Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Noeleen Heyzer menuding junta militer berusaha menutup akses ke pangan, dana, dan informasi sebagai hukuman kolektif bagi warga sipil.

Myanmar dilanda kekacauan sejak Februari 2021 ketika militer menggulingkan pemerintahan yang dipimpin peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.

"Pada tahun ketiga, dampak pengambilalihan kekuasaan oleh militer terhadap negara dan rakyat Myanmar sangat menghancurkan," kata Heyzer kepada Majelis Umum PBB, yang beranggotakan 193 orang, pada Kamis (16/3).

Dia mengatakan bahwa status darurat militer telah diperluas ke 47 kota dan rezim junta telah menghidupkan kembali undang-undang tahun 1977 yang memungkinkan warga sipil yang dianggap "setia" untuk membawa senjata api.

"Sebuah generasi yang diuntungkan dari keterbukaan Myanmar sebelumnya--terutama kaum muda--sekarang kecewa. Mereka menghadapi kesulitan dan banyak yang merasa mereka tidak punya pilihan selain mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan militer," kata Heyzer.

Baca juga: Sejumlah perusahaan terdeteksi terus pasok avtur untuk junta Myanmar

"Pertempuran hebat telah menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh konflik, menempatkan lebih banyak nyawa warga sipil dalam bahaya dan semakin memperumit operasi kemanusiaan dalam memberikan bantuan penyelamatan jiwa kepada rakyat Myanmar," tuturnya.

Heyzer juga mengkritisi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang terus berlanjut terhadap para pemimpin politik yang dipilih secara demokratis, tokoh masyarakat sipil, dan jurnalis.

"Meskipun sangat tidak dilaporkan, tahanan perempuan semakin menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual,” ujar dia.
 

Dia pun memperingatkan bahwa penderitaan manusia akan berlipat ganda dan krisis politik, hak asasi manusia, kemanusiaan, dan sosial ekonomi di Myanmar akan meningkat jika tidak ada tindakan segera.

"Kita harus mengirimkan sinyal kuat bahwa kekerasan harus diakhiri dan dukungan untuk suara-suara demokrasi diperkuat untuk membantu memberdayakan mereka yang mencari jalan menuju masa depan yang damai," kata Heyzer.

Baca juga: Menanti kiprah Indonesia bantu penyelesaian krisis Myanmar

Lebih lanjut, dia juga menyerukan solusi berkelanjutan untuk warga Rohingya.

Lebih dari lima tahun sejak eksodus massal paksa dari Negara Bagian Rakhine, etnis Rohingya dianiaya dan tidak memiliki kewarganegaraan.

Mereka terus mengalami kesulitan yang ekstrem, hidup dalam kondisi yang sulit, dan menghadapi tantangan yang luar biasa.

Pada 2023, PBB mengupayakan 876 juta dolar AS (sekitar Rp13,5 triliun) sebagai bagian dari rencana untuk merespons krisis kemanusiaan Rohingya.

Heyzer meminta komunitas internasional untuk menggandakan dukungan mereka guna penanganan pengungsi Rohingya.


Sanksi Uni Eropa

Uni Eropa
 mengadopsi paket sanksi keenamnya kepada junta militer Myanmar dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia.

Para menteri luar negeri Uni Eropa menyetujui "langkah-langkah pembatasan terhadap sembilan orang dan tujuh entitas sehubungan dengan terus meningkatnya kekerasan, pelanggaran berat hak asasi manusia, dan ancaman terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Myanmar," kata Dewan Uni Eropa yang merupakan lembaga Uni Eropa yang mewakili negara-negara anggota blok benua ini.
 

Para diplomat tinggi itu juga menegaskan kembali bahwa Uni Eropa mengutuk sekeras-kerasnya pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual, penganiayaan terhadap warga sipil, dan serangan terhadap penduduk sipil yang juga menyasar anak-anak dan orang-orang dari minoritas-minoritas etnis dan agama di seluruh negeri.

Mereka yang masuk daftar hitam adalah menteri energi Myanmar, para pengusaha terkemuka, dan para perwira tinggi militer yang dilarang bepergian dan menghadapi pembekuan aset.

"Juga termasuk para politisi dan administrator wilayah Yangon yang terlibat dalam proses hukuman mati dan eksekusi empat aktivis demokrasi pada Juli 2022, dan negara bagian Kachin, di mana mereka mengawasi serangan udara, pembantaian, penggerebekan, pembakaran, dan penggunaan perisai manusia oleh militer," tambah Uni Eropa.

Baca juga: "Bangku kosong" dan peringatan untuk Junta Myanmar

Sanksi baru ini membuat jumlah individu dan entitas terkena sanksi bertambah masing-masing menjadi 93 dan 18.

Uni Eropa juga mempertahankan embargo senjata dan peralatan militer.

Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar merebut kekuasaan setelah menuding pemilihan umum 8 November 2020 berlangsung curang.

Tentara menangkap para pemimpin dan pejabat partai penguasa Liga Nasional untuk Demokrasi, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Mereka  kemudian menjatuhkan hukuman 33 tahun penjara kepada Suu Kyi.

UNICEF mengatakan dalam dua tahun terakhir ini jumlah pengungsi bertambah menjadi lebih dari 1,5 juta orang.

Menurut laporan PBB belum lama ini, setidaknya 2.890 orang tewas di tangan militer dan mereka yang bekerja untuk mereka.

Sumber: Anadolu

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023