita
Kisah selanjutnya, Wandy bersama rekan kerja mendapat tugas menjemput salah satu pengurus pusat ke bandara sekaligus mendampingi pimpinan pusat saat di Bali. Tapi sebelumnya, H-1 belum ada kepastian jam penjemputan.
Keesokan harinya, ketika sampai kantor, Wandy bertanya kepadanya kawannya. "Jadi jam berapa?. Sekarang, pukul 12.00".
Kebetulan, hari itu adalah hari Jumat, sehingga Wandy memutuskan untuk tidak ikut karena harus Shalat Jumat.
"Gimana kalau begini, kamu ikut ke Bandara, tapi langsung ke Masjid. Biar saya yang menemui/menjemput ke dalam bandara. Kalau kamu sudah selesai, kabari saya untuk dijemput", ujar rekan kerja Wandy itu.
Sikap yang demikian memang sederhana, tapi baginya itu lebih dari sekadar menghormati, tapi saling membantu/memudahkan orang lain yang berbeda keyakinan.
Bagaimana dengan Ngaji Qur'an (Tadarrus) dengan memakai pengeras suara saat malam hari? Ternyata, ada jawaban dari tokoh masyarakat (Hindu) di Kuta Selatan, Badung, yang diluar dugaan.
"Kami sudah terbiasa dengan suara di masjid ini, dan sama sekali tidak mengganggu," kata teman non-Muslim yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan Masjid Al Fatah.
Hal itu pun dibenarkan oleh Anggota Komisi I DPRD Kota Denpasar I Ketut Suteja Kumara (Hindu) saat mengikuti Buka Puasa Bersama (Bukber) di Musholla "Al-Hidayah Gatsu" di lingkungan Banjar Teruna Sari, Denpasar, Rabu (20/4) petang.
"Saya tahu sendiri warga di Banjar Teruna Sari ini mencerminkan kemajemukan yang sesungguhnya, karena hubungan Muslim dan Non-Muslim di sini bukan hanya cerita atau pembicaraan mulut saja, tapi kerukunan yang harmonis itu benar-benar terjadi di sini," kata legislator dari PDIP Denpasar itu.
Buktinya, kegiatan di Musholla Al-Hidayah Gatsu VI-F ini sejak masih berada di sisi selatan hingga berpindah ke utara dan kini diperluas hingga dua kali lipat dari bangunan sebelumnya itu selalu dijaga para pecalang (aparat keamanan desa adat) non-Muslim, seperti saat Bukber, Shalat Tarawih atau Shalat Jumat.
"Begitu juga kalau ada kegiatan Nyepi disini selalu dijaga pecalang Muslim, demikian pula kalau ada perayaan Natal. Jadi, hubungan antar-masyarakat yang berbeda-beda di sini sangat harmonis," katanya dalam "bukber" bersama anak yatim-piatu yang juga dihadiri tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh Hindu.
Saat menghadiri "bukber" itu, Anggota DPD RI Bambang Santoso, menjelaskan puasa itu bukan hanya menahan nafsu dengan tidak makan dan minum semata, tapi puasa juga bersifat rohaniah, artinya mata juga puasa dari melihat hal-hal yang tidak baik, telinga juga puasa, anggota tubuh lain juga begitu.
"Jadi, puasa bukan tidak makan saja, tapi ucapan juga baik. Ramadhan bukan hanya menjalankan ibadah puasa dan meyakini akidah yang bersifat baku dan langsung kepada Allah, namun juga bermakna menjaga hubungan baik dengan sesama, melalui lisan, mata, telinga, dan segala tindakan yang baik," katanya.
Ya, puasa Ramadhan itu menundukkan jasad dan jiwa/rohaniah untuk Allah, bukan hanya akidah/keimanan/keyakinan dan ibadah/ritual/spiritual, melainkan juga menjaga hubungan baik dengan sesama melalui akhlak/karakter menjadi manusia sesungguhnya dan utuh (jasad, jiwa, akidah, ibadah, akhlak).
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022