Sekitar 25 perupa muda Magelang menggelar pameran seni berjudul "Lumbung Karya" di arena Festival Lima Gunung XVIII/2019 di kawasan Gunung Merapi Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Seniman Komunitas Lima Gunung Ismanto dan seniman Padepokan Seni Tjipto Boedaya Tutup Ngisor Marmujo memimpin kirab seni yang menandai pembukaan pameran pada Kamis (4/7) malam.
Dalam kirab itu, seniman membawa dupa dan menaburkan bunga mawar sambil berjalan kaki dari gerbang menuju halaman padepokan. Mereka melakukan gerak tari dan melantunkan tembang-tembang Jawa disaksikan warga setempat, para seniman, dan keluarga besar padepokan, serta sejumlah tamu Festival Lima Gunung XVIII yang berlangsung selama 5-7 Juli 2019.
Sekitar 30 karya berupa lukisan, patung, instalasi seni, kostum tarian, dan topeng dipamerkan di bawah tenda di halaman Padepokan Tjipta Boedaja yang didirikan tahun 1937.
Sejumlah karya lainnya ditempatkan di beberapa lokasi, seperti sekitar batu sisa banjir lahar hujan dari Gunung Merapi pada masa lampau yang oleh warga setempat kemudian dianggap sebagai petilasan cikal bakal Dusun Tutup Ngisor, Kyai Tutup.
"Ikut festival dengan beroleh kesempatan berpameran menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami sebagai seniman muda," kata koordinator pameran "Lumbung Karya" Gentur Widiyanto.
Ia mengatakan bahwa peserta pameran masih berstatus sebagai mahasiswa, pelajar, atau seniman autodidak.
Pameran tersebut, kata mahasiswa Semester VII Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, juga merupakan ajang seniman muda baik dari Kabupaten Magelang maupun Kota Magelang untuk bertemu, serawung, dan mengapresiasi karya seni.
"Pameran di tempat terbuka juga memberikan kesempatan masyarakat desa dan penonton festival untuk mengapresiasi. Ternyata pameran seni rupa bisa dilakukan tidak hanya di gedung tertentu atau di kota, tetapi juga bisa di desa seperti ini," katanya.
Kenduri
Budayawan yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut membuka pameran tersebut dengan mengajak para seniman serta penonton untuk membaca Al Quran Surah Al-Fatihah.
Warga Tutup Ngisor, sebagai tuan rumah festival, bersama para petinggi Komunitas Lima Gunung melaksanakan kenduri untuk mendoakan agar Festival Lima Gunung XVIII/2019 berlangsung lancar dan sukses, serta menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan masyarakat.
Kenduri dipimpin oleh salah satu sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja, Cipta Miharso (82). Dalam kenduri itu, ia juga membakar kemenyan, mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa, dan kemudian menyilakan siapa saja yang hadir untuk menyantap nasi tumpeng secara bersama-sama.
Pembukaan pameran seni rupa itu juga bertepatan dengan tradisi keluarga padepokan setiap malam Jumat atau Kamis malam, menabuh gamelan yang mereka sebut sebagai gending-gending "Caosan".
"Setiap malam Jumat kami menabuh gamelan 'Caosan' sampai jam 12 malam, sebagai doa dan persembahan kepada leluhur, supaya leluhur tetap bahagia dan kami pun yang masih hidup di dunia ini selalu bersyukur dan beroleh rahmat bahagia juga," ujar pemimpin Padepokan Tjipta Boedaja Sitras Anjilin.
Gending yang wajib disajikan dalam tradisi itu adalah Ladrang Sri Wilujeng, Ketawang Subakastawa, Ladrang Sri Kacariyos, Ladrang Sri Rejeki,
Ketawang Sri Dandang, Ladrang Sri Katon, Ketawang Puspawarno, Ladrang Asmorondono, Gending Kutut Manggung, dan Ladrang Pangkur. Gending-gending itu karya pendiri padepokan Romo Yoso Soedarmo (1885-1990).
Festival Lima Gunung XVIII/2019 meliputi pementasan berbagai kesenian, peluncuran buku, pameran seni rupa, kirab budaya, dan pidato kebudayaan.
