Gerimis di akhir November membasahi hamparan Renah Pemetik, saat Nasir menyambut kedatangan sekelompok orang di kebun kopi miliknya di perladangan Desa Kemantan, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Tamu itu adalah empat orang warga Muara Bungo, kabupaten yang bertetangga dengan Kerinci. Mereka ingin melihat budidaya kopi arabika yang dikembangkan Nasir di Renah Pemetik.
"Kami dengar kesuksesan kopi arabika di Renah Pemetik. Kami juga mau ganti robusta jadi arabika karena harganya lebih mahal, jadi mau belajar ke petani di sini," kata Mustar, salah seorang tamu itu, di Renah Pemetik, akhir bulan lalu.
Empat tahun terakhir, Nasir bersama tiga orang warga Desa Kemantan lainnya, Nasrul dan Zukiar memulai budidaya kopi arabika di hamparan lahan masing-masing seluas satu hingga satu setengah hektare.
Ketiganya merupakan pensiunan aparatur sipil negara yang mengganti kebun kayu manis warisan keluarga menjadi tanaman kopi arabika.
Awalnya, para perintis arabika itu dianggap gila, karena di wilayah itu tak ada petani yang menanam kopi arabika.
Namun, dua tahun setelah tanam, kopi arabika yang dibudidayakan Nasir, Nasrul dan Zukiar itu mulai menghasilkan buah, bahkan tanaman mereka tak berhenti berbuah sepanjang tahun.
Zukiar, salah seorang dari tiga petani perintis arabika itu mengatakan, ada musim buah selama empat bulan, tapi dalam setahun tidak berhenti panen. Saat ini ia bisa mengantongi Rp3,6 juta per bulan dari kopi.
Pendapatan itu diyakini akan terus bertambah, sebab dari 2.300 batang kopi milik Zukiar, baru 60 persen yang berbuah. Setiap bulan ia memanen 150 kilogram biji kopi, dan meningkat 300 kilogram saat puncak musim buah dengan harga Rp21.500 per kilogram.
Waktu tanam yang berbeda membuat masa panen pun tak serentak. Awalnya ia menanam 1.000 batang, lalu menambah 1.300 batang lainnya. Kini ada 2.300 batang kopi di atas lahan seluas 1,5 hektare yang diolahnya.
Kalau semua batang berbuah, ia mengaku akan kewalahan memetik kopi merah. Tapi yang utama kebunnya jadi bukti kalau arabika tumbuh bagus di Kerinci.
Keberhasilan budidaya dan pendapatan yang menggiurkan membuat puluhan petani lainnya di Renah Pemetik, hingga petani daerah tetangga mulai tertarik mengembangkan kopi arabika.
Sasar Perambah
Renah Pemetik adalah hamparan seluas lebih 8.000 hektare, berupa hutan produksi sekaligus penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di wilayah Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Wilayah yang berdekatan dengan Desa Pungut Mudik, Desa Kemantan, Semurup, dan Sulak itu dikenal sebagai penghasil kulit kayu manis dan tanaman hortikultura seperti kentang, kacang merah, dan cabai.
Petani setempat telah lama mengenal kopi namun jenisnya robusta. Beberapa tahun terakhir, robusta pun jadi komoditas utama yang dikembangkan hingga merambah TNKS.
Nasrul pun berkisah ihwal merintis budidaya arabika yang tidak lepas dari pemberdayaan petani di sekitar TNKS yang digerakkan lembaga swadaya masyarakat.
Mulai dirintis pada 2012, pengembangan arabika di wilayah itu tak sekedar mengganti komoditas baru lalu mempopulerkannya di kalangan petani.
Nasir mengatakan, mereka punya tantangan mengoptimalkan lahan di Renah Pemetik dengan kopi arabika sekaligus menarik turun perambah dari hutan TNKS.
