Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Manusia perlu inspirasi dalam hidup. Mudah mendapatkan inspirasi itu, asal ada kepekaan hati dan kerendahan hati untuk memetik dari hal sekitar. Panca indera, hati, dan kalbu wahana andal mengantar ke sana.
Ada hal baik dari masyarakat Amerika Serikat, negara yang multi etnis dan (sebetulnya) berasal dari banyak bangsa-bangsa di dunia. Segala sesuatu bisa jadi inspirasi mereka, dan pahlawan di hati. Indonesia juga bangsa besar yang penuh dengan sumber inspirasi.
Demikianlah, Septiningsih Abdul, bocah perempuan 10 tahun berbadan sehat dan senang bermain laiknya anak-anak pada usianya. Di kampung halamannya, di Desa Tilongobula, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, dia tinggal bersama dua saudara dan ibunya.
Mereka berempat saja, sebagaimana dijadikan judul buku besutan terbaru Kantor Berita ANTARA. "Jangan Panggil Septi Monyet", cukup mencolok mata karena nama anak itu dikorelasikan dengan monyet, hewan liar yang bisa menggelikan dan sering jadi olokan.
Buku kumpulan karya jurnalistik Kantor Berita ANTARA setebal 247 itu bukan semata berkisah tentang Septi, yang dinyatakan dalam bahasa bertutur penulisnya, Debby H Mano (jurnalis ANTARA di Biro Gorontalo), memang ditumbuhi rambut tebal seperti tubuh kera.
Bukan tentang kondisi fisik Septi itu yang jadi bahasan dan tuturan arus utama bagi Mano, karena perjuangan hidup sang ibu, Fatma, dalam membesarkan Septi. Ini satu bingkai perjuangan dan inspirasi hidup: ditinggalkan suami karena anak serupa kera hingga khazanah jauh dari jangkauan pikir akan ucapan yang jadi kenyataan.
Septi yang dikaruniasi alam dalam tubuh serupa itu, malah menuai berkah dalam bentuk berbeda. Dia sangat disayang guru-gurunya di SD Dumbaya Bulan. Dia diyakini adalah anak yang memerlukan kasih sayang dan mandiri.
"Jangan Panggil Septi Monyet" memenuhi janji judulnya kecuali kilasan tentang masa depan atau cita-cita yang ingin dicapai Septi. Buku itu sendiri terdiri dari 46 tulisan berlanggam karangan khas Kantor Berita ANTARA koleksi 2007-2011.
Seluruh tulisan itu tidak pernah berkisah tentang orang-orang besar atau ternama, apalagi pejabat. "Kita perlu model pelaku, sebab kita tidak punya figur yang layak diteladani saat ini," kata Direktur Utama Perusahaan Umum Kantor Berita ANTARA, Ahmad Mukhlis Yusuf, dalam prakatanya di buku bersampul anak menggapai kupu-kupu itu.
Anak-anak selalu memberi harapan dan banyak orang sangat gemar menyentuh, membelai dan menciumi anak-anak. Septi juga begitu, walau dia diemohi ayah kandungnya…
Septi bukan sendirian, karena masih ada lelaki pemberani yang menyulam hidup dari titian jalan terjal dan berbahaya untuk menambang bongkah-bongkah belerang. "Kaum Lelaki Pemburu Belerang 1-3" lahir dari jemari dan kalbu Masuki M Astro, editor Kantor Berita ANTARA di Bondowoso, Biro Surabaya.
Mutasir (40), ayah bagi empat anak asal Banyuwangi jadi tokoh sentral pembuka kisah itu. Dia memang bukan siapa-siapa, cuma buruh penggali bongkah belerang dari kawah Gunung Ijen, Jawa Timur. Cara dan komitmennya menghidupi keluarganya sungguh kisah yang bisa mendirikan bulu roma sekaligus miris di hati.
Di ketinggian 2.300 meter dari permukaan laut, dia menggali bongkah belerang hingga 90 kilogram dalam pikulan. Beban berat sudah jadi beban tersendiri ditambah jalan terjal dan gersang serta bahaya keracunan asap belerang yang amat sangat korosif itu.
Ruang kerjanya seperti imaji dalam film-film sains fiksi, berlatar kuning dan kemerahan, hingga ke udara dari mana udara itu memenuhi rongga paru-parunya bernafas. Dia cuma tamatan kelas 2 SD saja, yang jelas masuk dalam golongan tidak berpendidikan dalam sistem kategorisasi warga di mata pemerintah.
"Pokoknya anak saya harus sekolah, sampai kuliah juga. Semua yang saya kerjakan sekarang saya tabung untuk sekolah anak saya," kata-kata itu terucap dari mulut wajahnya yang terpasang lebih tua dari usia sejati.
Dia punya usaha, dia punya ikhtiar, dia punya kepasrahan, dan dia punya cita-cita… Cita-cita yang dia sangat jaga dari kejatuhan sejalan jalan sempit, licin, yang terjal, yang dia titi setiap saat menuju puncak.
Dalam kesesakan hidup, dia tidak pernah berpikir untuk ingkar dari kesetiaan hidup. Dia memberi contoh, dan dia adalah Mutasir, cuma sekedar buruh galian belerang di Gunung Ijen.
