Suasana warung internet di pinggiran Kota Bengkulu malam itu relatif sepi, hanya ada empat pengunjung yang sibuk dengan beberapa kali menekan tombol keyboard komputer dan mouse di meja serta serius menatap layar komputer.
    
Tiga dari empat pengunjung itu adalah remaja laki-laki yang diperkirakan umurnya sekitar 17 tahun. Rata-rata pengunjung warnet itu sedang main game online hingga berjam-jam lamanya. Pengelola warnet mengatakan, tempat yang dijaganya bisa beroperasi sampai subuh dinihari terutama saat liburan sekolah atau malam prei lainnya. Pada umumnya, pelanggannya hanya orang-orang tertentu saja yang telah sering berkunjung.

Salah satu pengunjung warnet tengah sibuk menggerak-gerakan mouse dan matanya tertuju ke monitor komputer adalah Saputra. Anak yang diketahui masih duduk di kelas satu SMA ini sedang sibuk main game online.

Hampir setiap hari, di warnet tersebut selalu ada pelanggan remaja yang berkunjung. Mereka kerap bermain game online atau membuka situs yang tidak seharusnnya mereka akses, seperti situs pornografi atau situs yang menyajikan gambar dan video berisi tayangan kekerasan.
Pemandangan serupa juga terlihat di warung internet yang berada di suatu daerah di Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.

Berdasarkan penelusuran selama beberapa hari, para pengunjung warnet tersebut ternyata tidak hanya memainkan game online sebagai hobi namun mereka juga kerap jual-beli poin atau chips agar bisa sampai pada level tertentu di game yang dimainkan. Poin atau chips yang dijual tersebut harganya bisa mencapai Rp50 ribu, atau tergantung hasil kesepakatan.
Membeli poin game pada sesama pemain dinilai sangat murah karena jika membeli secara online harganya jauh lebih mahal. Poin tersebut berfungsi untuk meningkatkan kemampuan karakter atau tokoh yang sedang dimainkan pada level tertentu. Semakin tinggi poin, semakin tinggi pula kemampuan pemain. Jika hal ini terus diikuti, maka permainan ini tidak akan ada ujungnya karena levelnya selalu meningkat dengan tantangan yang semakin seru.
Ujung-ujungnya, remaja penggila warnet ini menjadi kecanduan main game online dan menghabiskan banyak uang.

Sebagai penggila warnet yang statusnya sebagian besar masih pelajar maka mereka belum memiliki penghasilan. Untuk bisa tetap online di warnet maka pelajar itu menyisihkan uang jajan yang diberikan orangtuanya.

Bahkan ada yang beberapa kali minta uang ke orangtuanya untuk main ke warnet.
Fadhli, seorang pelajar kelas IX di sebuah SMP negeri di Kota Bengkulu mengaku dalam seminggu bisa main ke warnet tiga hingga empat kali. Sekali kunjungan rata-rata dia menghabiskan waktu tiga jam. Tarif satu jam warnet sebesar Rp3.000 per jam. "Itu belum masuk saat malam minggu yang bisa main sampai empat jam," ujarnya. Tentu saja itu belum termasuk kudapan dan minuman yang dia beli.

Keranjingan main game online ternyata terkadang diselingi dengan taruhan antarsesama pengunjung warnet. Mereka terkadang taruhan membayar ongkos warnet dan memberikan poin atau chips jika kalah bertanding di permainan online. Apabila taruhan kecil-kecilan ini dibiarkan, maka bisa memicu perjudian dengan nominal yang lebih besar.

Sementara itu, polisi belum bisa menemukan bukti kuat adanya praktik perjudian online atau taruhan yang dipicu dari permainan game online.
Kepala Bidang Humas Polda Bengkulu AKBP Sudarmo menuturkan pihaknya tidak memiliki angka rinci kasus perjudian online yang terjadi di wilayahnya meski diketahui ada orang yang melakukannya.

Kasus judi online biasanya diketahui setelah ada kasus sebelumnya, seperti penipuan atau penggelapan barang berharga yang dijadikan modal untuk berjudi di internet. "Kasusnya awalnya adalah penipuan tapi kemudian hasilnya dijadikan modal untuk berjudi di internet," kata juru bicara Polda Bengkulu ini.