Mantan Ketua Pengurus Hutan Adat Kemantan ini mengatakan, areal pertanian di Renah Pemetik dikenal sebagai wilayah adat untuk kegiatan berkebun yang dikenal dengan istilah "Ajun Arah".
Namun, ribuan hektare lahan itu justru ditinggalkan petani karena dianggap tak lagi memiliki unsur hara. Sebagian petani yang meninggalkan "Ajun Arah" lalu membuka lahan baru yang dianggap lebih subur di hutan TNKS.
Nasrul bersama Nasir dan Zukiar pun membuktikan bahwa lahan "jenuh" itu dapat diolah dengan sistem organik dan menghasilkan kopi yang berbuah sepanjang tahun. Tanaman kopi mereka telah mematahkan anggapan petani bahwa lahan di Renah Pemetik tak lagi produktif.
Melihat capaian ketiga petani itu, sejumlah petani yang sempat membuka hutan TNKS pun kembali ke "Ajun Arah" dan menanam arabika.
Ermiadi dan Paidirman adalah dua orang petani yang sebelumnya membuka hutan TNKS untuk ditanami kopi. Kini, keduanya memulai budidaya arabika dengan dampingan dari ketiga petani perintis itu.
Paidirman mengaku, saat berkebun di TNKS ia tidak tenang dan selalu was-was kalau ada operasi dari petugas polisi hutan. Jadi ia pun turun ke Renah Pemetik mengolah tanah warisan.
Kini, tanaman arabika seluas tiga perempat hektare milik Ermiadi dan seluas satu hektare milik Paidirman mulai belajar berbuah. Sembari menunggu kopi berbuah, mereka menanami kacang merah di sela tanaman kopi.
Selamatkan TNKS
Perambahan hutan masih menjadi ancaman bagi kelestarian TNKS seluas 1,3 juta hektare yang meliputi Provinsi Jambi seluas 422.190 hektare, Provinsi Bengkulu 310.910 hektare, Provinsi Sumatera Selatan seluas 281.120 hektare dan Provinsi Sumatera Barat seluas 353.780 hektare.
Di wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi, luas hutan TNKS mencapai 215 ribu hektare, di mana lebih 18 ribu hektare telah beralih fungsi menjadi kebun tanaman hortikultura.
Dari 18 ribu hektare yang beralih fungsi tersebut, seluas itu 4.200 hektare berada di wilayah Renah Pemetik yang masuk dalam wilayah Resor Kerinci Selatan.
Kepala Bidang Wilayah I BBTNKS, Jaya Sumpena menyebutkan, pembukaan kawasan TNKS di Kerinci Selatan sebagian besar ditanami kopi, kentang dan tanaman semusim lain.
Pemasangan papan larangan dan sosialisasi ke masyarakat telah dilakukan pihak Balai Besar TNKS yang berpusat di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci, Jambi untuk mengatasi perambahan.
Namun, upaya ini belum efektif sebab menurut data yang dirilis UNESCO pada 2014, bahwa tren perambahan hutan konservasi itu meningkat, terutama di wilayah Renah Pemetik.
Salah satu solusi ditawarkan Yayasan Lembaga Tumbuh Alami (LTA) Kerinci yaitu budidaya kopi arabika di zona penyangga TNKS dengan tujuan menekan laju perambahan hutan.
Praktik ini pun menimbulkan tanya. Bagaimana budidaya kopi mampu menekan laju perambahan hutan? Padahal hutan konservasi di wilayah itu justru dirambah untuk diganti tanaman kopi.
Direktur Yayasan LTA, Ema Fatma mengatakan budidaya arabika mampu mengubah kebiasaan petani. Menanam arabika berarti menyediakan lebih banyak waktu untuk merawat dan memanen buahnya.
Petani, lanjut dia, disibukkan dengan perawatan tanaman dan diwajibkan memanen buah merah sehingga panen berlangsung sepanjang tahun dan otomatis tidak ada waktu lagi ke hutan membuka ladang baru.
