Jakarta (Antara) - KPK memanggil mantan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah sebagai saksi kasus dugaan penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu tahun 2011.

"Junaidi Hamsyah diperiksa untuk tersangka ES (Edi Santroni)," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Rabu.

Selain Junaidi, KPK juga memeriksa hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu Siti Inshiroh, Sugiharto yang merupakan supir Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang yang juga hakim Tipikor PN Bengkulu Janner Purba serta pihak swasta bernama Ruzian Mizi.

Junaidi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada pertengahan Juli 2015 lalu dalam kasus dugaan tipikor pembayaran honor Dewan Pembina RSUD M Junus, Bengkulu tahun anggaran 2011. Penyidik Bareskrim Polri menduga Junaidi menyalahgunakan wewenangnya saat menerbitkan SK Gubernur Z No. 17 Tahun 2011 sehingga ada pembenaran untuk pembagian uang jasa tim pembina termasuk untuk gubernur sebesar 16 persen dan wakil gubernur sebesar 13 persen.

Sumber pendanaan itu diambil dari dana jasa pelayanan dan perawatan pasien RSUD M Junus Bengkulu sehingga terjadi kerugian negara hingga Rp5,6 miliar.

Pengadilan Tipikor Bengkulu juga telah memutus bersalah tiga terdakwa dalam kasus yang sama. Junaidi pernah bersaksi di pengadilan pada Oktober 2014. Kepada hakim, Junaidi menyatakan menandatangani SK itu karena percaya usulan Satuan Kerja Pengakat Daerah dan jajaran di bawahnya dan membantah pernah mengambil honor tersebut.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN Kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap lima orang tersebut pada Senin (23/5) di beberapa lokasi di Kepahiang Bengkulu. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner setelah sebelumnya Edi memberikan Rp500 juta kepada Janner pada 17 Mei 2016 sehingga total uang yang sudah diterima Janner sekitar Rp650 juta.

KPK menduga uang Rp650 juta tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Inshiroh membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13  UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.***2***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016