Bangkok (Antara/Reuters) - Lebih dari 2.500 migran kemungkinan masih terdampar di dalam kapal-kapal di Teluk Benggala dan Laut Andaman, demikian menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sementara itu, Thailand bersiap menjadi tuan rumah pertemuan regional yang membahas "tindakan segera" untuk mengatasi krisis tersebut.

Ribuan Muslim Rohingya dari Myanmar dan imigran dari Bangladesh mencoba mendarat di Thailand, Malaysia dan Indonesia, sejak operasi pemberantasan perdagangan manusia digelar Thailand pada awal Mei dan membuat para penyelundup meninggalkan mereka di tengah laut.

Pemerintah di kawasan itu harus berjuang untuk merespon, meskipun kemudian foto wajah-wajah putus asa yang berdesakan di atas kapal dengan makanan dan air terbatas membuat Indonesia dan Malaysia memperlunak sikap dan mengizinkan para migran itu mendarat.

Lebih dari tujuh kapal yang membawa sekitar 2.600 orang diduga masih berada di tengah lautan, menurut data UNHCR dan sumber-sumber di Badan Migrasi Internasional (IOM).

Pertemuan yang akan digelar pada Jumat di Bangkok itu akan diikuti 17 negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan negara Asia lain, serta Amerika Serikat, Swiss, dan organisasi-organisasi internasional.

"Pertemuan fokus pada tindakan segera untuk mengatasi isu ini," kata Panote Preechyanud dari Departemen Informasi, Kementerian Luar Negeri Thailand, Rabu.

"Ini adalah seruan darurat bagi kawasan untuk bekerja sama mengatasi peningkatan luar biasa migrasi yang tak biasa melintasi Teluk Benggala dalam beberapa tahun ini."

Pertemuan itu dilakukan menyusul penemuan hampir 140 kuburan di 28 kamp penyelundup di sepanjang perbatasan utara Malaysia, beberapa di antaranya diduga ditelantarkan dengan tergesa-gesa ketika operasi pemberantasan oleh Thailand dimulai.

Thailand yang berada di bawah tekanan Amerika Serikat untuk bertindak lebih banyak memerangi penyelundupan manusia, memulai operasi itu setelah menemukan setidaknya 36 mayat dalam kuburan massal di perbatasan.

Operasi itu membuat terlalu berisiko bagi para penyelundup untuk mendaratkan kargo manusia mereka, dan sejak saat itu lebih dari tiga ribu migran yang ditelantarkan mendarat di Malaysia dan Indonesia.

Thailand selatan dan Malaysia utara merupakan bagian dari rute utama bagi penyelundup manusia untuk membawa Muslim Rohingya yang mengaku lari dari penyiksaan di Myanmar, dan migran Bangladesh yang lari dari kemiskinan di kampungnya.

Badan pengungsi PBB, UNHCR memperingatkan bahwa data migran yang masih berisiko sakit dan kelaparan di tengah laut masih merupakan perkiraan kasar.

"Apa yang kami tahu adalah kedatangan mereka terutama di Indonesia di mana kami mendapat akses penuh dan di Thailand di mana kami juga mendapat akses," kata Vivian Tan, juru bicara UNHCR di Bangkok.

"Di Malaysia, data berasal dari pemerintah dan di Myanmar kami punya estimasi. Yang kami tidak yakin adalah mereka yang masih berada di lautan. Ini adalah gabungan pemberitaan media, pengakuan korban selamat dan sumber-sumber lokal lain."

Migrasi mematikan

Malaysia yang mengatakan telah menampung 120 ribu imigran gelap dari Myanmar, dan Indonesia pekan lalu mengatakan mereka akan memberikan penampungan sementara bagi para imigran itu, namun masyarakat internasional juga harus ikut menanggung beban untuk penempatan mereka.

Thailand menolak mengizinkan kapal-kapal tersebut mendarat dengan alasan mereka sudah menampung 100 ribu imigran dari Myanmar, namun mengirimkan gugus tugas angkatan laut untuk memberikan bantuan medis di laut.

PBB dan AS mengatakan pola migrasi yang mematikan melintasi Teluk Benggala akan terus berlanjut sampai Myanmar mengakhiri diskriminasi terhadap Rohingya, kelompok minoritas berjumlah 1,1 juta orang yang kebanyakan tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam kondisi seperti era apartheid.

Myanmar membantah tudingan bahwa Rohingya mengalami penyiksaan dan mengatakan bahwa itu bukanlah sumber masalah. Mereka menduga banyak di antara manusia perahu tersebut adalah imigran dari Bangladesh.

UNHCR, IOM dan Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan --tiga badan yang diundang dalam pertemuan regional-- berbagi 10 poin rencana aksi dengan pemerintah regional, termasuk usulan untuk mengatasi masalah kewarganegaraan yang merupakan masalah bagi Rohingya di Myanmar maupun Bangladesh.

"Sekali ini, kami menyatukan semua negara yang terkena imbas untuk duduk bersama," kata Tan. "Ini adalah masalah regional yang membutuhkan solusi regional."

Namun beberapa diplomat mengaku ragu mengenai seberapa banyak solusi bisa dicapai di kawasan, di mana keputusan kolektif bisa dibatalkan dengan kebijakan 'non-intervensi' ASEAN atas masalah dalam negeri anggota lain.

"Banyak orang bergantung pada apa yang terjadi di Bangkok untuk sebuah solusi -jangka pendek dan panjang," kata seorang diplomat Barat di kawasan itu.

"Tidak akan tercapai solusi pekan depan. Jika ada lebih banyak pengakuan atas masalah ini, mungkin lebih banyak negara bersedia membantu. Solusi jangka panjang seharusnya ada di Myanmar. Ini adalah isu ASEAN dan harus diselesaikan oleh ASEAN."

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015