Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah meminta seluruh dokter hewan di daerah ini ikut membantu menanggulangi persoalan konflik antara satwa liar dan manusia, hal ini lantaran dokter hewan yang khusus menangani satwa liar di Bengkulu terbatas.

Seperti diketahui, dokter hewan yang khusus menangani satwa liar di Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bengkulu - Lampung hanya satu orang yakni dokter hewan Erni Suyanti Musabine, sementara dokter hewan lainnya di Bengkulu bekerja di instansi pemerintah daerah dan hanya menangani hewan ternak.

"Peran dokter hewan sangat dibutuhkan untuk membantu menangani persoalan konflik satwa liar. Ini merupakan tanggung jawab moril bagi dokter hewan, dimana kalau ada permasahalan satwa liar seperti harimau harus ikut terlibat," kata Gubernur Bengkulu saat menghadiri pelatihan dokter hewan untuk menangani persoalan konflik satwan liar di kantor BKSDA Bengkulu.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) cabang Bengkulu, Habli Hasibuan mengatakan, BKSDA Provinsi Bengkulu - Lampung telah berkoordinasi dengan PDHI Cabang Bengkulu untuk membantu menangani konflik satwa liar di Bengkulu.

Tidak hanya itu, PDHI Cabang Bengkulu juga telah mengirimkan 10 orang dokter hewan di Bengkulu untuk mengikuti pelatihan mitigasi konflik antara satwa liar dan manusia yang diadakan organisasi non-pemerintah Wildlife Conservation Society Indonesia-Program (WCS IP) di Kabupaten Seluma pada Selasa (28/1) lalu.

"Karena di Bengkulu ini dokter hewan yang bertugas di BKSDA itu sangat terbatas maka digalanglah kerjasama PDHI Bengkulu untuk membantu menangani kesehatan satwa liar itu, melalui kerjasama dengan WCS juga. Karena kalau ada konflik, ada luka siapa yang menanganinya, sementara dokter hewan di BKSDA terbatas," papar Habli.

Habli menjelaskan, total keseluruhan dokter hewan di Bengkulu saat ini berjumlah 50 orang, mereka tersebar diberbagai instansi pemerintah daerah, Kementerian Pertanian dan swasta.

Menurut Habli jumlah dokter hewan di Bengkulu saat ini masih sangat kurang, jumlah dokter hewan ini tidak sebanding dengan intensitas konflik atau permasalahan hewan di Bengkulu. Seharusnya dokter hewan yang dibutuhkan jumlahnya bisa mencapai 150 orang.

"Setiap elemen harus memikirkan solusi terhadap persoalan ini. Melalui pelatihan dokter hewan untuk menangani satwa liar seperti ini juga merupakan bentuk solusi. Tanpa menunggu pengangkatan pegawai pelatihan dokter hewan ini sudah bisa memaksimalkan sumber daya yang ada," jelas Habli.

Sub Judul : Sinergitas tangani konflik satwa liar

Manajer Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS IP) Wilayah Sumatera, Firdaus R. Affandi mengatakan, pihaknya sengaja mempertemukan antara kelompok Satuan Tugas (Satgas) konflik satwa liar yang dibentuk ditingkat desa dengan kelompok profesi dokter hewan dalam pelatihan mitigasi konlik satwa liar di Desa Lubuk Lagan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Hal itu, menurut Firdaus agar terbangun sinergitas bersama antara Satgas penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar dengan kalangan kelompok profesi dokter hewan dalam penanganan konflik satwa liar.

"Kenapa pelatihan ini diadakan di desa agar kelompok profesi dokter hewan ini menyadari suasana kondisi yang sebenarnya seperti apa dan mereka bisa membaur dengan anggota Satgas yang ada di desa. Kedepan ketika terjadi konflik yang harus direspon mereka tidak canggung lagi, mereka sudah tau suasana lapangannya," jelas Firdaus.

Dijelaskan Firdaus, peran dokter hewan dalam menangani konflik antara manusia dan dokter hewan sangat dibutuhkan, hal ini juga sesuai dengan Peraturah Menteri Kehutanan nomor 48 tahun 2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar.

Dalam regulasi itu disebutkan bahwa dalam kasus konflik manusia dan satwa liar dokter hewan ditugaskan sebagai ketua tim rescue penanganan konflik. Nantinya dokter hewan sebagai penanggungjawab penyelamatan satwa liar yang berkonflik dengan manusia.

Saat ini di Provinsi Bengkulu sudah terbentuk 4 Satgas penanggulangan konflik dan satwa liar. Satgas ini dibetuk di desa yang rawan terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar seperti di Desa Mekar Jaya, Desa Sekalak, Desa Lubuk Lagan dan Desa Sadau Jaya. Seluruh Satgas tingkat desa ini dibetuk di Kabupaten Seluma.

