Jakarta (Antara) - Mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sempat menjadi korban penyiksaan di Hong Kong, Erwiana Sulistyaningsih, menilai upaya perlindungan WNI buruh migran di luar negeri semakin baik.

"Kalau di Hong Kong sudah lebih baik, pihak KJRI mau mendengar keluhan kami dan menyambangi ke shelter perlindungan TKI," tutur Erwiana dalam salah satu diskusi tentang buruh migran di Pertemuan Diaspora Indonesia ke-4 (IDN-4 Global Summit) di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, upaya perlindungan dan pendampingan terhadap TKI di luar negeri berangsur membaik sejak kasus penyiksaan yang menimpanya mencuat pada 2014.

Pada saat itu, Erwiana memilih didampingi oleh organisasi buruh migran Mission for Migrant Workers karena merasa lebih nyaman berjuang bersama para buruh migran dan kecewa aduannya tidak diakomodasi oleh agen tenaga kerja yang membawanya.

Perjuangan Erwiana memperoleh keadilan hukum bagi dirinya kemudian memperkuat peran organisasi buruh migran, yang kemudian menjadi tempat berlindung para TKI yang mengalami tindak kekerasan serupa dan memunculkan keinginan pemerintah untuk bekerja sama melindungi para TKI.

"Akhirnya pemerintah mulai terbuka, karena dulunya tidak mau memperjuangkan bersama dengan pihak lain termasuk organisasi sehingga upaya hukum atas kasus-kasus seperti ini menjadi tidak maksimal," kata perempuan asal Ngawi, Jawa Timur.

Erwiana yang pergi ke Hong Kong untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi membantu keuangan keluarga, justru mendapat siksaan fisik selama delapan bulan oleh majikannya, Law Wan-tung.

Tindak penyiksaan yang dialaminya menarik perhatian masyarakat serta media internasional setelah seorang rekannya mengunggah foto Erwiana yang badannya lemah dan penuh luka infeksi ke media sosial, sebelum ia dipulangkan ke Indonesia oleh si majikan.

Viralnya foto Erwiana di media sosial mendorong aksi unjuk rasa lima buruh migran yang bekerja di Hong Kong untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan menuntut majikannya dihukum berat.

Perjuangan Erwiana mendapatkan keadilan membuahkan hasil saat pengadilan Hong Kong menjatuhi hukuman enam tahun penjara terhadap mantan majikannya pada Februari 2015.

Saat ini, perempuan yang termasuk dalam "100 Most Powerful People" versi majalah "Time" pada April 2014 itu masih berjuang dalam penyelesaian kasusnya secara perdata dengan tuntutan 800 ribu dolar Hong Kong.

"Desember nanti sidang terakhir untuk tuntutan ganti rugi saya, yang jelas saya tidak akan berhenti berjuang," tutur perempuan yang kini melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. ***2***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017