Jakarta,  (Antara) - 'Kedigdayaan' efek Jokowi yang didengungkan oleh lembaga survei sebelum pemilu sepertinya tak bergaung oleh hasil hitung cepat dalam pemilu 9 April 2014.

        Meski suara PDIP naik rata-rata 4-5 persen dibandingkan 2009 dalam hasil hitung cepat berbagai lembaga, namun suaranya tertahan di kisaran 18 - 20 persen.

        Padahal sebelumnya, antusiasme untuk memperkirakan kemenangan PDIP yang telak dari lawan-lawan politiknya bahkan tembus 30 persen jika Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden.

        Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yudha mengatakan, pada Januari 2014, hasil survei Pol-Tracking Institute menunjukkan jika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) maju sebagai calon presiden (capres) maka perolehan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa mencapai 30,8 persen.

        Jauh meninggalkan Golkar 12,3 persen, disusul Gerindra 6,5 persen dan Partai Demokrat 4,7 persen.

        Hal yang sama diungkapkan survei Indo Barometer. Rilis survei Indo Barometer pada Januari 2014 mangatakan, jika Jokowi dicapreskan PDIP bisa menembus 35,8 persen jika lekas mendeklarasikan Jokowi sebagai capres.

        Jauh meninggalkan kompetitornya Golkar di posisi kedua dengan 15,8 persen dan Partai gerindra pada 7,9 persen.

        Namun ternyata harapan itu juga tidak terlihat dalam survei-survei seusai Jokowi dimajukan sebagai capres pada 15 Maret 2014.

        Poltracking seusai Jokowi diajukan sebagai calon presiden justru tidak memperlihatkan hal itu. Survei elektabilitas partai yang dilaksanakan 17-24 Maret mendapati PDIP sebesar 22,2 persen di atas Golkar 17,2 persen dan Gerindra 7,3 persen.

        Begitu pula dengan hasil survei terbaru Charta Politika yang dirilis 26 Maret 2014, menyatakan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memimpin perolehan elektabilitas dengan 21,2 persen menduduki peringkat pertama.

        Sementara survei Political Communication Institute menyebutkan Joko Widodo masih menjadi magnet elektoral bagi PDI Perjuangan sehingga meningkatkan perolehan suara partai itu dalam Pemilu 2014.

        "PDI-P mampu meraih tingkat keterpilihan sebesar 23,1 persen dinilai responden karena sudah mencalonkan Jokowi sebagai (bakal) capres partai itu," kata Direktur Polcomm Institute Heri Budianto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 3 April 2014.

    
                  Hasil Hitung Cepat
    Sementara itu, berdasarkan hasil hitung cepat yang dilaksanakan sejumlah lembaga pada pemilu 9 April 2014, posisi PDIP teratas dengan perolehan  sekitar 18 - 20 persen.

         Hitung cepat CSIS dan Cyrus Network, PDIP hingga pukul 17.30 WIB tercatat mendapat suara terbanyak dengan 19,1 persen suara nasional disusul Golkar dengan 14,3 persen, Gerindra (11,9 persen) dan PKB (9,5 persen).

         Hasil hitung cepat Radio Republik Indonesia sementara  PDI-P 21,29 mencapai 18,57 persen, diikuti Golkar 14,81 persen, Gerindra 11,58 persen.

         Sementara hasil hitung cepat Jaringan Suara Indonesia menunjukkan perolehan suara PDIP sebesar 18,95 persen, diikutii Partai Golkar dengan 15,8 persen dan ketiga Partai Gerindra dengan 11,49 persen.

         Begitu pula dengan sejumlah hasil hitung cepat lainnya, seperti Indikator Politik Indonesia yang bekerja sama dengan Metro TV, PDIP meraup 19,04 persen suara, disusul Golkar (14,56 persen), Gerindra (12,24 persen).

         Sementara itu, perolehan suara partai lain menurut hitung cepat LSI secara berturut-turut PDIP 19,77 persen, Golkar 14,61 persen suara dan Gerindra 11,80 persen.

                                            
                       Lebih rendah                
   Hasil hitung cepat PDIP tersebut tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya oleh peneliti lembaga survei. Hasil hitung cepat tersebut lebih rendah dari hasil-hasil survei maupun perkiraan sebelumnya.

