Pukul 03.00 WIB, tiga mobil bernomer polisi Jakarta menembus embun yang mulai turun di tanah Banten. Tujuan mereka ke Pelabuhan Penyeberangan Merak.

         Hati berharap cemas. Akankah pengalaman dua tahun lalu (2014) terulang kembali. Kabar dari media menyebutkan, pelabuhan Merak sudah mulai padat, perlu dua jam menanti agar kenderaan pribadi bisa masuk ke perut ferry.

         Terlebih lagi, manajemen Angkutan Sungai Danau Penyeberangan (ASDP) Merak sudah memprioritas kenderaan pribadi mulai H-4. Truk ekspedisi diimbau untuk tidak menggunakan pelabuhan Merak sementara ini.

         Lepas pintu toll Merak, hati masih lega. Antrian hanya terjadi pada pintu keluar. Setelah itu, di depan pompa bensin, berdekatan dengan restoran Minang, jalan berhenti, plek. Akankah kisah lama akan terulang.

         Hingga matahari meninggi, udara dingin semula membelai kulit, berubah hangat, nanti pasti akan menyengat. Pukul 09.00, kenderaan belum juga mengarungi Selat Sunda.

         Sampai kapan pulang basamo menjadi merutuk basamo? Wajah-wajah lelah sopir bernopol polisi B, A, F, D dan lainnya harus berulang kali maklum dengan kondisi ini.

         Bukan petugas ASDP dan kepolisian yang tidak sigap mengatur mobil pribadi yang sejak awak kemacetan ingin menjadi terdepan. Bukan pula karena kapalnya yang tak cukup -- ASDP Merak menyediakan 28 kapal ro-ro tahun ini-- sehingga masa sandar dan berangkat menjadi lama.

        Namun, lebih pada volume kenderaan yang terus meningkat. Kemacetan ini buah pembangunan yang menjadikan masyarakat semakin banyak memiliki kenderaan pribadi dan semakin banyak pula yang melakukan traveling, menapak nostalgi masa kecil atau sekadar mencium kening dan berahrap restu bunda di kampung di kala lebaran.

         Jika pemerintah tidak memgambil kebijakan yang berani, maka asa membangun Jembatan Selat Sunda (JSS) akan terus menjadi angan-angan. Semua pihak sudah saatnya berfikir bahwa keberadaan jembatan untuk menghubungi dua pulau berpenduduk terbesar di Indonesia sudah menjadi keharusan.

         Bukan saatnya lagi untuk berfikir tentang nilai ekonomis atau urgensi sebuah jembatan bagi kedua pulau ini, apa lagi dengan pemikiran curiga, bahwa jembatan hanya menguntungkan provinsi Banten dan Lampung.

         Pandangan itu, terlalu naif karena yang diuntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penduduk dari Aceh hingga Banyuwangi, apapun etnik dan agamanya, karena bus antarkota antar-provinsi dan truk-truk berbagai muatan masih rajin menyusuri ujung timur tanah Jawa hingga ujung barat tanah Sumatera.

         Mimpi menghubungkan Jawa dan Sumatera bukan angan baru. Dia sudah tercetus dan terfikirkan secara serius sejak jaman Soekarno, lalu Soeharto, dan selalu menjadi pembicaraan hangat (kemudian mendingin lagi) pada era-era presiden berikutnya di berbagai kesempatan.

         Orang Sumatera menggambarkan kondisi ini dengan kalimat, "Serasa esok sudah akan jadi, tetapi nyatanya masih terus bermimpi."

    Sedyatmo

    Dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa gagasan pembangunan Jembatan Selat Sunda bermula dari ide Prof. Sedyatmo (alm), guru besar ITB) pada 1960 dengan nama Tri Nusa Bima­sakti (penghubung tiga pulau, Sumatera, Jawa dan Bali).

         Soekarno, pada 1965 memerintahkan pembuatan disain, lalu muncul ide pembangunan terowongan. Di era Soeharto, Bapak Pembangunan itu, meminta BJ Habibie (Menristek) mengaji lagi kemungkinan pelaksanaannya yang melahirkan kesimpulan membangun jembatan lebih layak dari pada membangun sebuah tero­wong­an di bawah dasar laut.

         Di era Habibie, ide pembangunan jembatan tergerus pada pemulihan ekonomi yang menyita banyak perhatian pascareformasi. Di era Megawati, satu jembatan yang menghubungkan Jawa-Madura terwujud.

         Lalu, di era SBY, setelah lama adem, sebuah perusahaan mencoba menjaga cita-cita Prof. Sedyatmo, menghubungkan tiga pulau, Sumatera, Jawa dan Bali, terutama Sumatera dan Jawa.

         Berbagai lontaran pendapat muncul, baik dari kalangan pemerintah, maupun swasta. Termasuk lontaran dari swasta yang menyatakan, JSS itu bukan prioritas karena dana Rp100 triliun
(pendapat lain mengatakan Rp200 triliun) bisa digunakan untuk pengembangan koneksitas alternatif lain, yakni transportasi kapal untuk menjaga Indonesia sebagai negara maritim.

         Untuk sebuah ide, masyarakat --yang sudah pasti warga Indonesia juga-- dari Sumatera dan ingin ke Jawa atau sebaliknya, dengan melalui jalur darat, diminta untuk terus bersabar melakoni bongkar muat kapal ferry yang berdurasi empat jam, dua jam untuk masuk dan keluar ferry dan dua jam berlayar ke pulau seberang. Itu belum termasuk antri untuk menunggu giliran.

        Artinya, jika dengan jembatan hanya dibutuhkan waktu 0,5-1 jam saja untuk sampai ke seberang Sumatera atau sebaliknya.

        Pembangunan jembatan tidak akan merusak citra bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, karena Jepang yang juga negara kepulauan membangun banyak jembatan untuk menghubungkan satu nusa ke nusa lainnya, di sisi lain, armada maritimnya tetap berjaya mengarungi laut dunia.

        Tidak kurang dari Kepala BPK, Rizal Djalil, tidak mempermasalahkan sumber pembiayaan studi kelayakan JSS, apakah menggunakan anggaran pemerintah atau swasta.

         Badan ini mendukung karena JSS membuat distribusi barang, jasa dan pergerakan di Jawa-Sumatra akan jauh lebih efisien
    Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) Armida Alisjahbana menyatakan salah satu proyek yang akan diserahkan kepada pemerintahan mendatang adalah mega proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) senilai Rp200 triliun.

        Terserah presiden berikut untuk memutuskan apakah melanjutkan atau tidak, rakyat menanti.

        Pukul sudah 10.30 WIB, matahari selat terasa menyengat. Pak Polisi dan petugas ASDP meniup peluit berkali-kali. Tangan mereka berayun ke atas dan ke bawah, kadang memutar mengatur kenderaan yang ingin meloncat menyambut ferry yang belum sempurna bersandar.

         Setelah tujuh jam, akhirnya mobil bergerak juga. Bau air laut yang menguap bercampur bau anyir khas ferry. Sekali mesin berderap, pantang surut ke belakang. Berangkaaat!!. ***2***

Pewarta: Oleh Erafzon SAS

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014