Bengkulu, (Antara) - Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) HuMA dan Rumah Literasi Yayasan Akar Bengkulu mengelar bedah buku dan diskusi Publik yang diselengarakan di salah satu Ruangan Rektorat Universitas Bengkulu.
Acara yang dihadiri oleh berbagai elemen dari AJI (Aliansi Jurnalis Indenpenden), KAMMI, jurnalis di Kota Bengkulu, KPID (Komisi Penyiaran Daerah) serta mahasiswa Unib diselenggarakan pada Jumat (22/8).
Direktur Rumah literasi Yayasan Akar Bengkulu Andiko mengatakan tujuan digelarnya diskusi yang bertemakan "Pluralisme Hukum dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Lokal Atas Kekayaan AAlam : Kisah Sukses di Indonesia" ini adalah salah satu program rangkaian untuk mempromosikan hukum adat yang ada agar Rakyat Indonesia memaknai hukum adat yang berlaku di Indonesia dan harus mengakui hukum itu.
Selain itu acara tersebut juga bertujuan untuk memperkenalkan hukum rakyat (Hukum Adat) pada aktivis hukum agar mengerti pentingnya hukum adat yang berlaku di negara Indonesia.
"Rangkaian acara ini dimulai hari Kamis dengan agenda bedah buku yang berjudul Pluralisme Hukum dan ini merupakan rangkaian dari acara tersebut tujuan kami adalah untuk mempromosikan hukum adat yang ada agar rakyat Indonesia memaknai hukum adat yang berlaku di Indonesia dan harus mengakui hukum itu," kata dia.
Selain itu menurutnya hukum adat mesti dipahami dan disikapi dengan banyak faktor agar tidak berbenturan dengan hukum negara yang berlaku di suatu wilayah dimana hukum adat berlaku.
"Hukum negara dan hukum adat tentunya harus kita pahami dengan memahami konsep-kosep yang berlaku dalam suatu hukum yang diterapkan di wilayah dimana keduanya berlaku," imbuhnya.
Ia menambagkan menurutnya Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
lebih lanjut ia mengatakan bahwa keberadaan hukum adat sangat penting di masyarakat.
"Penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan," tuturnya.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia, merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang diterima oleh masyarakat.
Ditambahkan oleh Direktur HuMa itu ada beberapa daerah provinsi yang masih memberlakukan hukum adat.
"Seperti di daerah Kalimantan Tengah, Papua, Sumatra Barat, dan Aceh hukum adat ini masih berlaku harapan kita MK bisa memberikan keputusan hukum ini dapat disahkan dalam keputusan hukum tata negara,"imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
Acara yang dihadiri oleh berbagai elemen dari AJI (Aliansi Jurnalis Indenpenden), KAMMI, jurnalis di Kota Bengkulu, KPID (Komisi Penyiaran Daerah) serta mahasiswa Unib diselenggarakan pada Jumat (22/8).
Direktur Rumah literasi Yayasan Akar Bengkulu Andiko mengatakan tujuan digelarnya diskusi yang bertemakan "Pluralisme Hukum dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Lokal Atas Kekayaan AAlam : Kisah Sukses di Indonesia" ini adalah salah satu program rangkaian untuk mempromosikan hukum adat yang ada agar Rakyat Indonesia memaknai hukum adat yang berlaku di Indonesia dan harus mengakui hukum itu.
Selain itu acara tersebut juga bertujuan untuk memperkenalkan hukum rakyat (Hukum Adat) pada aktivis hukum agar mengerti pentingnya hukum adat yang berlaku di negara Indonesia.
"Rangkaian acara ini dimulai hari Kamis dengan agenda bedah buku yang berjudul Pluralisme Hukum dan ini merupakan rangkaian dari acara tersebut tujuan kami adalah untuk mempromosikan hukum adat yang ada agar rakyat Indonesia memaknai hukum adat yang berlaku di Indonesia dan harus mengakui hukum itu," kata dia.
Selain itu menurutnya hukum adat mesti dipahami dan disikapi dengan banyak faktor agar tidak berbenturan dengan hukum negara yang berlaku di suatu wilayah dimana hukum adat berlaku.
"Hukum negara dan hukum adat tentunya harus kita pahami dengan memahami konsep-kosep yang berlaku dalam suatu hukum yang diterapkan di wilayah dimana keduanya berlaku," imbuhnya.
Ia menambagkan menurutnya Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
lebih lanjut ia mengatakan bahwa keberadaan hukum adat sangat penting di masyarakat.
"Penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan," tuturnya.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia, merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang diterima oleh masyarakat.
Ditambahkan oleh Direktur HuMa itu ada beberapa daerah provinsi yang masih memberlakukan hukum adat.
"Seperti di daerah Kalimantan Tengah, Papua, Sumatra Barat, dan Aceh hukum adat ini masih berlaku harapan kita MK bisa memberikan keputusan hukum ini dapat disahkan dalam keputusan hukum tata negara,"imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014