        Sejumlah lembaga survei menilai, tidak bergaungnya efek Jokowi yang sebelumnya diperkirakan mampu melesatkan PDIP, meskipun PDIP mamu unggul dalam semua hitung cepat.

        "Figur Jokowi ternyata tidak berpengaruh besar untuk meningkatkan elektabilitas partai karena publik bisa menilai memilih partai atau figur presiden," kata Wakil Direktur JSI Fajar S Tamin dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

        Dia menilai kecil kemungkinan sosok bakal calon presiden yang dimiliki sebuah partai dapat meningkatkan elektabilitas parpol. Karena, menurut dia, posisi kader dan mesin partai menentukan pilihan masyarakat kepada partai.

        "Efek popularitas Jokowi tidak signifikan meningkatkan partai, misalnya di Jawa Tengah yang baru Pilkada lebih didorong mesin partai," katanya.

        Fajar menilai mesin partai PDI-P bergerak maksimal sehingga mampu meraih suara pertama dalam Pemilu 2014. Selain itu kader partai juga bergerak maksimal dan efektif dalam menggaet pemilih di tingkat akar rumput.

        "Misalnya di Jawa Tengah, kader di tingkat akar rumput bergerak sehingga meningkatkan suara partai secara signifikan bukan berdasarkan faktor ketokohan," ujarnya.

        Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, mengemukakan popularitas dan elektabilitas Joko Widodo (efek jokowi) sudah tidak "seharum" dulu, sehingga menyebabkan perolehan suara PDI Perjuangan dalam Pemilu Legislatif 2014 tak sebesar yang diperkirakan.

        Menurut Denny, menurunnya efek Jokowi telah dimulai sejak pendeklarasian Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Capres PDIP. Sejak itu kampanye negatif kerap ditujukan kepada mantan Wali Kota Solo itu.

        Kampanye negatif itu antara lain berupa isu ingkar janji Jokowi untuk memimpin ibukota selama lima tahun yang terus digaungkan, serta masalah penyimpangan pengadaan bus Transjakarta yang disangkut-pautkan kepada Jokowi.

        Menurut Denny, jika Jaksa Agung memanggil Jokowi terkait masalah pengadaan bus Transjakarta, maka hal itu akan menjadi masalah besar bagi Jokowi sekaligus perolehan suara PDIP ke depannya.

        "Opini publik sudah lain, karena publik itu tidak selamanya bisa suka terhadap tokoh tertentu. Dulu publik suka sama SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) tapi sekarang turun, begitu juga terhadap Jokowi," kata dia.

        Denny mengaku tidak bisa memprediksikan apakah popularitas Jokowi dapat kembali merangkak naik hingga Pemilu Presiden Juli 2014. Namun dia mengatakan jika Jokowi benar maju sebagai capres, maka Jokowi membutuhkan calon wakil presiden yang dapat menambah perolehan suara dan mampu mengelola pemerintahan.

        Peneliti LSI Rully Akbar menambahkan pencapresan Jokowi kurang mampu mendongkrak suara PDIP secara signifikan karena Jokowi sendiri belum mampu memaksimalkan pencapresannya itu, lantaran baru dideklarasikan sebagai capres di penghujung waktu pemilu.

        Sekretaris Jenderal DPP PPP M Romahurmuziy menyatakan hasil hitung cepat (quick count) perolehan suara partai politik dalam Pemilu Legislatif 2014 mematahkan perkiraan survei yang ramai diumumkan lembaga survei.

        Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Antara di Jakarta, Rabu, Romi, sapaan akrab Romahurmuziy, menyatakan sebelumnya sejumlah lembaga survei memperkirakan partai-partai Islam terpuruk karena tak lagi diminati, sementara akibat Jokowi Effect perolehan suara PDIP melambung tinggi di atas 30 persen.

        Hasil hitung cepat, kata Romi,  juga menunjukkan bahwa fenomena Jokowi effect ternyata hanya rekaan sejumlah lembaga survei.

        "Apa penjelasan lembaga survei yang menyatakan kalau Jokowi dicalonkan sebelum pileg, PDIP bisa mendapatkan 36 persen?" katanya.***1***

Pewarta: Oleh Tim Pemilu Antara

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014