Pecinta kopi tentu sudah familiar dengan rasa arabika Gayo, arabika Sidikalang, Mandailing, Toraja bahkan Wamena. Namun, bagaimana rasa lima jenis arabika dalam sekali seruput?
"Perpaduan asam dan sepat nan lembut memenuhi rongga mulut, rasanya sangat enak," kata Supintri Yohar saat menyeruput kopi yang diproduksi petani di Desa Sungai Lintang, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi akhir pekan lalu.
Kopi arabika kualitas premium yang diberi nama Kopi Arabika Kerinci (KAK) itu merupakan produk petani binaan Lembaga Tumbuh Alami (LTA), salah satu lembaga yang fokus pada pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Kerinci.
Mulai dikembangkan pada 2009, produk "green bean" Kopi Arabika Kerinci sudah merambah pasar ekspor ke berbagai negara tujuan, antara lain Jerman, Amerika, Tiongkok dan Korea Selatan.
Adalah Yakub, petani kelahiran Sungai Lintang yang mulai mempraktikkan penanaman beberapa jenis arabika dalam satu hamparan lahan dengan tujuan mendapatkan cita rasa kopi yang enak.
Ada 1.000 batang arabika berbagai jenis yang ditanamnya di satu areal yakni kopi varietas Sigarar Utang, kopi Gayo, Andung Sari, S795, dan P88.
"Saya mulai tanam tahun 1999 dengan pertimbangan usia yang semakin tua dan menanam kopi tidak terlalu repot perawatannya," ujar pria kelahiran 1959 itu.
Yakub pun mulai mengenali perbedaan rasa masing-masing kopi tersebut dan sifat tanamannya. Arabika jenis andung sari, menurut dia, memiliki produksi buah yang paling tinggi, namun rasanya hambar.
Sedangkan kopi Gayo, umur berbuah paling lama dan jumlah buah paling sedikit tapi memiliki rasa paling enak.
Yakub pun sempat menganggap kopi asal dataran tinggi Aceh itu tidak akan berbuah bila ditanam di Kerinci.
"Kopi yang lain sudah mulai berbuah saat memasuki umur tiga tahun, tapi kopi Gayo mulai berbuah umur empat tahun, kami sempat ragu apakah tidak sesuai ditanam di Kerinci, tapi ternyata berbuah," katanya menerangkan.
Dari 1.000 batang kopi yang ditanamnya, jumlah arabika Sigarar Utang mendominasi dengan pertimbangan umur berbuah yang cepat dan produksi cukup tinggi.
Tidak hanya menjual ke pedagang pengumpul, Yakub pun mengolah sendiri lima jenis kopi arabika tersebut untuk kebutuhan konsumsi keluarganya.
"Kami tidak pernah minum kopi lain karena rasa kopi kami ini sangat enak," kata
Kopi yang ditanam Yakub sudah berusia 17 tahun dengan tiga kali proses pemangkasan. Produksinya masih tinggi mencapai 500 kilogram per bulan saat buah sepi dan sebanyak 1,5 ton saat musim buah.
Pakar kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur Surip Mawardi mengatakan ketinggian tempat rata-rata di atas 1.000 meter di atas permukaan laut membuat budi daya kopi sangat tepat di Kerinci.
"Memilih lima jenis arabika yang enak kemudian digabung, bisa dibayangkan rasanya pasti spesial," kata Surip.
Ia menjelaskan sejumlah keutungan menanam lima jenis arabika dalam satu areal, antara lain pengendalian hama penyakit yang lebih mudah dan produksi kopi yang saling melengkapi.
Hasil uji cita rasa arabika Kerinci yang dilakukan di laboratorium Puslitkoka pada September 2016 menunjukkan nilai akhir sebesar 86,25 atau masuk kategori "specialty grade".
Penyelamatan TNKS
Berawal dari 24 petani, kini 700 kepala keluarga petani di 34 desa di Kabupaten Kerinci telah terlibat dalam penanaman KAK. Mereka menanam lima jenis kopi arabika dengan sistem organik dengan pendapatan dari 1.000 batang kopi mencapai Rp120 juta per tahun.
