Ternate (ANTARA Bengkulu) - Para pemerhati lingkungan di Provinsi Maluku Utara (Malut) mengkhwatirkan, punahnya burung endemik menyusul semakin maraknya aksi penangkapan burung di daerah ITU untuk memenuhi permintaan pasar ilegal dari berbagai daerah di tanah air.
"Burung endemik Malut seperti kakatua putih, kasturi ternate dan burung bidadari disinyalir populasinya semakin berkurang, akibat maraknya penangkapan itu," kata Djafar, seorang pemerhati lingkungan di Malut, Minggu.
Kekhawatirannya itu sesuai data hasil survei burung yang dilakukan sebuah badan konservasi dunia tahun 1993 yang menyebutkan bahwa, burung kakatua putih populasinya hanya tinggal 56 ekor per kilometer persegi, tetapi hasil survei Yayasan Burung Indonesia tahun 2007 populasinya sisa lima ekor per kilometer persegi.
Menurut Djafar, jika pemerintah dan instansi terkait di Malut tidak melakukan langkah-langkah penyelamatan untuk mencegah berbagai aktivitas yang dapat mengancam kelestarian burung endemik Malut, terutama aktivitas penangkapan burung secara ilegal oleh masyarakat setempat, suatu saat burung itu hanya menjadi kenangan.
Dengan demikian perlu menjadi perhatian Pemerintah di Malut untuk mencegah kepunahan burung endemik, dengan memberikan izin kepada investor pertambangan dan perkebunan.
Pemberian izin tersebut tidak mengorbankan lahan atau kawasan hutan yang selama ini menjadi habitat burung endemik Malut.
"Saya melihat Pemda di Malut selama ini ketika memberikan izin kepada investor pertambangan dan perkebunan, terkesan tidak memperdulikan lahan atau kawasan hutan yang akan menjadi lokasi pertambangan atau perkebunan merupakan habitat burung atau bukan. Hal seperti itu hendaknya jangan terulang lagi," ujar Djafar.
Pemda di Malut sebaiknya mengeluarkan berbagai regulasi, misalnya dalam bentuk peraturan daerah mengenai perlindungan burung endemik Malut untuk mendukung berbagai regulasi nasional, seperti undang-undang yang mengatur masalah hal itu.
Djafar menambahkan, sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian burung terus diintensifkan dengan harapan masyarakat, terutama yang berada di sekitar hutan endemik Malut ikut bertanggungjawab menjaga kelestarian burung itu.
Burung kakatua putih dan burung kasturi Ternate, termasuk berbagai jenis burung paruh bengkok lainnya di Malut selama ini banyak ditangkap untuk dijual secara ilegal ke berbagai daerah di Indonesia, seperti ke Pulau Jawa dan Bali, bahkan diselundupkan ke Filipina. (ANTARA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
"Burung endemik Malut seperti kakatua putih, kasturi ternate dan burung bidadari disinyalir populasinya semakin berkurang, akibat maraknya penangkapan itu," kata Djafar, seorang pemerhati lingkungan di Malut, Minggu.
Kekhawatirannya itu sesuai data hasil survei burung yang dilakukan sebuah badan konservasi dunia tahun 1993 yang menyebutkan bahwa, burung kakatua putih populasinya hanya tinggal 56 ekor per kilometer persegi, tetapi hasil survei Yayasan Burung Indonesia tahun 2007 populasinya sisa lima ekor per kilometer persegi.
Menurut Djafar, jika pemerintah dan instansi terkait di Malut tidak melakukan langkah-langkah penyelamatan untuk mencegah berbagai aktivitas yang dapat mengancam kelestarian burung endemik Malut, terutama aktivitas penangkapan burung secara ilegal oleh masyarakat setempat, suatu saat burung itu hanya menjadi kenangan.
Dengan demikian perlu menjadi perhatian Pemerintah di Malut untuk mencegah kepunahan burung endemik, dengan memberikan izin kepada investor pertambangan dan perkebunan.
Pemberian izin tersebut tidak mengorbankan lahan atau kawasan hutan yang selama ini menjadi habitat burung endemik Malut.
"Saya melihat Pemda di Malut selama ini ketika memberikan izin kepada investor pertambangan dan perkebunan, terkesan tidak memperdulikan lahan atau kawasan hutan yang akan menjadi lokasi pertambangan atau perkebunan merupakan habitat burung atau bukan. Hal seperti itu hendaknya jangan terulang lagi," ujar Djafar.
Pemda di Malut sebaiknya mengeluarkan berbagai regulasi, misalnya dalam bentuk peraturan daerah mengenai perlindungan burung endemik Malut untuk mendukung berbagai regulasi nasional, seperti undang-undang yang mengatur masalah hal itu.
Djafar menambahkan, sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian burung terus diintensifkan dengan harapan masyarakat, terutama yang berada di sekitar hutan endemik Malut ikut bertanggungjawab menjaga kelestarian burung itu.
Burung kakatua putih dan burung kasturi Ternate, termasuk berbagai jenis burung paruh bengkok lainnya di Malut selama ini banyak ditangkap untuk dijual secara ilegal ke berbagai daerah di Indonesia, seperti ke Pulau Jawa dan Bali, bahkan diselundupkan ke Filipina. (ANTARA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012