Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Rabu (20/3), mengatakan bahwa tentara Israel sedang bersiap untuk masuk ke Rafah di Jalur Gaza selatan, dan menambahkan bahwa "ini akan membutuhkan sedikit waktu."

Dalam pidatonya di televisi yang disiarkan melalui akun resminya di platform X, Netanyahu memulai dengan merangkum perincian pembicaraannya per telepon dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden Senin lalu.

"Pada awalnya, kami sepakat bahwa Hamas perlu dilenyapkan. Namun selama perang, bukan rahasia lagi, ada perbedaan pendapat di antara kita mengenai cara terbaik untuk mencapai tujuan ini," kata Netanyahu.

Baca juga: Israel tak dengarkan desakan internasional, bersikeras serang Rafah

Baca juga: Israel ancam serang Rafah pada Ramadhan jika sandera tak dibebaskan

Pada awalnya, dia mengatakan kepada Biden bahwa tentara Israel harus masuk ke Jalur Gaza untuk dapat mengalahkan Hamas.

Dan dalam percakapan terakhir mereka, kata Netanyahu, dirinya mengatakan kepada Biden bahwa tentara Israel harus memasuki Rafah untuk melenyapkan sisa-sisa batalion Hamas untuk mencapai kemenangan.

Saat berbicara kepada warga Israel, PM Israel itu mengatakan bahwa dia telah menyetujui rencana operasional militer dan mereka akan segera menyetujui rencana untuk mengevakuasi warga sipil dari zona pertempuran.

Baca juga: Rencana Israel berpotensi kacaukan kondisi Ramadhan di Palestina

Baca juga: WHO prihatin atas serangan bom Israel ke tenda pengungsi di Rafah

“Saat kita bersiap memasuki Rafah, dan ini akan memakan sedikit waktu, kita terus beroperasi dengan kekuatan penuh," kata Netanyahu. 

"Kami terus beroperasi di Khan Yunis, di kamp-kamp di tengah, dalam menumpas dan menangkap pejabat-pejabat senior Hamas seperti yang baru saja lakukan di Shifa (rumah sakit), dan dalam menumpas ratusan ‘teroris’,” katanya lagi.

Menyusul pembicaraan telepon antara Biden dan Netanyahu, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan pada Selasa (19/3) mengatakan PM Israel setuju mengirim tim ke AS untuk membahas rencana Israel menyerang Rafah "tanpa invasi darat besar-besaran."

Rencana seperti itu mengemuka di tengah meningkatnya peringatan dari berbagai kalangan di tingkat kawasan dan internasional mengenai konsekuensi yang bisa ditimbulkan setiap invasi darat Israel ke Rafah. 

Wilayah tersebut saat ini menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina, yang telantar akibat serangan pasukan Israel di wilayah-wilayah lain di Jalur Gaza.

Israel mendorong mereka ke wilayah tersebut, dan menjanjikan keselamatan bagi mereka, namun kemudian melancarkan serangan yang menimbulkan banyak korban jiwa dan luka-luka.

Baca juga: Biden khawatir atas rencana serangan Israel ke Rafah

Baca juga: Israel akan lakukan "aktivitas besar" di Rafah setelah evakuasi warga

Israel telah melancarkan serangan militer mematikan di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober 2003, yang menewaskan hampir sekitar 1.200 warga Israel.

Hampir 32 ribu warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas di Gaza sejak itu. Lebih dari 74 ribu lainnya terluka di tengah kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.

Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza mengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan sebagian besar makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak atau hancur, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dituduh melakukan genosida.

ICJ pada Januari mengeluarkan keputusan sementara, yang memerintahkan Tel Aviv untuk memastikan pasukannya tidak melakukan tindakan genosida, dan agar menjamin bantuan kemanusiaan sampai kepada warga sipil di Gaza.

Sumber: Anadolu
 

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024