Bengkulu (Antara) - Sejumlah akademisi dari berbagai latar bidang ilmu membahas dampak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt (MW) yang akan dibangun di pesisir Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

"Perlu kajian lebih luas, terutama dampaknya terhadap kelestarian pesisir Bengkulu," kata dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu, Nela Tri Agustini saat diskusi para pihak tentang rencana pembangunan PLTU batu bara Bengkulu yang digelar Yayasan Kanopi Bengkulu, Sabtu.

Nela mengatakan pembakaran batu bara untuk menghasilkan uap guna menggerakkan turbin akan menghasilkan polusi penghasil karbondioksida.

Lalu, karbondioksida tersebut akan memicu pengasaman di laut yang berdampak pada terganggunya ekosistem terumbu karang sehingga terjadi pemutihan karang atau fenomena "coral bleaching".

Dalam diskusi itu, pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Profesor Iskandar mempertanyakan status pertanahan yang menjadi lokasi berdirinya PLTU yang merupakan areal PT Pelindo II.

"Seperti negara dalam negara sebab PT Pelindo diberi hak pengelolaan lahan lalu memberi ijin kepada PT Tenaga Listrik Bengkulu, apakah pembangunan PLTU bagian dari peruntukan lahan yang diberikan negara kepada PT Pelindo II ini yang perlu diperjelas," kata dia.

Iskandar juga menyebutkan bahwa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu dan RTRW Kota Bengkulu tidak ada rencana pembangunan PLTU.

"Kalau dalam RTRW provinsi dan kota tidak menyebutkan rencana pembangunan PLTU batu bara , maka proyek ini melanggar aturan," katanya.

Dosen Fakultas Isipol Universitas Bengkulu, Titiek Kartika meminta pemerintah mencari sumber energi yang lebih ramah lingkungan demi keberlanjutan sumber-sumber penghidupan masyarakat.

Tokoh masyarakat Teluk Sepang, Hamidin yang hadir dalam diskusi itu mengatakan sebelum PLTU batu bara berdiri, masyarakat sudah merasakan dampak negatifnya yakni pembabatan mangrove di pinggir kolam pelabuhan Pulau Baai.

"Masyarakat disuruh menanam mangrove tapi sudah dibabat habis oleh perusahaan untuk rencana pembuatan kolam pembuangan limbah" katanya.

Hamidin mengatakan, masyarakat Kelurahan Teluk Sepang meminta pemerintah mencabut izin pendirian PLTU batu bara di area yang hanya berjarak dua kilometer dari permukiman penduduk itu.

Direktur Kanopi Bengkulu, Ali Akbar mengatakan pandangan serta masukan dari para pihak ini akan menjadi bagian dari upaya penolakan proyek PLTU batu bara Bengkulu yang disampaikan ke pemerintah.

"Kita juga mendesak pemerintah menghentikan pemakaian energi kotor batu bara dan mengganti dengan sumber energi bersih yang potensinya melimpah, seperti tenaga air, surya dan angin," katanya.

Pembangunan PLTU batu bara Teluk Sepang oleh PT Tenaga Listrik Bengkulu didukung investor asal Tiongkok dengan target operasi pada 2019.

Daya yang dihasilkan dari PLTU batu bara tersebut ditargetkan memenuhi kebutuhan listrik daerah guna meningkatkan elektrifikasi dari 88,6 persen menjadi 100 persen pada 2019.***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017