Direktur Lembaga Tumbuh Alami (LTA) Kerinci Ema Fatma menuturkan pemberdayaan petani kopi setempat berangkat dari keresahan para aktivis lingkungan atas perambahan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Pada 2007, dengan dukungan lembaga donor untuk mengatasi perambahan di TNKS, Ema bertemu dengan Yakub, petani kopi di Desa Sungai Lintang kecamatan Kayu Aro Barat, Kerinci.
Sistem penanaman beberapa jenis arabika dalam satu areal cukup menarik bagi Ema, sehingga ia mulai mendatangkan ahli kopi dari Puslitkoka Jember, Jawa Timur untuk memberikan pengetahuan tentang budidaya kopi kepada petani.
Petani yang disasar adalah petani tanaman hortikultura yang berada di sekitar TNKS di wilayah Kabupaten Kerinci, sebab perambahan terhadap kawasan konservasi itu didominasi untuk perluasan tanaman hortikultura, seperti kentang, cabai, dan lainnya.
"Kami mulai dari pengadaan bibit unggul dari lima jenis arabika, mengatur pola dan jarak tanam hingga perbaikan pH tanah," kata Ema.
Awal penanaman pada 2009, pihaknya menyiapkan 100 ribu bibit kopi unggul, namun hanya 24 orang petani yang tertarik dengan jumlah kopi yang tertanam sebanyak 30 ribu bibit. Sisa bibit sebanyak 70 ribu batang terpaksa dibuang kala itu, sebab tak tersedia areal penanaman.
Dari 24 orang petani yang menanam kopi tersebut, Ema menyebutkan tidak seluruhnya merawat tanaman mereka hingga panen. Sebab pagi petani setempat yang merupakan petani hortikultura, umur berbuah kopi cukup lama.
Awal merintis memang sangat berat, bahkan ada yang menebang kopinya karena tidak yakin dengan keuntungan yang akan didapat, ucapnya.
Tantangan tersebut tak menyurutkan tekad Ema yang bersama rekan-rekan aktivis lingkungan lainnya mendirikan perusahaan penampung dan mengolah buah kopi petani tersebut di bawah bendera PT Agrotropik.
Buah merah kopi petani yang dibina itu dibeli oleh PT Agrotropik seharga Rp7.500 per kilogram lalu diolah dengan teknik pengupasan dan penjemuran yang baik sehingga menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi.
"Sejak awal kami memang menyasar pasar kualitas premium dengan kualitas kopi yang dihasilkan sangat tinggi standarnya," ucap perempuan yang juga menjabat Direktur PT Agrotropik ini.
Untuk mempromosikan kopi Kerinci, pihaknya mengikuti beberapa lomba kopi spesial dan berhasil meraih juara pertama pada kontes kopi spesial di Bali pada 2014.
"Rasa lima jenis arabika saling menetralkan dan kopi kami menghasilkan rasa floral dan madu," kata Ema.
Menjaga kualitas menurut Ema menjadi tantangan utama, sebab menjual kopi arabika berarti menjual rasa.
Pengolahan pascapanen mulai dari pemetikan buah merah, penggilingan, perendaman hingga penjemuran dan penyimpanan selalu dikontrol dengan baik.
Komposisi lima jenis kopi arabika dalam satu hamparan, menurut Ema, menjadi rahasia perusahaan untuk bersaing menciptakan rasa kopi yang enak.
Kini, produksi biji kopi yang dihasilkan mencapai 36 ton per bulan saat buah sepi, dan mencapai 100 ton per bulan saat musim buah.
Program ini bertujuan meningkatkan pendapatan petani dan hutan selamat, ucapnya.
