Surabaya (Antara) - Ini bukan negeri para politisi, ini juga bukan negeri yang hanya mengurus pilkada langsung atau tidak langsung. Setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung, apalagi negeri yang berisi saling caci maki seolah paling benar sendiri.

Bukan, negeri ini juga republik para seniman, budayawan, perajin, dan sang kreator yang mempunyai segudang urusan alternatif, kreatif, dan inovatif.

Sebut saja, ini republik batik, republik yang penuh corak, republik warna warni, republik dengan keanekaragaman yang khas. Ini negeri yang lengkap, negeri yang memiliki masyarakat yang sangat terbelakang sekaligus memiliki masyarakat yang sangat modern. Ini republik "Bhinneka Tunggal Ika" yang cantik.

Ya, ini negeri yang penuh corak seperti batik, bukan negeri yang isinya hanya para politisi (yang merupakan bagian sangat kecil). Ini republik batik, bung.

Buktinya, UNESCO memasukkan Batik ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi pada Jumat, 2 Oktober 2009.

Tidak hanya itu, UNESCO --yang pada tahun 2003 dan 2005 telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity)-- juga mencatat Batik Indonesia dan satu usulan lainnya dari Spanyol merupakan dokumen nominasi terbaik dari 111 nomasi mata budaya (35negara), bahkan Batik dapat dijadikan contoh dalam proses nominasi mata budaya tak-benda di masa datang.

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kain batik.

Jadi, milik bangsa ini yang sesungguhnya bukanlah keseragaman dalam satu suara setuju atau tidak setuju, tapi bangsa ini bangsa yang sesungguhnya sangat "batik" (beragam/majemuk).

Karena itu, batik hendaknya dipahami dalam konteks keragaman dan konteks budaya, sehingga negeri ini benar-benar akan menjadi negeri batik yang sesungguhnya.

Dalam konteks budaya, pecinta dan peneliti batik, Lintu Tulisyantoro, menyarankan bangsa dari negeri batik ini tidak sekadar memahami batik sebagai "fashion".

"Sejak ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya takbenda untuk dunia pada 2 Oktober 2009, batik masih sekadar menjadi 'fashion'," ucap dosen interior Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu kepada Antara di Surabaya (20/9).

Alhasil, batik sebagai mode itu tidak jauh berbeda dengan tekstil atau industri tekstil lainnya seperti pakaian atau kain, padahal batik pada masa lalu itu menjadi bagian dari budaya, sehingga batik untuk acara X, Y, Z itu berbeda, bahkan batik untuk kalangan X, Y, Z juga berbeda.

"Janganlah memahami batik sebatas itu, sebatas mode atau industri tekstil, tapi lebih dari itu. Namun, menjadikan batik sebagai budaya itu tidak harus meniru tradisi masa lalu. Setidaknya, kita bisa membedakan batik dengan pakaian lainnya itu," tuturnya.

Oleh karena itu, Lintu yang juga pendiri Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya (KiBaS) itu menilai masyarakat harus menaikkan "kelas" batik dengan membedakan batik bukan atas dasar status atau bentuk kegiatan seperti masa lalu, melainkan atas dasar manfaat/fungsi.

"Misalnya, batik untuk anak-anak dan orang dewasa itu harus berbeda. Atau, batik untuk dinas X dengan dinas Y, atau batik untuk bagian humas dengan bagian akademik. Jadi, dengan menaikkan 'kelas' batik dari sekadar pakaian atau fashion atau tekstil menjadi bagian dari fungsi tertentu, akan mendorong batik sudah menjadi bagian dari budaya atau kehidupan," tuturnya.

    
                            Gaya dan Karakter
Untuk itu, batik sangat bisa (bahkan, harus) menjadi seragam yang tidak seragam. Artinya, berbagai lapisan masyarakat boleh memiliki seragam batik, tapi seragam batik untuk kebutuhan dalam satu lapisan masyarakat itu tidak harus seragam. Jadi, seragam batik dalam satu lapisan masyarakat itu harus beragam sesuai fungsi/kebutuhan.

Dengan tidak adanya "penyeragaman" (seragam) batik, maka motif batik akan berkembang, budaya batik pun berkembang, wisata dan seni berkembang, kreasi dan inovasi pun berkembang, dan sekaligus menandakan bangsa Indonesia betul-betul Bhinneka Tunggal Ika.