Dia mengakui pihaknya susah mengungkap kasus perjudian online di wilayahnya karena pemilik atau pengelola situs ilegal itu bisa saja berada di luar negeri. "Kita kesulitan memberantasnya karena barang ini tidak kelihatan," ujarnya.



Kurang gaul


Untuk memenuhi hasrat bermain internet, para remaja penggila game online tersebut mencari duit dengan caranya sendiri agar dapat bermain di warnet selama berjam-jam. 
Terkadang mereka meminta uang kepada orangtua untuk keperluan sekolah, namun ternyata hanya dihabiskan di bilik-bilik warnet.

Sebagai penggila game online, Saputra mengaku beberapa kali minta uang kepada orangtua untuk alasan kerja kelompok belajar pada sore hari. Uang yang diminta bervariasi antara Rp15 ribu hingga Rp30 ribu.

Dia juga mengaku beberapa kali taruhan dengan temannya sesama pengguna warnet saat bermain game online. Memang nilai taruhan tersebut tidak seberapa, hanya cukup untuk membayar sewa warnet beberapa jam, namun hal itu merupakan benih-benih tidak baik yang bisa berkembang saat mereka dewasa.

Aktivitas di warnet yang melampaui batas tersebut tidak hanya menyita waktu belajar, tetapi waktu untuk berinteraksi dengan orangtua dan keluarga juga berkurang.

Kusdiyanti, salah satu orangtua pelajar, mengaku sebelumnya tidak mengetahui kalau anaknya kerap main di warnet. Ibu rumah tangga ini hanya merasa heran kalau anaknya kerap minta uang jajan sekolah berlebih. Biasanya setiap hari, dia kasih uang saku Rp5.000,00. Namun sejak beberapa bulan terakhir, anaknya yang masih duduk di kelas tiga SMP di Kota Bengkulu mengaku sering ada kegiatan di luar sekolah.

Awalnya, Kusdiyanti menilai permintaan anaknya itu wajar karena buah hatinya telah menginjak kelas tiga SMP sehingga banyak kegiatan tambahan belajar pada sore hari. Namun berdasar laporan tetangga, anaknya ternyata kerap mampir di warnet yang berada tidak jauh dari rumahnya.


Menurut aktivis pendidikan yang juga pendiri Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, kecanduan bermain game online tersebut tidak hanya membuat anak menjadi cenderung solitaire atau penyendiri, mereka juga bisa menjadi anak yang egois.
Bahkan, hal yang terparah adalah mereka meniru adegan atau perkataan kasar yang ada di game online tersebut. "Ini berbahaya," katanya.

Olehnya, dia mengimbau peran penting orngtua agar lebih memberikan pengawasan ekstra kepada anak-anaknya. Perhatian itu bisa cara dengan menjadi teman atau kakak bagi si buah hati, dengan demikian anak lebih merasa nyaman meski sebenarnya itu adalah bentuk pengawasan yang ketat.

Sementara, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bengkulu, Bustasar, merasa prihatian dengan banyaknya kasus kriminalitas yang dipicu dari tayangan atau pengaruh negatif internet.

Menurutnya, banyak anak-anak dan remaja yang mudah terjerumus dan berbuat melanggar norma akibat pengaruh internet, seperti berbohong kepada orangtua, main judi kecil-kecilan, mabuk-mabukan atau tindakan yang mengarah ke perbuatan pelecehan seksual.

Untuk menangkal berbagai ancaman perbuatan negatif tersebut, Kanwil Kemenag Bengkulu telah memperbanyak dan menerjunkan penceramah yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Daerah terpencil umumnya susah dijangkau aparat penegak hukum sehingga banyak potensi pelanggaran aturan.

Internet dengan mudahnya masuk ke sendi-sendi otak anak dan remaja. Aksesnyapun mudah, cukup dengan menggunakan smartphone yang harganya relatif terjangkau. Orangtua dan keluarga nampaknya masih menjadi benteng terkuat untuk membendung pengaruh buruk internet. 
“Olehnya, kembali lagi ke peran keluarga dan orangtua untuk mencegah ancaman tersebut. Kalau cuma mengandalkan aparat atau ulama saja, itu masih kurang cukup,” ujar Bustasar.*



Pewarta: Riski Maruto

Editor : Riski Maruto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016