Pola tersebut sudah diterapkan lebih 600 petani di wilayah Kayu Aro dan 77 petani di Renah Pemetik dengan estimasi pendapatan rata-rata mencapai Rp120 juta per tahun.
Pada akhir tahun ini dengan dukungan program "Tropical Forest Conservations Action" Sumatera (TFCA-Sumatera), LTA yang bergabung dalam konsorsium Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) menyedikan 30 ribu bibit kopi arabika untuk petani di Renah Pemetik.
Ia menjelaskan, targetnya tidak muluk-muluk, yaitu keberhasilan petani arabika di Renah Pemetik dapat menarik turun perambah dari TNKS, seperti Ermiadi dan Paidirman.
Untuk mendekatkan teknologi budidaya arabika dengan petani, LTA mendirikan "Kamp Arabica" di Desa Pemetik Gedang yang masuk dalam hamparan Renah Pemetik.
Tidak hanya membina proses budidaya, LTA lewat perusahaan PT Agrotropik juga menampung buah kopi petani dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga pasar.
Manajer Komunikasi TFCA-Sumatera, Ali Sofiawan mengatakan pemberdayaan petani di penyangga TNKS yang digagas LTA lewat konsorsium AKAR mampu menekan perambahan hutan di wilayah itu.
Penelitian UNESCO pada 2014 menunjukkan tingkat perambahan di Kayu Aro cenderung stabil grafiknya, sedangkan di Renah Pemetik masih terus naik.
Ali menjelaskan, hal tersebut merupakan terobosan baru ketika di banyak tempat kopi justru menjadi komoditas yang ditanam di areal hutan yang dirambah.
Budidaya arabika di penyangga TNKS di Renah Pemetik yanga digagas TFCA-Sumatera bersama Konsorsium AKAR terbukti mampu menarik petani dari dalam kawasan hutan.
Pola yang diterapkan di Renah Pemetik menurut dia merupakan potret sekaligus bukti bahwa ketika rakyat sejahtera maka hutan akan selamat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016
Tamu itu adalah empat orang warga Muara Bungo, kabupaten yang bertetangga dengan Kerinci. Mereka ingin melihat budidaya kopi arabika yang dikembangkan Nasir di Renah Pemetik.
"Kami dengar kesuksesan kopi arabika di Renah Pemetik. Kami juga mau ganti robusta jadi arabika karena harganya lebih mahal, jadi mau belajar ke petani di sini," kata Mustar, salah seorang tamu itu, di Renah Pemetik, akhir bulan lalu.
Empat tahun terakhir, Nasir bersama tiga orang warga Desa Kemantan lainnya, Nasrul dan Zukiar memulai budidaya kopi arabika di hamparan lahan masing-masing seluas satu hingga satu setengah hektare.
Ketiganya merupakan pensiunan aparatur sipil negara yang mengganti kebun kayu manis warisan keluarga menjadi tanaman kopi arabika.
Awalnya, para perintis arabika itu dianggap gila, karena di wilayah itu tak ada petani yang menanam kopi arabika.
Namun, dua tahun setelah tanam, kopi arabika yang dibudidayakan Nasir, Nasrul dan Zukiar itu mulai menghasilkan buah, bahkan tanaman mereka tak berhenti berbuah sepanjang tahun.
Zukiar, salah seorang dari tiga petani perintis arabika itu mengatakan, ada musim buah selama empat bulan, tapi dalam setahun tidak berhenti panen. Saat ini ia bisa mengantongi Rp3,6 juta per bulan dari kopi.
Pendapatan itu diyakini akan terus bertambah, sebab dari 2.300 batang kopi milik Zukiar, baru 60 persen yang berbuah. Setiap bulan ia memanen 150 kilogram biji kopi, dan meningkat 300 kilogram saat puncak musim buah dengan harga Rp21.500 per kilogram.
