Jakarta (Antara) - Pakar energi Luluk Sumiarso mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak Gas dan Bumi sebaiknya mengatur tentang kepastian entitas SKK Migas sebagai BUMN atau opsi lainnya sebagai Otoritas Hulu Migas.
"Sekarang setelah usulan revisi, apa selanjutnya? penyelenggara kegiatan hulu migas harus lebih diperjelas entitasnya dengan pilihan sebagai BUMN atau Otoritas seperti OJK," kata Luluk yang juga mantan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM di sebuah seminar di Jakarta, Selasa.
Namun, jika menjadi BUMN, dalam diskusi "Visi Misi dan Rencana Strategis Migas dan CBM" itu, Luluk menilai, SKK Migas sebaiknya secara fungsi dan kewajiban berada di bawah koordinasi Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis, bukan Kementerian BUMN.
"Lebih baik tunduknya terhadap Kementerian teknis saja, walaupun entitasnya kuat sebagai BUMN," tuturnya, seraya menambahkan posisinya dapat seperti PT Pertamina.
Menurut dia, SKK Migas yang dibentuk setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 pada 2012, belum memiliki payung hukum yang secara tegas mengatur fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas.
"Hingga kini kan masih hanya sebatas lembaga yang fungsinya langsung diawasi oleh Kementerian ESDM," ujar dia.
Sedangkan untuk alternatif kedua, kata Luluk, posisi SKK Migas sebaiknya disamakan dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan begitu SKK Migas memiliki kewenangan khusus di sektor hulu untuk mengawasi secara langsung industri hulu migas.
Di diskusi yang sama, pakar hukum energi Bisman Bhaktiar dari Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan menambahkan, UU Migas memang sudah sangat mendesak untuk direvisi.
Terkait, pengelolaan industri gas metana batubara (CBM), dia meminta revisi UU Migas harus mengakomodir landasan hukum mengenai investasi asing untuk pengembangan CBM.
"Di UU-nya sekarang, tidak ada satu kata pun tentang CBM. Ke depan harus ada landasan hukum pengelolaan CBM yang jelas. Begitu juga deskripsi mekanismenya, termasuk investasi," ujarnya.***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Sekarang setelah usulan revisi, apa selanjutnya? penyelenggara kegiatan hulu migas harus lebih diperjelas entitasnya dengan pilihan sebagai BUMN atau Otoritas seperti OJK," kata Luluk yang juga mantan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM di sebuah seminar di Jakarta, Selasa.
Namun, jika menjadi BUMN, dalam diskusi "Visi Misi dan Rencana Strategis Migas dan CBM" itu, Luluk menilai, SKK Migas sebaiknya secara fungsi dan kewajiban berada di bawah koordinasi Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis, bukan Kementerian BUMN.
"Lebih baik tunduknya terhadap Kementerian teknis saja, walaupun entitasnya kuat sebagai BUMN," tuturnya, seraya menambahkan posisinya dapat seperti PT Pertamina.
Menurut dia, SKK Migas yang dibentuk setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 pada 2012, belum memiliki payung hukum yang secara tegas mengatur fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas.
"Hingga kini kan masih hanya sebatas lembaga yang fungsinya langsung diawasi oleh Kementerian ESDM," ujar dia.
Sedangkan untuk alternatif kedua, kata Luluk, posisi SKK Migas sebaiknya disamakan dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan begitu SKK Migas memiliki kewenangan khusus di sektor hulu untuk mengawasi secara langsung industri hulu migas.
Di diskusi yang sama, pakar hukum energi Bisman Bhaktiar dari Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan menambahkan, UU Migas memang sudah sangat mendesak untuk direvisi.
Terkait, pengelolaan industri gas metana batubara (CBM), dia meminta revisi UU Migas harus mengakomodir landasan hukum mengenai investasi asing untuk pengembangan CBM.
"Di UU-nya sekarang, tidak ada satu kata pun tentang CBM. Ke depan harus ada landasan hukum pengelolaan CBM yang jelas. Begitu juga deskripsi mekanismenya, termasuk investasi," ujarnya.***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014