Penutupan dan pengambilalihan tiga bank di Amerika Serikat (AS) yang bangkrut dinilai tidak akan berdampak banyak bagi sektor keuangan di Indonesia serta tidak akan mengulang kembali krisis ekonomi besar tahun 2007 - 2008.
“Hal itu karena pemerintah Amerika Serikat telah bergerak cepat mengantisipasi dengan memastikan semua deposan akan dapat mengambil kembali uang mereka. Karena sejak krisis subprime mortgage tahun 2007, pemerintah Amerika telah mencadangkan uang lebih dari 100 miliar dolar AS sebagai jaring pengaman apabila terjadi peristiwa semacam ini,” kata Hendra Setiawan Boen, analis dan sekaligus praktisi hukum kepailitan dan restrukturisasi utang dari kantor Frans & Setiawan Law Office, dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Hendra mengatakan bahwa kejadian ini hanya berdampak besar kepada negara yang memiliki cabang dari tiga bank tersebut. Itu pun pemerintah negara-negara tersebut segera melakukan upaya untuk memitigasi resiko. Inggris misalnya, lolos dari krisis karena bank HSBC bersedia membeli Silicon Valley Bank cabang Inggris dengan harga 1 poundsterling dan menjamin simpanan deposan.
Selain itu, perusahaan rintisan yang menerima pendanaan dari ketiga cabang bank itu akan kesulitan seperti di Republik Rakyat China. Namun sepengetahuan dirinya ketiga bank yang bangkrut tersebut tidak memiliki cabang di Indonesia.
“Kalaupun ada perusahaan rintisan Indonesia atau perusahaan kripto yang menyimpan atau menerima dana dari ketiga bank maka kesulitan keuangan hanya terlokalisir pada perusahaan-perusahaan tersebut, yang terlalu kecil untuk bisa berdampak sistemik kepada keuangan Indonesia,” ujar Hendra.
Hendra juga yakin bahwa perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal yang tinggi sehingga akan mampu membendung gejolak keuangan dan likuiditas global.
“Yang terpenting, secara fundamental, saat ini Indonesia sudah jauh lebih kuat daripada saat terjadinya krisis moneter 1997 dan krisis subprime mortgage tahun 2007. Perangkat institusional dan aturan-aturan juga sudah lebih rigid yang memungkinkan Indonesia terhindar dari krisis keuangan,” kata Hendra.
Tiga bank yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat industri uang digital serta pemberi pinjaman utama perusahaan-perusahaan rintisan ditutup atau diambil alih pemerintah AS menyusul neraca keuangan memburuk dan tidak mampu memenuhi penarikan besar-besaran dari para deposan. Bank tersebut adalah Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank.
Ambruknya ketiga bank tersebut menimbulkan kekuatiran risiko merembet ke sektor dan negara lain sehingga menimbulkan stabilitas sistem keuangan global. Apalagi, keruntuhan Silicon Valley Bank berdampak kepada perusahaan rintisan terutama apabila perusahaan modal ventura yang selama ini mendukung keuangan perusahaan rintisan menyimpan dana di bank tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Analis: Tiga bank AS tutup tak berdampak kepada Indonesia
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
“Hal itu karena pemerintah Amerika Serikat telah bergerak cepat mengantisipasi dengan memastikan semua deposan akan dapat mengambil kembali uang mereka. Karena sejak krisis subprime mortgage tahun 2007, pemerintah Amerika telah mencadangkan uang lebih dari 100 miliar dolar AS sebagai jaring pengaman apabila terjadi peristiwa semacam ini,” kata Hendra Setiawan Boen, analis dan sekaligus praktisi hukum kepailitan dan restrukturisasi utang dari kantor Frans & Setiawan Law Office, dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Hendra mengatakan bahwa kejadian ini hanya berdampak besar kepada negara yang memiliki cabang dari tiga bank tersebut. Itu pun pemerintah negara-negara tersebut segera melakukan upaya untuk memitigasi resiko. Inggris misalnya, lolos dari krisis karena bank HSBC bersedia membeli Silicon Valley Bank cabang Inggris dengan harga 1 poundsterling dan menjamin simpanan deposan.
Selain itu, perusahaan rintisan yang menerima pendanaan dari ketiga cabang bank itu akan kesulitan seperti di Republik Rakyat China. Namun sepengetahuan dirinya ketiga bank yang bangkrut tersebut tidak memiliki cabang di Indonesia.
“Kalaupun ada perusahaan rintisan Indonesia atau perusahaan kripto yang menyimpan atau menerima dana dari ketiga bank maka kesulitan keuangan hanya terlokalisir pada perusahaan-perusahaan tersebut, yang terlalu kecil untuk bisa berdampak sistemik kepada keuangan Indonesia,” ujar Hendra.
Hendra juga yakin bahwa perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal yang tinggi sehingga akan mampu membendung gejolak keuangan dan likuiditas global.
“Yang terpenting, secara fundamental, saat ini Indonesia sudah jauh lebih kuat daripada saat terjadinya krisis moneter 1997 dan krisis subprime mortgage tahun 2007. Perangkat institusional dan aturan-aturan juga sudah lebih rigid yang memungkinkan Indonesia terhindar dari krisis keuangan,” kata Hendra.
Tiga bank yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat industri uang digital serta pemberi pinjaman utama perusahaan-perusahaan rintisan ditutup atau diambil alih pemerintah AS menyusul neraca keuangan memburuk dan tidak mampu memenuhi penarikan besar-besaran dari para deposan. Bank tersebut adalah Silicon Valley Bank, Silvergate Bank dan Signature Bank.
Ambruknya ketiga bank tersebut menimbulkan kekuatiran risiko merembet ke sektor dan negara lain sehingga menimbulkan stabilitas sistem keuangan global. Apalagi, keruntuhan Silicon Valley Bank berdampak kepada perusahaan rintisan terutama apabila perusahaan modal ventura yang selama ini mendukung keuangan perusahaan rintisan menyimpan dana di bank tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Analis: Tiga bank AS tutup tak berdampak kepada Indonesia
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023