Warga keturunan Tionghoa di Kelurahan Bali, Kota Batam menggelar ritual bakar tongkang bertempat di Cetya Upho Sukadarma, sebagai upaya melestarikan tradisi budaya bentuk syukur serta merayakan hari lahirnya Dewa Perang Kie Hu Ong Ya.
“Jadi ini ritual bakar tongkang yang ke-25 kalinya kami gelar,” kata Ketua Panitia Bakar Tongkang Hendra Asman di Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin.
Ritual bakar tongkang di Kota Batam ini merupakan rangkaian dari tradisi yang dirayakan oleh warga keturunan Tionghoa dari Bagansiapiapi, berlangsung selama 3 hari, yakni tanggal 20-22 Juli, atau pada kalender Implek, tanggal 15,16 dan 17 bulan keenam.
Menurut Hendra, pada hari pertama ritual dimulai dengan pawai yang digelar oleh warga keturunan Tionghoa, di akhir acara adalah tradisi bakar tongkang yang dilaksanakan petang hari adzan magrib. Selain disaksikan oleh warga Tionghoa Kota Batam, juga dihadiri pula perwakilan dari Pemerintah Kota Batam, dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
Ritual ini diawali dengan sembahyang tongkang, warga berdatangan ke lokasi acara, lalu melakukan sembahyang di hadapan tongkong. Setelah itu, pembukaan dan barulah dimulai ritual bakar tongkang. Kapal dengan ornamen warna merah dan kuning mendominasi, berdiameter sekitar 3 meter panjang dan tinggi 1 meter itu, digotong oleh sejumlah laki-laki berbaju seragam warna kuning.
Tongkang berupa replika kapal asal Tiongkok itu lalu dipikul dan di bawa ke tempat pembakaran, sebelumnya kapal diisi berbagai macam, benda-benda sembahan, seperti beras, jam dinding, dan banyak lainnya. Semua serahan ini sebagai wujud syukur warga Tionghoa kepada para dewa yang dipercayainya.
Ritual bakar tongkang ini sejatinya tradisi yang dilakukan warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapai Provinsi Riau, dilaksanakan setiap tanggal 15,16 dan 17 bulan kelima tahun Imlek. Berbeda dengan Kota Batam digelar pada tanggal yang sama tetapi beda bulan.
“Kenapa beda, karena di Bagansiapaiapai itu di bulan lima. Sedangkan di Batam kami bikin bulan 6, itu pada hari ulang tahun Dewa Kie Hu Ong ya, sebagai protokol di Cetya Upho Sukadarma,” kata Herman.
Ketua Yayasan Cetya Upho Sekidarma Rudi menjelaskan tradisi bakar tongkang ini bermula dari kisah sejumlah orang bermarga Ang dari daratan Tiongkok pergi melaut menggunakan tongkang untuk mengadu nasib mencari penghidupan yang lebih layak pada tahun 1880.
Perjalannya mereka yang mendapat tuntutan dari Sang Pencipta melalui Kunang-kunang itu membuat para perantau tersebut mendarat di Bagansiapi-api.
“Tau kenapa namanya Bagansiapiapi, karena dulu itu di Bagan banyak kunang-kunang. Dari laut itu para perantau itu melihat kunang-kunang hingga akhirnya sampai di Bagan,” katanya.
Setelah menetap di Batam, kehidupan para perantau Tiongkok tersebut membaik, pekerjaan melimpah ruah, hingga memutuskan tidak akan kembali ke kampung halamannya dengan membakar tongkang yang sudah menyelamatkan hidupnya.
“Kenapa dinamakan Bagansiapiapai, karena mereka di laut, di Bagan itu banyak kunang-kunang. Kunang-kunang itu mengeluarkan cahaya, jadi tongkang ini mengikuti cahaya kunang-kunang hingga sampai di bagan,” kata Aun.
Ritual membakar tongkang diyakini oleh warga keturunan Tionghoa sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas karunia rezeki yang diberikan. Dan menjadi momentum untuk memohonkan doa terkait hajat yang sedang diupayakan.
Ritual bakar tongkang juga menjadi agenda daerah Kota Batam untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam Ardi Winata mengatakan tahun 2024 ini Pemkot mendapatkan target kunjungan wisatawan dari Kementerian Pariwisata sebanyak 3 juta jiwa.
“Selama empat bulan 2024 ini wisatawan ke Kota Batam terus meningkat, angkanya saat ini sudah 500 ribu wisatawan,” kata Ardi.
Pemkot Batam optimistis untuk mencapai target kunjungan wisatawan ke Kota Batam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024