Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Bengkulu menyebutkan masyarakat adat di daerah itu semakin tersingkir, bahkan kehilangan hak atas tanah ulayat yang merupakan identitas sebagai masyarakat adat.

"Masyarakat adat semakin jauh dari sejahtera, bahkan faktanya mereka semakin tersingkir di rumahnya sendiri akibat kebijakan pemerintah," kata Ketua Pengurus AMAN wilayah Bengkulu Haitami Sulani usai membuka musyawarah wilayah ke-II AMAN Bengkulu, Selasa.

Ia mengatakan salah satu faktanya adalah pengusiran masyarakat adat Lembak Semende dari tanah leluhurnya yang diklaim pemerintah atas nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Kaur, Bengkulu, yang berbatasan dengan Provinsi Sumatra Selatan dan Lampung itu sudah menduduki kawasan itu jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Kenyataannya mereka tersingkir dari tanah ulayat mereka dengan dalih menyelamatkan hutan," ujarnya.

Ia mencontohkan kasus lainnya yakni masyarakat adat Serawai Semidang Sakti di Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma yang kehilangan hak tenurial akibat operasi PTPN VII.

Masyarakat adat berupaya merebut kembali hak kelola mereka, namun dituduh menghalang-halangi aktivitas perusahaan milik negara tersebut.

Demikian pula dengan tiga masyarakat adat lainnya di Kabupaten Kaur yakni masyarakat adat Semende Muara Sahung, Marta Tetap Tanjung Agung dan Marga Sambat yang tersingkir akibat kehadiran perusahaan perkebunan sawit PT Desaria Plantation Mining dan PT Sepang Makmur Perkasa.

"Bukan hanya merampas akses mereka terhadap hutan, bahkan lahan garapan tempat masyarakat menggantungkan hidupnya, juga diserobot perusahaan atas izin negara," katanya.

Padahal, kata dia, sejak ratusan tahun hutan merupakan segalanya yang menyediakan apa saja yang mereka perlukan, sekaligus menjadi identitas mereka.

Namun, bagi pemerintah, hutan seolah menjadi kawasan komoditas yang boleh diperlakukan sebagai tambang uang, dan konflik tidak jarang terjadi dengan masyarakat adat.

Menurut dia, justru peraturan perundangan yang ada di Indonesia hanya dibuat untuk memberikan peluang sebesar-besarnya bagi investasi, tetapi menghancurkan kehidupan komunitas masyarakat adat yang sudah ada di kawasan hutannya dan di atas tanah warisan leluhurnya, jauh sebelum adanya negara.

Sebanyak 26 komunitas masyarakat adat di Provinsi Bengkulu menurutnya belum memiliki akses terhadap hutan adat mereka.

"Hutan yang sudah lama menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat sudah hampir punah karena pengelolaan amburadul oleh pemerintah," katanya.

Ia mengingatkan bahwa dalam forum Konferensi Internasional Tentang Tenurial Hutan, Tata Pemerintahan dan Tata Wirausaha Kehutahan di Senggigi Nusa Tenggara Barat pada Juli 2011 merekomendasikan beberapa bagi pemerintah Indonesia.

Rekomendasi pertama, kata dia, pemerintah harus mengawal regulasi kehutanan dengan melihat prinsip-prinsip yang sudah ada di PBB serta menyederhanakan peraturan yang sudah ada di dalam negeri.

Kedua, berupa sertifikasi pengelolaan hutan lestari untuk semua operator seperti pengusaha, masyarakat, dan pihak lain untuk menjamin pengelolaan hutan yang baik.

Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah agar memberikan dan mengakui peranan wanita di sekitar wilayah hutan yang selama ini termarginalkan.

Keempat, membentuk institusi atau badan yang dapat menyelesaikan konflik tenurial dan pengelolaan hutan, bukan hanya konflik soal hak kepemilikan. Sedangkan Kelima, pembuatan peta lahan hutan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca konferensi itu.(rni)

Pewarta:

Editor : Ferri Aryanto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012