Festival tahunan para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Mageng diselenggarakan secara mandiri atau tanpa sponsor. Tahun ini festival mengangkat tema "Gunung Lumbung Budaya" dan menyajikan 77 pementasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Seniman Komunitas Lima Gunung Ismanto dan seniman Padepokan Seni Tjipto Boedaya Tutup Ngisor Marmujo memimpin kirab seni yang menandai pembukaan pameran pada Kamis (4/7) malam.
Dalam kirab itu, seniman membawa dupa dan menaburkan bunga mawar sambil berjalan kaki dari gerbang menuju halaman padepokan. Mereka melakukan gerak tari dan melantunkan tembang-tembang Jawa disaksikan warga setempat, para seniman, dan keluarga besar padepokan, serta sejumlah tamu Festival Lima Gunung XVIII yang berlangsung selama 5-7 Juli 2019.
Sekitar 30 karya berupa lukisan, patung, instalasi seni, kostum tarian, dan topeng dipamerkan di bawah tenda di halaman Padepokan Tjipta Boedaja yang didirikan tahun 1937.
Sejumlah karya lainnya ditempatkan di beberapa lokasi, seperti sekitar batu sisa banjir lahar hujan dari Gunung Merapi pada masa lampau yang oleh warga setempat kemudian dianggap sebagai petilasan cikal bakal Dusun Tutup Ngisor, Kyai Tutup.
"Ikut festival dengan beroleh kesempatan berpameran menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami sebagai seniman muda," kata koordinator pameran "Lumbung Karya" Gentur Widiyanto.
Ia mengatakan bahwa peserta pameran masih berstatus sebagai mahasiswa, pelajar, atau seniman autodidak.
Pameran tersebut, kata mahasiswa Semester VII Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, juga merupakan ajang seniman muda baik dari Kabupaten Magelang maupun Kota Magelang untuk bertemu, serawung, dan mengapresiasi karya seni.
"Pameran di tempat terbuka juga memberikan kesempatan masyarakat desa dan penonton festival untuk mengapresiasi. Ternyata pameran seni rupa bisa dilakukan tidak hanya di gedung tertentu atau di kota, tetapi juga bisa di desa seperti ini," katanya.
Kenduri
Budayawan yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut membuka pameran tersebut dengan mengajak para seniman serta penonton untuk membaca Al Quran Surah Al-Fatihah.
Warga Tutup Ngisor, sebagai tuan rumah festival, bersama para petinggi Komunitas Lima Gunung melaksanakan kenduri untuk mendoakan agar Festival Lima Gunung XVIII/2019 berlangsung lancar dan sukses, serta menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan masyarakat.
Kenduri dipimpin oleh salah satu sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja, Cipta Miharso (82). Dalam kenduri itu, ia juga membakar kemenyan, mengucapkan doa-doa dalam bahasa Jawa, dan kemudian menyilakan siapa saja yang hadir untuk menyantap nasi tumpeng secara bersama-sama.
Pembukaan pameran seni rupa itu juga bertepatan dengan tradisi keluarga padepokan setiap malam Jumat atau Kamis malam, menabuh gamelan yang mereka sebut sebagai gending-gending "Caosan".
"Setiap malam Jumat kami menabuh gamelan 'Caosan' sampai jam 12 malam, sebagai doa dan persembahan kepada leluhur, supaya leluhur tetap bahagia dan kami pun yang masih hidup di dunia ini selalu bersyukur dan beroleh rahmat bahagia juga," ujar pemimpin Padepokan Tjipta Boedaja Sitras Anjilin.
Gending yang wajib disajikan dalam tradisi itu adalah Ladrang Sri Wilujeng, Ketawang Subakastawa, Ladrang Sri Kacariyos, Ladrang Sri Rejeki,
Ketawang Sri Dandang, Ladrang Sri Katon, Ketawang Puspawarno, Ladrang Asmorondono, Gending Kutut Manggung, dan Ladrang Pangkur. Gending-gending itu karya pendiri padepokan Romo Yoso Soedarmo (1885-1990).
Festival Lima Gunung XVIII/2019 meliputi pementasan berbagai kesenian, peluncuran buku, pameran seni rupa, kirab budaya, dan pidato kebudayaan.
Festival tahunan para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Mageng diselenggarakan secara mandiri atau tanpa sponsor. Tahun ini festival mengangkat tema "Gunung Lumbung Budaya" dan menyajikan 77 pementasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019