Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan metode hutan bambu lestari yang dikelola secara berkelanjutan bisa menjawab tantangan krisis kayu yang dipakai untuk bahan baku konstruksi.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Budiyanto Dwi Prasetyo mengatakan bambu punya kualitas yang tak kalah dari kayu dan bisa dibentuk apapun melalui proses laminasi, sehingga diminati oleh pasar domestik maupun internasional.
"Pemintaan tinggi terhadap kayu bisa disubstitusi dengan bambu," ujarnya dalam diskusi bertajuk membedah metode hutan bambu lestari melalui riset aksi partisipatif yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Baca juga: BRIN kaji potensi wisata astronomi di NTT
Bambu laminasi bisa menghasilkan berbagai aneka perabotan rumah tangga mulai dari kursi, meja, lemari, pintu, plafon, hingga lantai parket.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, produksi bambu di Indonesia mencapai 66,92 juta batang. Wilayah persebaran produksi bambu terletak di Pulau Jawa mencapai 66,86 juta batang, Pulau Sumatera sebanyak 29.482 batang, dan Kepulauan Sunda Kecil sebanyak 30.872 batang.
Indonesia memiliki 162 jenis bambu dari total 1.450 jenis bambu di seluruh dunia. Bambu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu atau HHBK.
Baca juga: Fenomena El Nino bertahan sampai pertengahan tahun 2024
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), nilai HHBK bambu bisa mencapai 90 persen dari nilai hasil hutan, sedangkan kayu yang selama ini identik dengan hasil utama kehutanan hanya menyumbang 10 persen dari produksi hasil kehutanan.
Budiyanto menuturkan bila masyarakat lokal memiliki populasi bambu yang masif harus dipelihara melalui eksploitasi karena kegiatan itu bisa mengurangi kerapatan rumpun dan mencegah kerusakan tanaman bambu.
“Bambu kalau tidak ditebang saat umur yang pas, tanaman bambu bisa rusak,” ucapnya.
Salah satu kasus hutan bambu yang rusak ada di Gunung Ciremai yang berlokasi di Jawa Barat. Hutan bambu yang masuk ke dalam kawasan taman nasional tidak boleh dipanen, sehingga rumpun bambu terlalu rapat.
Baca juga: BRIN : Polusi udara bagian dari siklus alam
Jika rumpun bambu terlalu rapat bisa menyebabkan banyak batang bambu patah dan mengganggu sistem perakaran serta rimpang, sehingga bambu tumbuh tidak sehat.
Oleh karena itu, sebuah desa bambu harus ada aktivitas panen lestari untuk menjaga keberlanjutan hutan bambu.
Pengawas Yayasan Bambu Lingkungan Lestari Jajang Agus Sonjaya mengatakan model ideal dalam sebuah desa bambu ada banyak pihak yang terlibat mulai dari pemerintah, rakyat, penggiat bambu, pengerajin dan tukang, pengusaha, masyarakat adat, hingga perempuan.
Mereka terlibat dalam tahap proses pengelolaan mulai dari pembibitan, penanaman, pengelolaan rumpun, sampai panen lestari.
“Pada panen lestari ada satu kata kunci yang menarik bahwa cara terbaik merawat hutan bambu itu dengan panen,” pungkas Jajang.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Budiyanto Dwi Prasetyo mengatakan bambu punya kualitas yang tak kalah dari kayu dan bisa dibentuk apapun melalui proses laminasi, sehingga diminati oleh pasar domestik maupun internasional.
"Pemintaan tinggi terhadap kayu bisa disubstitusi dengan bambu," ujarnya dalam diskusi bertajuk membedah metode hutan bambu lestari melalui riset aksi partisipatif yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Baca juga: BRIN kaji potensi wisata astronomi di NTT
Bambu laminasi bisa menghasilkan berbagai aneka perabotan rumah tangga mulai dari kursi, meja, lemari, pintu, plafon, hingga lantai parket.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, produksi bambu di Indonesia mencapai 66,92 juta batang. Wilayah persebaran produksi bambu terletak di Pulau Jawa mencapai 66,86 juta batang, Pulau Sumatera sebanyak 29.482 batang, dan Kepulauan Sunda Kecil sebanyak 30.872 batang.
Indonesia memiliki 162 jenis bambu dari total 1.450 jenis bambu di seluruh dunia. Bambu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu atau HHBK.
Baca juga: Fenomena El Nino bertahan sampai pertengahan tahun 2024
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), nilai HHBK bambu bisa mencapai 90 persen dari nilai hasil hutan, sedangkan kayu yang selama ini identik dengan hasil utama kehutanan hanya menyumbang 10 persen dari produksi hasil kehutanan.
Budiyanto menuturkan bila masyarakat lokal memiliki populasi bambu yang masif harus dipelihara melalui eksploitasi karena kegiatan itu bisa mengurangi kerapatan rumpun dan mencegah kerusakan tanaman bambu.
“Bambu kalau tidak ditebang saat umur yang pas, tanaman bambu bisa rusak,” ucapnya.
Salah satu kasus hutan bambu yang rusak ada di Gunung Ciremai yang berlokasi di Jawa Barat. Hutan bambu yang masuk ke dalam kawasan taman nasional tidak boleh dipanen, sehingga rumpun bambu terlalu rapat.
Baca juga: BRIN : Polusi udara bagian dari siklus alam
Jika rumpun bambu terlalu rapat bisa menyebabkan banyak batang bambu patah dan mengganggu sistem perakaran serta rimpang, sehingga bambu tumbuh tidak sehat.
Oleh karena itu, sebuah desa bambu harus ada aktivitas panen lestari untuk menjaga keberlanjutan hutan bambu.
Pengawas Yayasan Bambu Lingkungan Lestari Jajang Agus Sonjaya mengatakan model ideal dalam sebuah desa bambu ada banyak pihak yang terlibat mulai dari pemerintah, rakyat, penggiat bambu, pengerajin dan tukang, pengusaha, masyarakat adat, hingga perempuan.
Mereka terlibat dalam tahap proses pengelolaan mulai dari pembibitan, penanaman, pengelolaan rumpun, sampai panen lestari.
“Pada panen lestari ada satu kata kunci yang menarik bahwa cara terbaik merawat hutan bambu itu dengan panen,” pungkas Jajang.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023