Meraih jabatan akademik sebagai guru besar  bukanlah hal yang mudah bagi banyak dosen atau peneliti. Begitu pula Diana Laila Ramatillah. Jalan berliku harus dihadapi perempuan 36 tahun ini hingga meraih puncak karier akademiknya.

Ia menceritakan masa sulit ketika ibunya wafat karena sakit saat menyiapkan disertasi. Bagi Diana, ibunya merupakan belahan jiwanya.

"Saya menangis, namun saya harus bangkit dan disertasi harus selesai,” ujar Diana di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Diana mengakui perlu perjuangan yang luar biasa saat menyelesaikan sekolah doktornya. Ia harus bolak-balik Jakarta-Malaysia karena saat bersamaan harus menjaga ibunya yang sedang sakit.

Studi doktor pun diselesaikan oleh Diana dalam waktu 2 tahun 3 bulan. Ia pun berhasil menghasilkan 10 publikasi,, empat di antaranya bereputasi internasional dan memiliki impact factor tinggi.

Sulung dari dua bersaudara itu mengakui permasalahan akan selalu ada. Akan tetapi bagaimana menyikapi semua permasalahan itu adalah hal yang luar biasa.

Diana dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Farmakoterapi, Farmasi Klinis, dan Interaksi Obat di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Penetapan Diana sebagai guru besar tersebut berdasarkan SK Guru Besar dari Kemendikbudristek dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 29021/M/07/2023 Tanggal 12 Juni 2023 .

Untuk meraih jabatan sebagai guru besar, lanjut Diana, bukanlah perkara mudah. Banyak syarat yang harus dipenuhi seperti sudah 10 tahun menjadi dosen. 

Dia menjelaskan dari jabatan sebagai lektor kepala pada September 2022, ia mengajukan diri menjadi guru besar. Sejak 2013-2023, Prof. Diana pun melakoni jabatan struktural seperti kepala program studi, dekan, hingga wakil rektor I. Untuk menjadi guru besar, ia harus mengumpulkan 40 publikasi atau total 250 publikasi sejak dirinya memulai karier sebagai dosen.

Tak hanya publikasi dalam bentuk jurnal nasional dan internasional, empat buku pun telah diterbitkan serta sejumlah aktivitas lainnya seperti penelitian maupun pengabdian.

Untuk menjadi profesor, ujarnya, minimal 10 tahun mengabdi sebagai dosen. Tidak boleh kurang dari 10 tahun.

Meski demikian, dia mengakui ada tantangan tersendiri agar bisa dikukuhkan sebagai guru besar. Misalnya, faktor lainnya seperti administrasi, gangguan internet, hingga pengajuannya sebagai guru besar ditolak berkali-kali.

Dia berpesan pada para dosen yang mengejar jabatan akademik sebagai guru besar jangan pernah menyerah. Rintangan hingga kegagalan adalah hal yang pasti akan ditemui demi mencapai tujuan.

Namun ketika bangkit lagi dari kegagalan tersebut, itu merupakan hal yang luar biasa. Rintangan itu adalah hal yang tidak akan mungkin dielakkan namun ketika bisa bertahan dengan keadaan, itu merupakan pencapaian yang luar biasa bagi seseorang.

 

Ingin jadi dokter

Pada awalnya tak terbersit di pikiran Diana untuk mendalami bidang farmasi. Selepas SMA, ia ingin melanjutkan studi di fakultas kedokteran. Pada saat yang bersamaan, ia meraih beasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
 


Akan tetapi keinginannya untuk berkuliah di Semarang ditolak ibunya karena enggan tinggal berjauhan dengan anak perempuannya. Akhirnya, ia pun memilih Fakultas Farmasi di Universitas Andalas.

Meskipun impiannya menjadi dokter tak kesampaian, Diana mengaku tak menyesal karena dia juga masih dapat berkontribusi pada bidang kesehatan.

“Sejak SD saya sudah mandiri, dengan belajar sendiri. Target saya, pagi sekolah dan malamnya belajar. Saya akhirnya mendapatkan juara umum di sekolah,” kenang Diana.

Ke depan, dia berharap dapat mendirikan Program Studi S-3 Farmasi di UTA ’45 Jakarta. Saat ini, ia sedang mempersiapkan agar setiap fakultas memiliki guru besar.

Plt. Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Dr. Lukman, ST, M.Hum, mengatakan tak mudah meraih jabatan akademis sebagai guru besar.

Ada yang mencapai secara singkat, ada yang panjang sekali dan berdarah-darah. Ini terkait publikasi ilmiah, penelitian, dan lain-lainnya.

"Sehingga kami sangat berharap dengan panjangnya proses dan lain-lainnya, bisa menjadi kebanggaan penerima dan juga kebanggaan LLDikti Wilayah III," kata Lukman.

Saat ini di Tanah Air terdapat sebanyak 353.892 dosen, 6.793 di antaranya guru besar. Dari total tersebut, sebanyak 340 guru besar berasal dari LLDikti Wilayah III. Ada setidaknya 5 persen guru besar yang berasal dari LLDikti Wilayah III.

Salah satu kunci menjadi perguruan tinggi yang unggul adalah kualitas sumber daya manusianya. Semangat menjadi kampus unggul harus dibangun dengan adanya pemberian jenjang guru besar.

Guru besar merupakan pengakuan dan memang prosesnya tidak mudah yang mana harus menjalani Tridharma Perguruan Tinggi.

Ketua Dewan Pembina Yayasan UTA ’45, Rudyono Darsono mengatakan kelemahan farmasi di Indonesia itu adalah orang-orang yang mengaku ahli lebih cenderung mencari materi, bukan bagaimana melakukan penemuan pada bidang obat.

Selama itu masih seperti itu maka sebagai besar obat yang beredar merupakan impor, kecuali jamu-jamuan.

“Yang kita masih mampu mengadakan pembuatan-pembuatan obat-obat herbal, tapi itu pun sangat sedikit,” kata Rudyono.

Rudyono berharap Prof. Diana dapat membaktikan diri dan menggunakan ilmu yang dimilikinya untuk membantu masyarakat khususnya di bidang farmasi, dengan menghasilkan riset-riset yang mempunyai hasil bukan sekadar penelitian yang hanya menjadi publikasi.

Pewarta: Indriani

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023