Lulus dari Ujian Nasional (UN) adalah kunci yang harus dipegang oleh setiap siswa sekolah tingkat akhir untuk membuka pintu ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Setiap tahun usai penyelenggaraan UN, media massa ramai memberitakan tingkat kelulusan di setiap provinsi di Indonesia yang diwarnai dengan kisah para siswa yang menderita stres akibat gagal menempuh ujian.

Berita tentang UN juga tak pernah lepas dari dugaan kecurangan yang terjadi di sejumlah daerah seperti kebocoran soal dan praktik menyontek massal.

UN yang sejak pertama kali diselenggarakan telah mengundang kontroversi sampai pelaksanaannya pun pernah digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhirnya menjadi momok yang harus dihadapi oleh para siswa sekolah tingkat akhir sehingga segala cara pun bisa dilakukan untuk meraih kelulusan.

Namun bagi pasangan kembar Wanda Safitri Ayu dan Winny Safitri Asih, serta dua kawannya, Aldila Nursafitri dan Indy Ghrayudha, UN tidak tergambar di benak mereka bagaikan hantu yang harus ditakuti.

"Sudah siap," ujar Wanda yang serupa dengan kembarannya, Winny, harus terikat dengan kursi roda.

Keduanya dengan gagah menjawab lantang "Amin" ketika ditanya tentang keyakinan lulus dari UN. Jawaban senada juga dilontarkan oleh Aldila dan Indy.

Keempatnya adalah siswa kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Bandung yang berlokasi di Jalan Mustang, Kota Bandung. Mereka terdaftar sebagai peserta UN untuk tingkat SMP yang dilaksanakan pada 23-26 April 2012 dan akan menempuh ujian untuk empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Ketika ditemui di kompleks sekolah YPAC pada Selasa 10 April 2012, mereka baru saja menyelesaikan ujian sekolah untuk mata pelajaran matematika serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).

Air muka mereka tampak riang keluar dari ruang kelas, seriang suara mereka ketika melontarkan keyakinan bisa mengatasi soal-soal ujian yang baru berlalu. Keriangan itu tidak berubah menjadi kekhawatiran ketika mereka ditanya tentang kesiapan menghadapi UN. Kompak mereka menjawab telah siap.

Bergantung Kemampuan
Kepala Sekolah YPAC Bandung, Basyariah, menyatakan pada dasarnya terdapat dua pilihan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk menempuh ujian akhir yang bergantung pada kemampuan masing-masing, yaitu hanya menempuh ujian sekolah atau juga mengikuti UN.

Mereka yang hanya menempuh ujian sekolah tetap diakui kelulusannya untuk menempuh pendidikan ke tingkat lebih tinggi.

"Siswa yang mengikuti UN kami nilai telah mampu dan mandiri untuk mengerjakan soal-soal ujian sehingga kami pun percaya mereka bisa menempuh ujian tersebut," kata Basyariah.

Siswa didaftarkan untuk mengikuti UN setelah pihak sekolah menilai kemampuan studi dan berkonsultasi dengan orang tua. Pihak sekolah pun memberikan bimbingan tambahan secara intensif kepada para siswa untuk menghadapi UN.

Menurut salah satu staf pengajar sekolah YPAC, Lili Sulistio, para siswa yang didaftarkan untuk menempuh UN tidak lagi membutuhkan pendamping guna menyelesaikan soal ujian. Pengawas yang akan bertugas selama pelaksanaan UN pun didatangkan dari luar sekolah.

Saat ini di sekolah YPAC terdapat 33 siswa Sekolah Dasar (SD), 18 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 14 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagian besar siswa YPAC adalah penyandang Cerebral Palsy yaitu suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan oleh kerusakan jaringan pada otak. Sedangkan sisanya adalah penyandang autisme dan keterbelakangan mental.

Basyariah mengatakan sampai saat ini tingkat kelulusan UN di YPAC mencapai 100 persen setiap tahun. Prestasi tanpa cacat itu, menurut dia, tidak lepas dari kehati-hatian pihak sekolah dalam menilai kemampuan para siswa untuk didaftarkan sebagai peserta UN dan juga kualitas bimbingan yang diberikan kepada mereka.
   
Percaya Diri
Kelainan yang disandang oleh siswa berkebutuhan khusus bersifat permanen. Karena itu, kata Basyariah, pendidikan di YPAC menekankan kepada para siswa untuk mandiri dengan kondisi yang mereka miliki. Selain itu, para siswa juga dilatih untuk percaya diri dalam bergaul dengan lingkungan sekitar.

Setiap siswa berkebutuhan khusus mendapatkan kurikulum khusus sesuai dengan kasus yang mereka miliki. Ada yang harus menempuh terapi wicara, fisioterapi, atau pembinaan gerak, di sela-sela mata pelajaran yang diterima di ruang kelas.

Pengelompokan siswa dalam satu kelas, karena itu, lebih berdasarkan pada kesetaraan kemampuan dibanding kesamaan usia.

Pasangan kembar Wanda-Winny yang berusia 17 tahun, contohnya, duduk di bangku kelas 3 SMP bersama dengan Aldila yang berusia 20 tahun dan Indy yang berumur 18 tahun.

Empat siswa penyandang Cerebral Palsy itu telah bersama-sama selama menempuh pendidikan SMP sehingga mampu berkomunikasi lancar satu sama lain meski masing-masing menderita kekurangan. Keempatnya juga telah mengenal baik satu sama lain termasuk kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing kawannya.

"Aldila itu pemalu kalau disuruh nyanyi. Suaranya pasti susah keluar kalau lagi pelajaran kesenian. Tapi kalau lagi pelajaran lain di kelas dia malah nyanyi-nyanyi sendiri," celoteh Wanda mengomentari temannya, Aldila.

Winny langsung menambahkan, "Jangan malu-malu, Dila".

Pasangan kembar Wanda-Winny yang terlihat percaya diri memang tak pernah malu dalam mengekspresikan diri. Terlepas dari keadaan mereka yang harus terduduk di kursi roda dan kelainan motorik yang membatasi keduanya, pasangan kembar itu kerap tampil bernyanyi di panggung kesenian. Pada 20 April 2012, mereka diundang menyanyi oleh "Saung Udjo", sebuah kelompok musik angklung asal Bandung yang telah mendunia.

Setelah mendengar perkataan Wanda-Winny, Aldila pun tanpa malu-malu mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi pianis. Selain itu, ia juga menceritakan kegemarannya membaca puisi. Indy pun tidak ketinggalan menyatakan kesukaannya bermain ¿keyboard.

Di sekolah, Indy kerap mengiringi Wanda-Winny bernyanyi dengan alunan "keyboard".

Begitu percaya diri keempat siswa YPAC itu mengekspresikan diri. Keyakinan mereka untuk menempuh UN dengan kemampuan yang dimiliki hanyalah sebagian kecil dari kepercayaan diri yang telah terukir. Keadaan mereka telah mengajarkan bahwa hidup bukan sekedar angka-angka untuk meraih kelulusan, tapi berusaha mengada dengan potensi yang tersimpan di balik kekurangan untuk menjadi diri sendiri.

(T.D013/A011)

Pewarta: Diah Novianti

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012