Pada akhir 2016, untuk kedua kalinya didukung oleh "Tropical Forest Conservation Action-Sumatra" (TFCA-Sumatera) pihaknya akan menambah 30.000 bibit kopi unggul arabika yang akan ditanam oleh petani Desa Renah Pemetik yang berbatasan dengan TNKS, untuk mengatasi perambahan hutan di wilayah itu.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016
"Perpaduan asam dan sepat nan lembut memenuhi rongga mulut, rasanya sangat enak," kata Supintri Yohar saat menyeruput kopi yang diproduksi petani di Desa Sungai Lintang, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi akhir pekan lalu.
Kopi arabika kualitas premium yang diberi nama Kopi Arabika Kerinci (KAK) itu merupakan produk petani binaan Lembaga Tumbuh Alami (LTA), salah satu lembaga yang fokus pada pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Kerinci.
Mulai dikembangkan pada 2009, produk "green bean" Kopi Arabika Kerinci sudah merambah pasar ekspor ke berbagai negara tujuan, antara lain Jerman, Amerika, Tiongkok dan Korea Selatan.
Adalah Yakub, petani kelahiran Sungai Lintang yang mulai mempraktikkan penanaman beberapa jenis arabika dalam satu hamparan lahan dengan tujuan mendapatkan cita rasa kopi yang enak.
Ada 1.000 batang arabika berbagai jenis yang ditanamnya di satu areal yakni kopi varietas Sigarar Utang, kopi Gayo, Andung Sari, S795, dan P88.
"Saya mulai tanam tahun 1999 dengan pertimbangan usia yang semakin tua dan menanam kopi tidak terlalu repot perawatannya," ujar pria kelahiran 1959 itu.
Yakub pun mulai mengenali perbedaan rasa masing-masing kopi tersebut dan sifat tanamannya. Arabika jenis andung sari, menurut dia, memiliki produksi buah yang paling tinggi, namun rasanya hambar.
Sedangkan kopi Gayo, umur berbuah paling lama dan jumlah buah paling sedikit tapi memiliki rasa paling enak.
Yakub pun sempat menganggap kopi asal dataran tinggi Aceh itu tidak akan berbuah bila ditanam di Kerinci.
"Kopi yang lain sudah mulai berbuah saat memasuki umur tiga tahun, tapi kopi Gayo mulai berbuah umur empat tahun, kami sempat ragu apakah tidak sesuai ditanam di Kerinci, tapi ternyata berbuah," katanya menerangkan.
Dari 1.000 batang kopi yang ditanamnya, jumlah arabika Sigarar Utang mendominasi dengan pertimbangan umur berbuah yang cepat dan produksi cukup tinggi.
Tidak hanya menjual ke pedagang pengumpul, Yakub pun mengolah sendiri lima jenis kopi arabika tersebut untuk kebutuhan konsumsi keluarganya.
"Kami tidak pernah minum kopi lain karena rasa kopi kami ini sangat enak," kata
Kopi yang ditanam Yakub sudah berusia 17 tahun dengan tiga kali proses pemangkasan. Produksinya masih tinggi mencapai 500 kilogram per bulan saat buah sepi dan sebanyak 1,5 ton saat musim buah.
Pakar kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur Surip Mawardi mengatakan ketinggian tempat rata-rata di atas 1.000 meter di atas permukaan laut membuat budi daya kopi sangat tepat di Kerinci.
"Memilih lima jenis arabika yang enak kemudian digabung, bisa dibayangkan rasanya pasti spesial," kata Surip.
Ia menjelaskan sejumlah keutungan menanam lima jenis arabika dalam satu areal, antara lain pengendalian hama penyakit yang lebih mudah dan produksi kopi yang saling melengkapi.
Hasil uji cita rasa arabika Kerinci yang dilakukan di laboratorium Puslitkoka pada September 2016 menunjukkan nilai akhir sebesar 86,25 atau masuk kategori "specialty grade".
Penyelamatan TNKS
Berawal dari 24 petani, kini 700 kepala keluarga petani di 34 desa di Kabupaten Kerinci telah terlibat dalam penanaman KAK. Mereka menanam lima jenis kopi arabika dengan sistem organik dengan pendapatan dari 1.000 batang kopi mencapai Rp120 juta per tahun.
