Bangkok (Antara/AFP) - Para penyelundup manusia akan kembali melakukan praktik perdagangan di kawasan Asia Tenggara, meskipun ada operasi penumpasan, Amnesti Internasional memperingatkan, Rabu, saat menjelaskan penyiksaan "kejam" yang dialami para migran di tangan kelompok penyelundup itu.

Puluhan ribu warga Muslim Rohingya Myanmar dan migran ekonomi dari Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir menyeberangi Laut Andaman, biasanya menuju Malaysia, sebagai bagian dari praktik perdagangan menggiurkan yang dikendalikan oleh kelompok penyelundup.

Aksi penyeberangan itu cenderung turun dalam musim panas muson yang berbahaya dan mulai aktif kembali pada Oktober, sementara sebelumnya praktik perdagangan itu dikacaukan oleh operasi penumpasan geng penyelundup di Thailand.

Namun Amnesti Internasional mengatakan bahwa penumpasan dan janji-janji pemerintah di kawasan itu untuk mengatasi krisis sedikit berpengaruh untuk membongkar jaringan kriminal atau menghalang orang-orang melakukan aksi penyeberangan itu.

"Ada bahaya lain yang membayangi di Laut Andaman, kecuali pemerintah-pemerintah segera bertindak," kata peneliti masalah pengungsi Amnesti Internasional, Anna Shea, kepada AFP.

Ribuan orang dalam beberapa bulan mendatang akan kembali menaiki kapal-kapal, namun sejauh ini mekanisme pencegahan regional serta operasi pencarian dan penyelamatan masih jauh dari yang diperlukan," imbuh dia.

Kelompok hak asasi manusia menuduh negara-negara Asia Tenggara menutup mata atas penyelundupan dan perdagangan manusia --bahkan menuduh keterlibatan pejabat dalam perdagangan itu.

Pada Mei, kelompok penyelundup manusia meninggalkan ribuan migran di laut atau di kamp-kamp di hutan setelah Thailand menggelar operasi penumpasan. Krisis ini pada akhirnya memaksa munculnya respon di seluruh Asia tenggara.

Korban selamat menggambarkan kengerian dalam kapal maupun kamp-kamp di kedua sisi perbatasan Thailand-Malaysia, dimana pembunuhan, perkosaan dan pemukulan merupakan hal biasa.

Laporan Amnesti yang didasarkan pada wawancara puluhan korban selamat, menggambarkan perlakuan paa penyelundup terhadap migran sebagai tindakan "kejam", dan memperingatkan bahwa ratusan --atau mungkin ribuan-- lainnya kemungkinan tewas akibat "konsekuensi bencana" operasi penumpasan Thailand.

"Kebenaran yang mengejutkan adalah, bahwa mereka yang kami ajak bicara adalah orang-orang 'beruntung' yang berhasil mencapai pantai --tanpa menghitung mereka yang tewas di laut atau diperdagangkan menjadi pekerja paksa.

"Pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mencegah tragedi kemanusiaan ini terjadi," kata Shea dalam siaran pers.

Rohingya sejak lama melarikan diri dari provinsi Rakhine di Myanmar barat, dimana mereka dibenci warga mayoritas Buddha.

Kerusuhan massa lazim terjadi dan banyak diantara kaum minoritas yang hidup di kamp-kamp suram, dilarang untuk dipekerjakan dan bepergian.

Pemerintah Myanmar bersikeras bahwa kelompok itu tidak dianiaya.

Namun Amnesti mengatakan bahwa warga Rohingya yang diwawancara melarikan diri dari "gambaran serangan massa yang mengerikan, kematian dan penghilangan" di Rakhine.

Kelompok itu menambahkan bahwa sebagian besar Rohingya adalah "seperti pengungsi" dan seharusnya diperlakukan layaknya pengungsi oleh negara-negara transit maupun tujuan seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015