Buku ditutup dengan kata kiasan: mutiara akan terus berkilau meski di tempat yang gelap. (A037)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
Ada hal baik dari masyarakat Amerika Serikat, negara yang multi etnis dan (sebetulnya) berasal dari banyak bangsa-bangsa di dunia. Segala sesuatu bisa jadi inspirasi mereka, dan pahlawan di hati. Indonesia juga bangsa besar yang penuh dengan sumber inspirasi.
Demikianlah, Septiningsih Abdul, bocah perempuan 10 tahun berbadan sehat dan senang bermain laiknya anak-anak pada usianya. Di kampung halamannya, di Desa Tilongobula, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, dia tinggal bersama dua saudara dan ibunya.
Mereka berempat saja, sebagaimana dijadikan judul buku besutan terbaru Kantor Berita ANTARA. "Jangan Panggil Septi Monyet", cukup mencolok mata karena nama anak itu dikorelasikan dengan monyet, hewan liar yang bisa menggelikan dan sering jadi olokan.
Buku kumpulan karya jurnalistik Kantor Berita ANTARA setebal 247 itu bukan semata berkisah tentang Septi, yang dinyatakan dalam bahasa bertutur penulisnya, Debby H Mano (jurnalis ANTARA di Biro Gorontalo), memang ditumbuhi rambut tebal seperti tubuh kera.
Bukan tentang kondisi fisik Septi itu yang jadi bahasan dan tuturan arus utama bagi Mano, karena perjuangan hidup sang ibu, Fatma, dalam membesarkan Septi. Ini satu bingkai perjuangan dan inspirasi hidup: ditinggalkan suami karena anak serupa kera hingga khazanah jauh dari jangkauan pikir akan ucapan yang jadi kenyataan.
Septi yang dikaruniasi alam dalam tubuh serupa itu, malah menuai berkah dalam bentuk berbeda. Dia sangat disayang guru-gurunya di SD Dumbaya Bulan. Dia diyakini adalah anak yang memerlukan kasih sayang dan mandiri.
"Jangan Panggil Septi Monyet" memenuhi janji judulnya kecuali kilasan tentang masa depan atau cita-cita yang ingin dicapai Septi. Buku itu sendiri terdiri dari 46 tulisan berlanggam karangan khas Kantor Berita ANTARA koleksi 2007-2011.
Seluruh tulisan itu tidak pernah berkisah tentang orang-orang besar atau ternama, apalagi pejabat. "Kita perlu model pelaku, sebab kita tidak punya figur yang layak diteladani saat ini," kata Direktur Utama Perusahaan Umum Kantor Berita ANTARA, Ahmad Mukhlis Yusuf, dalam prakatanya di buku bersampul anak menggapai kupu-kupu itu.
Anak-anak selalu memberi harapan dan banyak orang sangat gemar menyentuh, membelai dan menciumi anak-anak. Septi juga begitu, walau dia diemohi ayah kandungnya…
Septi bukan sendirian, karena masih ada lelaki pemberani yang menyulam hidup dari titian jalan terjal dan berbahaya untuk menambang bongkah-bongkah belerang. "Kaum Lelaki Pemburu Belerang 1-3" lahir dari jemari dan kalbu Masuki M Astro, editor Kantor Berita ANTARA di Bondowoso, Biro Surabaya.
Mutasir (40), ayah bagi empat anak asal Banyuwangi jadi tokoh sentral pembuka kisah itu. Dia memang bukan siapa-siapa, cuma buruh penggali bongkah belerang dari kawah Gunung Ijen, Jawa Timur. Cara dan komitmennya menghidupi keluarganya sungguh kisah yang bisa mendirikan bulu roma sekaligus miris di hati.
Di ketinggian 2.300 meter dari permukaan laut, dia menggali bongkah belerang hingga 90 kilogram dalam pikulan. Beban berat sudah jadi beban tersendiri ditambah jalan terjal dan gersang serta bahaya keracunan asap belerang yang amat sangat korosif itu.
Ruang kerjanya seperti imaji dalam film-film sains fiksi, berlatar kuning dan kemerahan, hingga ke udara dari mana udara itu memenuhi rongga paru-parunya bernafas. Dia cuma tamatan kelas 2 SD saja, yang jelas masuk dalam golongan tidak berpendidikan dalam sistem kategorisasi warga di mata pemerintah.
"Pokoknya anak saya harus sekolah, sampai kuliah juga. Semua yang saya kerjakan sekarang saya tabung untuk sekolah anak saya," kata-kata itu terucap dari mulut wajahnya yang terpasang lebih tua dari usia sejati.
Dia punya usaha, dia punya ikhtiar, dia punya kepasrahan, dan dia punya cita-cita… Cita-cita yang dia sangat jaga dari kejatuhan sejalan jalan sempit, licin, yang terjal, yang dia titi setiap saat menuju puncak.
Dalam kesesakan hidup, dia tidak pernah berpikir untuk ingkar dari kesetiaan hidup. Dia memberi contoh, dan dia adalah Mutasir, cuma sekedar buruh galian belerang di Gunung Ijen.
Buku ditutup dengan kata kiasan: mutiara akan terus berkilau meski di tempat yang gelap. (A037)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012