Kairo (ANTARA Bengkulu) - Eskalasi politik Mesir kian menghangat setelah Ikhwanul Muslimin, pemenang pemilihan parlemen, mengajukan Khairat Al Shater untuk calon presiden (capres) dalam pemilihan umum (pemilu) presiden yang dijadwalkan pada 23-24 Mei mendatang.

Tokoh bergelar doktor insinyur berusia 61 tahun yang separuh hidupnya di penjara itu selama ini menduduki posisi sentral nomor dua sebagai Wakil Mursyid (Pemimpin Tertinggi) Ikhwanul Muslimin.

Pengusaha sukses itu terpilih sebagai capres dalam pemungutan suara anggota Dewan Syura Ikhwanul Muslimin pada Sabtu (31/3), dengan meraih dukungan 56 berbanding 52 dari 108 anggota.

Setelah pemungutan suara Dewan Syura, Mursyid Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie dan Sekretaris Jenderal Ikhwanul Muslimin, Mahmoud Hussein, mengumumkan hasil voting dan menyatakan Prof Shater sebagai capres resmi Ikhwanul Muslimin.

Mursyid Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie mengatakan, setelah resmi mencalonkan diri untuk capres, Shater akan mengundurkan diri dari jabatan Wakil Mursyid Ikhwanul Muslimin, namun ia tetap sebagai anggota Dewan Syura.

Nama Shater sendiri sebagai kandidat capres itu baru mulai muncul dalam sepekan terakhir.

Padahal sebelumnya, kubu pemenang pemilu parlemen, itu menyatakan tidak akan mengajukan capres dalam pemilu presiden pertama pasca Revolusi.

Selama ini, banyak kalangan menduga, Ikhwanul Muslimin akan menyokong Abdel Moneim Abul Fatouh, salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin, yang sudah beberapa bulan terakhir berkampanye keliling negeri untuk capres.

Dua pekan lalu, Abul Fatouh dilaporkan dirampok dan dibawa lari mobilnya oleh kelompok pria bersenjata tak dikenal.

Abul Fatouh dan supir pribadinya mengalami cedera ringan akibat dipukul kelompok pria bersenjata tersebut.

Sementara itu, para pengamat menilai, pengajuan Shater ini menjadi peluang besar bagi Ikhwanul Muslimin untuk menggantikan presiden terguling Hosni Mubarak.

Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 setelah 18 hari pemberontakan yang dipelopori Ikhwanul Muslimin di Bundaran Tahrir, ikon revolusi di pusat kota ibu kota Kairo.

Sungguh ironis memang, sepanjang 30 tahun kekuasaannya, Mubarak menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi terlarang.

Kendati demikian, sepanjang pelaralangannya, Ikhwanul Muslimin eksis menggalang dukungan bawah tanah untuk melawan rezim Mubarak.

Partai berkuasa pimpinan Mubarak, Partai Nasional Demokrat (NDP), mulai geregetan ketika para pegiat Ikwanul Muslimin mulai menampakkan batan hidung sebagai calon independen dalam pemilu parlemen pada 2005.

Dalam pemilu itu, Ikhwanul Muslimin meraih suara mencengangkan, 80 kursi atau 20 persen anggota legislatif.

Di era Mubarak, memang ada belasan partai oposisi, seperti Al Wafd, Tagammu, Ahrar, dan Al Ghad, namun mereka tidak berkutik oleh NDP, sehingga diibaratkan "bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau."

Sekretaris Jenderal Partai Hurriyah Wal Adalah -- sayap politik Ikhwanul Muslimi -- Ashour Al Helwani, menjelaskan bahwa di kalangan Ikwanul Muslimin sendiri terjadi beda pendapat mengenai capres, namun itu merupakan dinamika dalam demokrasi.

Helwani membantah tudingan dari lawan politik bahwa Ikhwanul Muslimin ambivalen dalam menyikapi pemilihan presiden.

"Perbedaan pendapat itu biasa dalam kehidupan demokrasi. Pengajuan capres itu merupakan hasil dari renungan panjang dan keputusan yang strategis," katanya.

Pengajuan capres dari Ikhwanul Muslimin ini dilakukan di tengah perselisihan hebat di antara kekuatan politik dalam penyusunan konstitusi baru.

Perselihan mengenai penyusunan konstitusi baru itu mendorong Dewan Tertinggi Militer, yang berkuasa, telah dua kali dalam pekan ini mengumpulkan wakil-wakil kekuatan politik memecahkannya, namun belum mencapai titik temu.

DPR dan MPR sebelumnya, telah membentuk Dewan Penyusunan Konstitusi, namun ditentang keras, karena dinilai beranggotakan mayoritas kubu Islam -- Ikhwanul Muslimin dan Salafi -- yang mendominasi 72 persen kursi parlemen.

Separuh hidupnya di penjara
Shater dilaporkan telah berulang kali masuk penjara sebagai tahanan politik di era Presiden Abdel Nasser, Anwar Saddat, dan Presiden Hosni Mubarak.

Bahkan saat jatuhnya Mubarak, Shater masih dalam tahanan politik atas tuduhan pembentukan milisi Ikhwanul Muslimin.

Menurut koran berbahasa Arab, Al Hayat, Ahad (1/4), Shater melarikan dari dari penjara bersama dengan ratusan tahanan lainnya akibat kerusuhan hebat melanda seantero negara pada awal tahun lalu menjelang tumbangnya rezim Mubarak.

Novelis Mohamed Al Mahzangi, kawan kuliah Shater, mengisahkan bahwa saat kuliah di fakultas teknik Universitas Iskandariyah, kota wisata di utara Mesir, pada 1960-an, Shater terkenal sebagai mahasiswa kritis.

Ia sempat masuk penjara 11 tahun karena menggalang demonstrani mahasiswa anti-Nasser, kata Mahzangi.

"Bahkan di era Presiden Saddat juga berulang kali dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan, begitu pula di era Mubarak," katanya, dan mememperkirakan, "Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di penjara."

Kendati demikian, belakangan ini Shalter mulai menunjukkan sikap moderatnya.

Itulah sebabnya, Shater dilaporkan telah beberapa kali belakangan ini menerima kunjungan delegasi Amerika Serikat.

Alhasil, Shater akan bertarung melawan sejumlah kandidat, termasuk mantan Sekjen Liga Arab, Amr Moussa, dan Ayman Nour, tokoh muda oposisi yang pernah bertarung sebagai capres melawan Mubarak pada Pemilu Presiden 2006.

(T.M043/Z002)

Pewarta: Munawar Saman Makyanie

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012