Direktur Lembaga Tumbuh Alami (LTA) Kerinci Ema Fatma menuturkan pemberdayaan petani kopi setempat berangkat dari keresahan para aktivis lingkungan atas perambahan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Pada 2007, dengan dukungan lembaga donor untuk mengatasi perambahan di TNKS, Ema bertemu dengan Yakub, petani kopi di Desa Sungai Lintang kecamatan Kayu Aro Barat, Kerinci.
Sistem penanaman beberapa jenis arabika dalam satu areal cukup menarik bagi Ema, sehingga ia mulai mendatangkan ahli kopi dari Puslitkoka Jember, Jawa Timur untuk memberikan pengetahuan tentang budidaya kopi kepada petani.
Petani yang disasar adalah petani tanaman hortikultura yang berada di sekitar TNKS di wilayah Kabupaten Kerinci, sebab perambahan terhadap kawasan konservasi itu didominasi untuk perluasan tanaman hortikultura, seperti kentang, cabai, dan lainnya.
"Kami mulai dari pengadaan bibit unggul dari lima jenis arabika, mengatur pola dan jarak tanam hingga perbaikan pH tanah," kata Ema.
Awal penanaman pada 2009, pihaknya menyiapkan 100 ribu bibit kopi unggul, namun hanya 24 orang petani yang tertarik dengan jumlah kopi yang tertanam sebanyak 30 ribu bibit. Sisa bibit sebanyak 70 ribu batang terpaksa dibuang kala itu, sebab tak tersedia areal penanaman.
Dari 24 orang petani yang menanam kopi tersebut, Ema menyebutkan tidak seluruhnya merawat tanaman mereka hingga panen. Sebab pagi petani setempat yang merupakan petani hortikultura, umur berbuah kopi cukup lama.
Awal merintis memang sangat berat, bahkan ada yang menebang kopinya karena tidak yakin dengan keuntungan yang akan didapat, ucapnya.
Tantangan tersebut tak menyurutkan tekad Ema yang bersama rekan-rekan aktivis lingkungan lainnya mendirikan perusahaan penampung dan mengolah buah kopi petani tersebut di bawah bendera PT Agrotropik.
Buah merah kopi petani yang dibina itu dibeli oleh PT Agrotropik seharga Rp7.500 per kilogram lalu diolah dengan teknik pengupasan dan penjemuran yang baik sehingga menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi.
"Sejak awal kami memang menyasar pasar kualitas premium dengan kualitas kopi yang dihasilkan sangat tinggi standarnya," ucap perempuan yang juga menjabat Direktur PT Agrotropik ini.
Untuk mempromosikan kopi Kerinci, pihaknya mengikuti beberapa lomba kopi spesial dan berhasil meraih juara pertama pada kontes kopi spesial di Bali pada 2014.
"Rasa lima jenis arabika saling menetralkan dan kopi kami menghasilkan rasa floral dan madu," kata Ema.
Menjaga kualitas menurut Ema menjadi tantangan utama, sebab menjual kopi arabika berarti menjual rasa.
Pengolahan pascapanen mulai dari pemetikan buah merah, penggilingan, perendaman hingga penjemuran dan penyimpanan selalu dikontrol dengan baik.
Komposisi lima jenis kopi arabika dalam satu hamparan, menurut Ema, menjadi rahasia perusahaan untuk bersaing menciptakan rasa kopi yang enak.
Kini, produksi biji kopi yang dihasilkan mencapai 36 ton per bulan saat buah sepi, dan mencapai 100 ton per bulan saat musim buah.
Program ini bertujuan meningkatkan pendapatan petani dan hutan selamat, ucapnya.
Pada akhir 2016, untuk kedua kalinya didukung oleh "Tropical Forest Conservation Action-Sumatra" (TFCA-Sumatera) pihaknya akan menambah 30.000 bibit kopi unggul arabika yang akan ditanam oleh petani Desa Renah Pemetik yang berbatasan dengan TNKS, untuk mengatasi perambahan hutan di wilayah itu.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016