Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Paralegal dari lembaga Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyoroti kesenjangan dalam pemenuhan hak rehabilitasi bagi pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) dan meminta pemerintah menghapus kebijakan Peraturan Bersama 7 Institusi tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi

"Kami melihat ada kesenjangan dalam pemenuhan hak rehabilitasi ini, padahal rehabilitasi adalah hak pengguna Napza," kata Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi di Bengkulu, baru-baru ini.

Ia mengatakan berkaca dari kasus penangkapan tujuh orang selebriti sepanjang tahun 2017, langsung diproses oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT) dan mereka diputuskan menjalani rehabilitasi.

Sementara nasib pengguna Napza lainnya berbanding terbalik, di mana dari 145 kasus pengguna Napza yang didampingi PKNI di 10 kota di Indonesia termasuk Bengkulu, hanya 17 orang yang menjalani asesmen dan tidak seluruhnya mendapatkan hasil rehabilitasi.

?Mendapatkan asesmen pun tidak apalagi rehabilitasi. Ini membuat banyak pengguna Napza yang dikenakan pasal sebagai pengedar,? kata dia.

Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama 7 Institusi Tahun 2014), menyatakan bahwa penyidiklah yang melakukan permohonan kepadan Tim Asesmen Terpadu terhadap seseorang yang disangka sebagai penyalahguna.

Sementara dari data pendampingan kasus paralegal kata Alfiana, penyidik seringkali tidak memohon asesmen terhadap pengguna Napza kepada TAT dengan alasan yang beragam.

?Ini yang membuat hak pengguna Napza untuk mendapatkan rehabilitasi terabaikan,? ucapnya.

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero menyebutkan bahwa asesmen tersebut menjadi komoditas yang rawan diperdagangkan. Karena itu, perlu perubahan serius di bidang narkotika.

Sementara Rinto Harahap dari lembaga Pesona Bengkulu menilai proses asesmen tersebut perlu ditinjau ulang sebab dalam praktiknya banyak pengguna Napza dari keluarga tidak mampu yang tidak mendapatkan permohonan asesmen.

?Sangat sulit mendapatkan asesmen ini apalagi dari keluarga kurang mampu maka jangan harap,? kata dia.

Padahal, asesmen adalah titik awal untuk menentukan seseorang tersangka pengguna Napza mendapatkan hanya menjalani rehabilitasi atau justru dijebloskan ke penjara.

Dari sejumlah kasus yang ditangani Pesona bersama paralegal PKNI sepanjang 2017 hanya 12 putusan rehabilitasi dan dua di antaranya pengguna Napza dari Kota Bengkulu.

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Riski Maruto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018