Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengkaji potensi wisata astronomi untuk mengamati fenomena langit melalui Observatorium Nasional Timau yang berlokasi di Amfoang, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
 
"Kajian astronomi budaya di sekitar Observatorium Nasional Timau sangat diperlukan untuk mendukung wisata astronomi yang minim polusi cahaya," kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa BRIN Thomas Djamaluddin dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
 
BRIN membangun Observatorium Nasional di Amfoang karena lokasi itu memiliki malam tercerah yang paling panjang sekitar 70 persen dalam setahun.

Baca juga: BRIN sarankan petani ganti padi jadi pajale untuk antisipasi El Nino
 
Observatorium Nasional Timau merupakan observatorium untuk pengamatan antariksa yang mempunyai fasilitas utama berupa teleskop optik dengan diameter 3,8 meter dan teleskop radio berbentuk parabola dengan diameter 20 meter.
 
Fasilitas itu juga memiliki dua teleskop optik berukuran kecil dengan diameter 50 sentimeter, antena Dipole Array berukuran 100 meter x 100 meter, dan magnetometer.
 
Kepala Pusat Riset Manuskrip Literatur dan Tradisi lisan BRIN Sastri Sunarti mengatakan daerah Amfoang memiliki tradisi lisan masyarakat yang dapat mendukung wisata astronomi Observatorium Nasional Timau.
 
Menurutnya, pengetahuan astronomi budaya tersebut bisa dijadikan sebagai modal untuk mendukung pariwisata langit gelap.

Baca juga: BRIN kembangkan varietas padi tahan iklim ekstrem
 
"Selain matahari, rasi bintang juga digunakan dalam penentuan musim. Ini menjadi pengetahuan yang menjadi budaya atau tradisi lisan yang kuat bagi masyarakat Amfoang," kata Sastri.
 
"Ilmu pengetahuan tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan," imbuhnya.
 
BRIN telah mengumpulkan beberapa pengetahuan astronomi dari masyarakat Amfoang.
 
Sastri mengungkap ada beberapa istilah-istilah yang berkaitan dengan pengetahuan astronomi budaya pada masyarakat Amfoang yang berkaitan juga dengan astronomi modern.
 
Pengetahuan astronomi budaya tersebut, di antaranya istilah 'Noel Neno' dalam astronomi Amfoang artinya 'sungai di langit'. Sedangkan dalam astronomi modern disebut Bimasakti atau Milky Way.
Kemudian, ada juga istilah 'Maklafu Kotog' atau rasi Pleiades digunakan masyarakat Amfoang untuk penentuan akhir musim kering dan awal musim hujan.
 
"Terbenamnya 'Sua Oni' atau Bintang Kejora atau Venus di awal malam digunakan sebagai penanda awal kegiatan panen madu hutan. Itulah saat malam yang sangat gelap," papar Sastri.

Baca juga: BRIN sebut riset laut dalam jadi fokus penelitian strategis

Baca juga: BRIN tepis tuduhan soal membuntuti penemu Nikuba ke Italia
 
Bagi masyarakat Amfoang, makna bintang di langit dikelompokkan menjadi dua, yaitu penanda musim dan penanda kultural.
 
Salah satu contoh penggunaan sebagai penanda musim adalah untuk musim bercocok tanam serta musim penghujan. Sedangkan, penanda kultural berfungsi sebagai penanda akan ada orang besar meninggal atau pertanda akan ada bencana.
 
Sastri berharap hasil penelitian tradisi lisan tentang langit bisa memperkaya muatan wisata astronomi di Observatorium Nasional Timau.
 
Pembangunan wisata astronomi mengupayakan keindahan langit malam yang terjaga, antara lain pengaturan penggunaan cahaya dengan pengurangan lampu atau penggunaan tudung lampu di luar ruangan.

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023