Inovasi adalah napas. Berhenti berinovasi artinya mati. Begitulah prinsip Tentrem Sri Minarsih, perempuan perajin kulit kayu lantung, kerajinan khas Bengkulu, dalam menjalankan usahanya selama 17 tahun terakhir.

Di tangan perempuan kelahiran Grobogan, Jawa Tengah pada 8 Agustus 1959 itu, kulit kayu dari pohon lantung dijadikan berbagai produk. Hasil produksinya sukses bersaing di pasar domestik hingga mancanegara.

Semua berawal dari keinginannya untuk memanfaatkan sumber daya alam lokal, yaitu kulit kayu lantung atau disebut pohon terap atau dalam bahasa ilmiah bernama Arthocarpus elasticus.

"Saya lihat kayu lantung dipakai untuk kayu bakar dan kulitnya hanya digunakan untuk tali keranjang atau `bronang` dalam bahasa Bengkulu," kata Tentrem di Bengkulu, Jumat.

Tentrem mulai menekuni kerajinan lantung pada 2000. Ia pun menutup usaha butik dan mengganti tokonya sebagai galeri produk kulit kayu lantung dengan nama "Askara Art Galery".

Awalnya, kerajinan yang diproduksi sangat sederhana, seperti gantungan kunci, kotak pensil, kotak tisu, topi, rompi, dan hiasan dinding.

Ia pun melakukan diversifikasi produk dengan membuat tas berbahan kulit kayu dipadu dengan batik "besurek" yang merupakan batik khas Bengkulu.

"Saya memutuskan produk-produk yang dibuat harus berkelas dan bisa diterima di dunia mode internasional," tutur ibu tiga anak ini.

Untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing produknya, kualitas menjadi prasyarat utama.

Keterbatasan tenaga kerja lokal dalam menciptakan produk yang rapi dan bagus, membuat Tentrem terpaksa mencari perajin di Pulau Jawa.

Bahan baku yang sebagian besar dibeli dari petani di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kaur, dikirim ke perajin di Pulau Jawa untuk dijadikan bahan tas dan sarung komputer jinjing.

Produk yang berkualitas, unik dan eksklusif, serta ramah lingkungan membuat Tentrem kerap mendapat undangan dari sejumlah lembaga dan kementerian untuk berpameran di kota-kota besar di Indonesia hingga luar negeri.

Tentrem dan produknya pun sudah melanglang buana ke berbagai negara, mulai dari Asia Tenggara, Eropa, hingga Timur Tengah.

"Kopiah yang kami buat pernah dibeli oleh keluarga Sutan Hasanah Bolkiah sebagai hadiah ulang tahun Sultan saat pameran di Brunei Darussalam tahun 2010," katanya.

Karyanya pun diapresiasi berbagai pihak, antara lain penghargaan Paramakarya kategori kualitas dan produktivitas dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2009, nominasi Inacraft pada 2009 dan 2011, serta Upakarti dari Presiden RI pada 2010.

Prestasi terus diukirnya mendapat penghargaan Citi Microenterpreneurship Award kategori mikro sosial pada 2012 dan masuk dalam nominasi UKM terinovatif ASEAN pada 2013.





Inovasi Produk

Meraih sejumlah penghargaan dan memiliki pembeli di beberapa negara tak lantas membuat Tentrem berpuas diri.

Inovasi yang menjadi kata kunci usahanya terus dilakukan dengan merilis produk baru sejak 2013, yakni sepatu untuk laki-laki dan perempuan, dari kulit kayu lantung, dipadu dengan kulit sapi dan batik "besurek".

"Inovasi baru penting untuk membuat konsumen lebih tertarik mengonsumsi produk kita," ucapnya.

Produk baru ini cukup diminati pasar, ditandai dengan permintaan tinggi dari pembeli saat mengikuti pameran di Vietnam dan Filipina pada akhir tahun lalu.

Kini, ada tiga produknya yang paling diminati pasar, yakni topi, sepatu, dan tas.

Namun, ia menyayangkan minimnya kualitas tenaga kerja di Bengkulu untuk mengembangkan produk berbahan kulit kayu tersebut.

Padahal, menurut dia, tidak hanya kulit kayu lantung, beberapa jenis kayu bergetah lainnya, seperti waru, nangka, melinjo, hingga karet, dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku.

"Bulan depan saya berencana mengisi lokakarya pengolahan kulit kayu lantung untuk kaum perempuan di Bengkulu Tengah," ujarnya.

Persoalan bahan baku bagi dia tidak menjadi masalah, sebab para petani di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kaur rutin mengirim kulit kayu yang sudah diolah.

Keunggulan kerajinan berbahan kulit lantung, yakni ramah lingkungan dan berkelanjutan, sebab pengambilan bahan baku tidak mematikan pohon induk.

Namun, usaha yang digelutinya bukan tanpa masalah. Ia pun teringat saat heboh kerajinan batu akik pada 2014 di Bengkulu yang membuat para pemasok bahan kulit kayu lantung berhenti berproduksi karena berpindah pekerjaan mencari perajin batu akik.

"Waktu itu saya terpaksa mencari sendiri bahan baku dan memproses menjadi lembaran kulit kayu siap olah," kata Tentrem yang pernah menjual kulit kayu lantung sebagai media lukisan ke pembeli asal Israel.

Totalitas menjadi kata kuncinya yang lain untuk keberlanjutan terhadap bidang yang digelutinya itu.

Ia pun kerap bereksperimen dalam perebusan kulit kayu tersebut untuk mendapatkan warna alami.

Bahkan, Tentrem bereksperimen dengan bahan-bahan alami untuk pewarnaan kulit lantung sehingga label ramah lingkungan layak disematkan pada produknya.

"Saya sedang menyiapkan label sendiri untuk beberapa produk yang paling diminati pasar dan bermimpi punya galeri di Milan, Italia," katanya. ***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017