Waktu tanam yang berbeda membuat masa panen pun tak serentak. Awalnya ia menanam 1.000 batang, lalu menambah 1.300 batang lainnya. Kini ada 2.300 batang kopi di atas lahan seluas 1,5 hektare yang diolahnya.
Kalau semua batang berbuah, ia mengaku akan kewalahan memetik kopi merah. Tapi yang utama kebunnya jadi bukti kalau arabika tumbuh bagus di Kerinci.
Keberhasilan budidaya dan pendapatan yang menggiurkan membuat puluhan petani lainnya di Renah Pemetik, hingga petani daerah tetangga mulai tertarik mengembangkan kopi arabika.
Sasar Perambah
Renah Pemetik adalah hamparan seluas lebih 8.000 hektare, berupa hutan produksi sekaligus penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di wilayah Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Wilayah yang berdekatan dengan Desa Pungut Mudik, Desa Kemantan, Semurup, dan Sulak itu dikenal sebagai penghasil kulit kayu manis dan tanaman hortikultura seperti kentang, kacang merah, dan cabai.
Petani setempat telah lama mengenal kopi namun jenisnya robusta. Beberapa tahun terakhir, robusta pun jadi komoditas utama yang dikembangkan hingga merambah TNKS.
Nasrul pun berkisah ihwal merintis budidaya arabika yang tidak lepas dari pemberdayaan petani di sekitar TNKS yang digerakkan lembaga swadaya masyarakat.
Mulai dirintis pada 2012, pengembangan arabika di wilayah itu tak sekedar mengganti komoditas baru lalu mempopulerkannya di kalangan petani.
Nasir mengatakan, mereka punya tantangan mengoptimalkan lahan di Renah Pemetik dengan kopi arabika sekaligus menarik turun perambah dari hutan TNKS.
Mantan Ketua Pengurus Hutan Adat Kemantan ini mengatakan, areal pertanian di Renah Pemetik dikenal sebagai wilayah adat untuk kegiatan berkebun yang dikenal dengan istilah "Ajun Arah".
Namun, ribuan hektare lahan itu justru ditinggalkan petani karena dianggap tak lagi memiliki unsur hara. Sebagian petani yang meninggalkan "Ajun Arah" lalu membuka lahan baru yang dianggap lebih subur di hutan TNKS.
Nasrul bersama Nasir dan Zukiar pun membuktikan bahwa lahan "jenuh" itu dapat diolah dengan sistem organik dan menghasilkan kopi yang berbuah sepanjang tahun. Tanaman kopi mereka telah mematahkan anggapan petani bahwa lahan di Renah Pemetik tak lagi produktif.
Melihat capaian ketiga petani itu, sejumlah petani yang sempat membuka hutan TNKS pun kembali ke "Ajun Arah" dan menanam arabika.
Ermiadi dan Paidirman adalah dua orang petani yang sebelumnya membuka hutan TNKS untuk ditanami kopi. Kini, keduanya memulai budidaya arabika dengan dampingan dari ketiga petani perintis itu.
Paidirman mengaku, saat berkebun di TNKS ia tidak tenang dan selalu was-was kalau ada operasi dari petugas polisi hutan. Jadi ia pun turun ke Renah Pemetik mengolah tanah warisan.
Kini, tanaman arabika seluas tiga perempat hektare milik Ermiadi dan seluas satu hektare milik Paidirman mulai belajar berbuah. Sembari menunggu kopi berbuah, mereka menanami kacang merah di sela tanaman kopi.
Selamatkan TNKS
Perambahan hutan masih menjadi ancaman bagi kelestarian TNKS seluas 1,3 juta hektare yang meliputi Provinsi Jambi seluas 422.190 hektare, Provinsi Bengkulu 310.910 hektare, Provinsi Sumatera Selatan seluas 281.120 hektare dan Provinsi Sumatera Barat seluas 353.780 hektare.
