Jakarta (Antara) - Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin berharap penetapan awal Ramadhan atau awal bulan Qamariyah (Hijriyah) dapat ditemui terobosan baru dan diakui semua pihak, tanpa dikotomi dan diskriminasi.

"Saya berharap, saresehan ini kali, ada sebuah terobosan baru dalam proses penetapan awal bulan Qamariyah, terutama Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah," kata Menag saat membuka "Saresehan Mencari Titik Temu Awal Ramadhan 1435 H" di Jakarta, Rabu malam. Sarasehan diselenggarakan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas Islam, berlangsung di  Hotel Millenium.

Menag melihat hal itu sangat penting, agar penetapan awal bulan semaksimal mungkin bisa diakui oleh semua pihak, tanpa dikotomi dan diskriminatif.

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah, baik di Indonesia maupun di beberapa Negara Islam, kerap kali terjadi perbedaan. Dampaknya, masyarakat bawah yang butuh kepastian, rentan bergesekan. Perbedaan terjadi karena banyaknya sistem hisab yang berkembang di masyarakat dan kriteria-kriteria yang digunakan. Di samping juga sisi sosial astronomis maupun sosial agama yang mengiringi penetapan tersebut.

Menentukan awal bulan Qamariyah, ia menjelaskan, menjadi tugas dan kewajiban Kemenag. Sejak 1962, atas nama Pemerintah, Kemenag melakukan Sidang Itsbat (penetapan) awal bulan Ramadhan. Hasil hisab dan rukyat hilal, dikaji bersama, baik oleh Kemenag, organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam, dari kalangan akademis atau perguruan tinggi, dan lain sebagainya, untuk memberi pertimbangan kepada Menag sebelum diambil keputusan.

Lukman menyatakan, keputusan Menag harusnya bersifat resmi dan mengikat, agar umat mempunyai kepastian dan tidak tercerai berai. Meski demikian, jika terpaksa karena beberapa hal, ada masyarakat yang berbeda dengan keputusan Menag, maka jangan sampai perbedaan tersebut membuat masyarakat berkonflik.

"Semoga saresehan ini mampu mencari titik temu, mencari sebuah solusi yang bisa menyatukan berbagai perbedaan dalam ormas Islam," ia berharap.

Sebelumnya, Pgs Dirjen Bimas Islam, Abdul Djamil mengatakan bahwa Indonesia bersama negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sepakat untuk menentukan beberapa patokan syarat-syarat penentuan awal bulan Qamariyah.  

MABIMS sepakat dalam beberapa patokan penentuan awal bulan, semisal tinggi hilal minimal 2 derajat dengan waktu minimal 8 jam, dan lain sebagainya, kata mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini.

Djamil menyatakan bahwa Ditjen Bimas Islam bahkan pernah mengikuti Saresehan di Turky tentang penentuan awal bulan. "Hasil di Turky adalah, peserta sepakat untuk berbeda," terang Djamil.

Menurut Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, Izzuddin, saresehan ini diikuti tidak kurang dari 37 perwakilan Ormas Islam se-Nusantara, dan bertujuan untuk menyamakan persepsi antar-ormas, agar saat sidang Itsbat berlangsung, masing-masing perwakilan ormas dapat memecahkan perbedaan sebaik mungkin.

"Jika toh tidak ditemukan titik temu dan tetap mengambil jalan berbeda, para tokoh ormas ini bisa menjaga dan menjamin masyarakat di bawah tidak konflik," tutur Izzuddin. ***3***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014