Jakarta (ANTARA) - Tahun Baru 2024 bisa jadi menyisakan luka andai polisi tidak menangkap enam remaja bersenjata tajam yang hendak tawuran di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat. Kawanan remaja itu diamankan 5 jam setelah kembang api menyemarakkan langit Jakarta.
Membekali senjata tajam jelas bukan bagian persiapan untuk merayakan pergantian tahun, melainkan tindakan pidana yang mengancam nyawa diri dan orang lain.
Peristiwa tersebut kembali jadi pengingat bagi DKI Jakarta bahwa kasus kekerasan, dalam hal ini yang dilakukan oleh anak-anak, mesti mendapat perhatian khusus.
Kekerasan terhadap anak--apa pun latar belakang dan motifnya--memang masih menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak, antara lain, lembaga pendidikan, penegak hukum, institusi agama, hingga orang tua.
Di sisi sama, juga tidak sedikit kekerasan yang dilakukan oleh anak. Keduanya tentu membutuhkan pendekatan dan treatment yang berbeda dalam menanganinya.
Selama ini publik mengonsumsi beragam informasi tentang advokasi-advokasi yang dilakukan untuk membela anak korban kekerasan, entah yang diinisiasi lembaga pemerintah atau lembaga nonpemerintah. Bahwa pelaku kekerasan terhadap anak mesti mendapatkan hukuman yang layak, bahwa anak (korban) mesti mendapatkan perhatian terbaik dari semua pihak. Sampai di sini, publik tentu setuju.
Kasus kekerasan oleh anak dengan korban sesama bocah di bawah umur atau dewasa sudah seharusnya juga menjadi perhatian semua pihak.
DKI provinsi ramah anak
Pada Juli 2023, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meraih penghargaan sebagai Provinsi Layak Anak (Provila) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Hal tersebut tertuang dalam implementasi Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Secara praktis, komitmen provinsi ramah anak dilihat dalam upaya sekolah-sekolah meraih predikat Sekolah Ramah Anak (SRA). Pada September 2022, DKI mendeklarasikan 288 SRA. Jumlah tersebut diupayakan terus bertambah hingga sekarang.
Misalnya di Jakarta Barat, 200 sekolah sudah mengantongi SK sekolah ramah anak dari wali kota setempat dan kini sedang dalam proses sosialisasi untuk diseleksi dan dipilih untuk diajukan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Demikian juga dengan rumah ibadah ramah anak. Jakarta Barat, misalnya, telah mendeklarasikan delapan rumah ibadah ramah anak dari berbagai agama pada 19 Desember lalu. Ada beberapa upaya lain yang dilakukan DKI untuk mengimplementasikan predikat ramah anak.
Salah satu yang perlu mendapat perhatian lebih adalah diselesaikannya kasus kekerasan oleh anak sebagai pelaku melalui jalur diversi, pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Dalam penyelesaian perkara melalui jalur tersebut, anak pelaku kekerasan didamaikan dengan korban di luar jalur peradilan dengan mengutamakan dialog atau musyawarah.
Di Jakarta Barat, misalnya, terdapat 424 kasus dengan pelaku anak pada tahun 2022. Dari 424 kasus tersebut, 134 kasus diselesaikan melalui jalur diversi. Sementara itu, pada semester awal tahun 2023, terdapat 95 kasus dengan 35 kasus di antaranya diselesaikan melalui diversi. Adapun mayoritas dari kasus tersebut itu tawuran.
Pada titik ini, muncul pertanyaan spontan pada benak publik. Apakah anak pelaku kekerasan itu seharusnya diberi efek jera atau difasilitasi dengan jalur damai? Bukankah hal tersebut dapat membuat pola pikir "kebal hukum" tertanam dalam benak dan perilaku anak.
Lebih jauh lagi, bukankah tindakan tersebut dapat membuat perilaku tersebut memicu efek domino, diikuti oleh anak yang lain dengan alasan mendapat perlindungan yang sama?
Di Jakarta, tingginya angka kekerasan terhadap anak juga diiringi oleh tingginya angka kekerasan oleh anak. Pada tahun 2023, khususnya periode Februari sampai dengan September 2023, telah terjadi 591 kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta. Sementara itu, 781 kasus kekerasan oleh anak juga terjadi di daerah tersebut selama 2023.
Dalam situasi tersebut, muncul banyak pandangan. Satu di antaranya mengatakan bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan tidak boleh semata-mata dipandang sebagai pelaku. Hal pertama yang mesti dilakukan adalah melihat anak sebagai korban. Hal tersebut berarti kekerasan yang dilakukan oleh anak adalah efek sistemik dari lingkungan sosial, terutama dari lingkungan rumah atau keluarga.
Kepala Suku Dinas (Sudin) PPAPP Jakarta Barat Aswarni menyebut bahwa hukuman keras tidak boleh secara serampangan dikenakan kepada remaja di bawah 18 tahun tetapi harus ditelusuri situasi keluarganya, situasi lingkungan anak bersangkutan.
Anak yang terlibat tawuran juga tidak boleh langsung dikeluarkan dari sekolah, tetapi harus ditelusuri dulu situasi keluarganya. Penelusuran tersebut berguna untuk mengambil kesimpulan yang komprehensif terkait perilaku menyimpang anak sehingga solusi yang diberikan juga benar-benar baik untuk anak dan baik juga untuk penyelesaian kekerasan.
Dikeluarkannya anak dari sekolah karena perilaku menyimpang, misalnya, terlibat tawuran, merupakan justifikasi yang timpang dan tidak memberi efek didik pada anak tersebut.
Peran kooperatif dari semua pihak, mulai dari sekolah, kepolisian, orang tua termasuk sistem sosial atau masyarakat dipercaya dapat menyelesaikan atau setidaknya menekan angka kekerasan yang dilakukan oleh anak.
Oleh karena itu, Aswarni menekankan pentingnya komunikasi dan penyelesaian masalah antara pihak sekolah, orang tua, dan kepolisian. Kekerasan oleh anak adalah masalah yang kompleks dan harus dicabut di akarnya, bukan hanya dengan menjustifikasi pada tindakan praktis semata.
Pemicu kekerasan
Ketua Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Jakarta Barat Sri Susilarti merinci beberapa alasan mendasar, mengapa anak terlibat dalam perilaku kekerasan. Latar belakang tersebut dirangkum dari pengakuan anak-anak pelaku kekerasan, terutama tawuran, yang dibina di tempatnya.
Menelusuri akar masalah untuk meredam kekerasan oleh anak
Selasa, 2 Januari 2024 11:16 WIB 1012