Di wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi, luas hutan TNKS mencapai 215 ribu hektare, di mana lebih 18 ribu hektare telah beralih fungsi menjadi kebun tanaman hortikultura.
Dari 18 ribu hektare yang beralih fungsi tersebut, seluas itu 4.200 hektare berada di wilayah Renah Pemetik yang masuk dalam wilayah Resor Kerinci Selatan.
Kepala Bidang Wilayah I BBTNKS, Jaya Sumpena menyebutkan, pembukaan kawasan TNKS di Kerinci Selatan sebagian besar ditanami kopi, kentang dan tanaman semusim lain.
Pemasangan papan larangan dan sosialisasi ke masyarakat telah dilakukan pihak Balai Besar TNKS yang berpusat di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci, Jambi untuk mengatasi perambahan.
Namun, upaya ini belum efektif sebab menurut data yang dirilis UNESCO pada 2014, bahwa tren perambahan hutan konservasi itu meningkat, terutama di wilayah Renah Pemetik.
Salah satu solusi ditawarkan Yayasan Lembaga Tumbuh Alami (LTA) Kerinci yaitu budidaya kopi arabika di zona penyangga TNKS dengan tujuan menekan laju perambahan hutan.
Praktik ini pun menimbulkan tanya. Bagaimana budidaya kopi mampu menekan laju perambahan hutan? Padahal hutan konservasi di wilayah itu justru dirambah untuk diganti tanaman kopi.
Direktur Yayasan LTA, Ema Fatma mengatakan budidaya arabika mampu mengubah kebiasaan petani. Menanam arabika berarti menyediakan lebih banyak waktu untuk merawat dan memanen buahnya.
Petani, lanjut dia, disibukkan dengan perawatan tanaman dan diwajibkan memanen buah merah sehingga panen berlangsung sepanjang tahun dan otomatis tidak ada waktu lagi ke hutan membuka ladang baru.
Pola tersebut sudah diterapkan lebih 600 petani di wilayah Kayu Aro dan 77 petani di Renah Pemetik dengan estimasi pendapatan rata-rata mencapai Rp120 juta per tahun.
Pada akhir tahun ini dengan dukungan program "Tropical Forest Conservations Action" Sumatera (TFCA-Sumatera), LTA yang bergabung dalam konsorsium Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) menyedikan 30 ribu bibit kopi arabika untuk petani di Renah Pemetik.
Ia menjelaskan, targetnya tidak muluk-muluk, yaitu keberhasilan petani arabika di Renah Pemetik dapat menarik turun perambah dari TNKS, seperti Ermiadi dan Paidirman.
Untuk mendekatkan teknologi budidaya arabika dengan petani, LTA mendirikan "Kamp Arabica" di Desa Pemetik Gedang yang masuk dalam hamparan Renah Pemetik.
Tidak hanya membina proses budidaya, LTA lewat perusahaan PT Agrotropik juga menampung buah kopi petani dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga pasar.
Manajer Komunikasi TFCA-Sumatera, Ali Sofiawan mengatakan pemberdayaan petani di penyangga TNKS yang digagas LTA lewat konsorsium AKAR mampu menekan perambahan hutan di wilayah itu.
Penelitian UNESCO pada 2014 menunjukkan tingkat perambahan di Kayu Aro cenderung stabil grafiknya, sedangkan di Renah Pemetik masih terus naik.
Ali menjelaskan, hal tersebut merupakan terobosan baru ketika di banyak tempat kopi justru menjadi komoditas yang ditanam di areal hutan yang dirambah.
Budidaya arabika di penyangga TNKS di Renah Pemetik yanga digagas TFCA-Sumatera bersama Konsorsium AKAR terbukti mampu menarik petani dari dalam kawasan hutan.
Pola yang diterapkan di Renah Pemetik menurut dia merupakan potret sekaligus bukti bahwa ketika rakyat sejahtera maka hutan akan selamat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016