Akhirnya, batik memiliki ruh atau filosofi seperti pada masa lalu, sehingga masyarakat dunia akan melihat batik sebagai pakaian dengan nilai lebih, bukan asal dipakai saja, melainkan menjadi budaya atau gaya hidup pada semua lapisan masyarakat.

Adalah contoh menarik datang dari Banyuwangi. Pemerintah kabupaten di ujung timur dari Pulau Jawa itu berusaha membangkitkan batik melalui konsolidasi seni, budaya, dan pariwisata melalui kegiatan besar-besaran yang diberi label "Festival Banyuwangi" sejak tahun 2012.

Dibilang besar-besaran, karena ada puluhan rangkaian acara pada "Festival Banyuwangi", bahkan tahun ini ada 24 acara yang digeber sejak Mei hingga akhir Desember 2014 untuk anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua, diantaranya lomba selancar, parade Barong Ider Bumi, Banyuwangi Batik Festival (BBF), festival rujak soto, pagelaran jazz pantai, festival anak yatim dan mengaji bareng, serta lomba balap sepeda Tour de Ijen.

Khusus BBF, kegiatan itu mampu menjadi media promosi yang tepat untuk mempromosikan potensi kekayaan batik khas Banyuwangi yang telah lama "tenggelam" dan dilupakan masyarakat.

"Dulu di Banyuwangi banyak perajin batik tersebar di sejumlah kecamatan, tapi jumlahnya terus berkurang karena tidak ada media promosi yang mewadahi. Kini, kami ingin menghidupkan lagi IKM-IKM (industri kecil dan menengah) dan kerajinan batik lewat BBF," kata kepala Disperindagtam Banyuwangi, Hari Cahyo Purnomo.

Tidak hanya itu, dari BBF diharapkan muncul "awareness" dari masyarakat untuk lebih mencintai busana batik, yang kini bukan sekadar sebagai pakaian resmi, melainkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat.

Apalagi, kata perancang busana asal Glenmore, Banyuwangi, yang turut andil pada BBF 2014, Irma Lumiga, Batik Banyuwangi dengan ciri khas warna cerah itu memiliki karakter yang berbeda dibanding batik daerah lain.

"Dari warnanya yang berani seperti merah, kuning, hijau, dan biru menyala, bisa menjadi simbol dari keseharian masyarakat Banyuwangi yang punya semangat tinggi, berani sekaligus ramah," kata desainer yang kini menetap di Bali itu.

Oleh karena itu, warga asli Banyuwangi, Irma Lumiga, itu meyakini potensi batik daerahnya akan terus berkembang dan mampu menembus pasar global dengan dukungan kreativitas dari pemkab, para perajin, pelaku industri, dan tentunya masyarakat Banyuwangi sendiri.

Tahun 2014, Banyuwangi Batik Festival (BBF) memasuki penyelenggaraan kedua, yang mengangkat tema "Kangkung Setingkes". Pada BBF pertama (2013), motif batik "Gajah Oling" yang paling dikenal masyarakat setempat, diangkat sebagai tema kegiatan dan terbukti motif itu kini semakin populer.

"Bukan tanpa alasan kami mengangkat motif Kangkung Setingkes, karena ada makna khusus di balik motif tersebut. Kangkung adalah salah satu sayuran yang banyak dijumpai di Kabupaten Banyuwangi dan menjadi lalapan untuk kuliner khasnya nasi tempong, sedangkan 'setingkes' berarti diikat menjadi satu," ucap Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Artinya, Kangkung Setingkes mengandung makna atau filosofi semangat persatuan dan kesatuan masyarakat Banyuwangi dalam membangun daerahnya. Bisa juga, motif itu dimaknai sebagai ikatan cinta kasih, persahabatan dan persaudaraan yang tidak pernah lekang oleh waktu.

"Budaya Banyuwangi pun menumbuhkan karakter daerah. Budaya yang begitu sederhana itu pun memiliki makna yang begitu agung," ungkap Anas. Ungkapan itu membenarkan bahwa negeri ini merupakan negeri batik dengan karakter yang 'batik' (majemuk) dari Aceh hingga Papua. Akhirnya, selamat Hari Batik Nasional !. (Antara)

Pewarta: Oleh Edy M Ya'kub

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014