Menurut WCS IP, Kabupaten Seluma merupakan kabupaten di Provinsi Bengkulu yang frekuensi konflik antara manusia dan satwa liar paling banyak dibandingkan kabupaten lainnya. 

Kelompok Satgas yang telah dibentuk ini akan menjadi garda terdepan dalam penanggulangan konflik satwa liar, mereka juga melakukan tugas pencegahan seperti monitoring dan sosialisasi kepada masyarakat setempat. 

"Karena sudah dibekali dengan pengetahuan dan peningkatan kapasitas mereka paling tidak bisa menjadi lapisan pertama ketika terjadi konflik. Paling tidak informasi awal tentang tanda-tanda adanya satwa liar bisa diperoleh dari Satgas ini," jelas Firdaus.

Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Bengkulu, Mariska Tarantona mengatakan, dari Januari hingga Desember 2019 ada sekitar 13 konflik satwa liar yang terjadi dari wilayah Kota Bengkulu hingga ke Kabupaten Kaur. Dari 13 konflik itu 11 diantaranya kasus konflik beruang madu, 1 harimau dan 1 monyet ekor panjang. 

Konflik harimau ini terjadi di Desa Arang Safat, Kabupaten Seluma. Saat itu warga setempat melihat harimau melintas. Sedangkan dua kasus beruang madu sempat menimbulkan korban luka.

SUB JUDUL : Dana desa boleh digunakan untuk penanganan konflik satwa liar

Peneliti Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Provinsi Bengkulu, Syarah Siti Suprianti mengatakan, anggaran dana desa bisa digunakan untuk penanggulangan konflik antara satwa liar dan manusia.

Saat ini, sebanyak 4 desa di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu telah memiliki kelompok satuan tugas (Satgas) penanggulangan konflik antara satwa liar dan manusia, hanya saja kelompok Satgas ini masih perlu diperkuat.

Kata Syarah, penggunaan dana desa untuk membantu penanggulangan konflik antara satwa liar dan manusia ini dimungkinkan dalam Peraturan Menteri Desa PDTT nomor 11 tahun 2019 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2020. 

Pasal 8 aturan itu mengatur tentang pelayanan sosial dasar yang salah satunya adalah tentang lingkungan hidup. Pasal itu menyebut pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan alam untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, penanganan bencana alam dan pelestarian lingkungan hidup.

"Item yang bisa dimasukan itu seperti pengadaan sarana dan prasarana penanggulangan konflik satwa seperti HT, jas hujan, sepatu boat dan bisa juga untuk membuat menara pantau dan menara jaga," jelas Syarah.

Selain sarana dan prasarana, kata Syarah, untuk honor anggota Satgas konflik satwa liar pun juga bisa dianggarkan dalam dana desa. Namun Syarah khawatir ketika honor anggota Satgas ini dianggarkan akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara masyarakat desa.

Honor anggota Satgas konflik satwa ini hanya akan menghilangkan semangat gotong royong di desa. Masyarakat desa yang tidak mendapat honor nantinya tidak mau terlibat lagi ketika terjadi konflik satwa liar dengan manusia.

"Takutnya kearifan lokal di desa akan luntur karena merasa itu adalah tugas dari Satgas. Tapi kalau memang mau menganggarkan tetap tidak salah karena itu bagian dari pemberdayaan masyarakat desa," papar Syarah.

Terkait besaran dana desa yang bisa dialokasikan untuk membantu penanggulangan satwa liar ini tergantung dengan desa masing-masing. Namun, sambung Syarah, dana desa saat ini 70 persennya diprioritaskan untuk pemberdayaan masyarakat dan 30 persennya untuk infrastruktur.

Proses pengusulan anggaran penanggulangan konflik satwa liar ini tetap sama dengan pengajuan anggaran yang lain. Prosesnya diawali dengan usulan di Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembangdes), setelah itu diajukan ke Musrenbang Kecamatan dan kemudian ditetapkan dalam Rencana Kerja Program Desa (RKPDes) dan dimasukan dalam APBDes.

Syarah meminta para anggota Satgas tetap mengawal usulan anggaran penanggulangan konflik satwa liar ini hingga ke pemerintah kabupaten. Sebab, bisa saja nantinya Peraturan Bupati tidak memasuki kegiatan penanggulangan satwa liar sebagai salah satu prioritas.

"Satgas sendiri harus memperjuangkan anggaran ini dan mereka harus tau dasar pengusulannya. Jadi memang harus dikawal, karena seperti kita tahu di desa ada banyak masyarakat dengan berbagai pemikiran.," kata Syarah.

Anggaran penanggulangan konflik satwa liar ini bisa dimasukan dalam mata anggaran pelatihan pemberdayaan masyarakat. Jika anggota Satgas lebih banyak pemuda maka anggarannya dengan anggaran pemberdayaan pemuda dan jika anggota Satgas ada perempuan maka anggarannya menggunakan anggaran pemberdayaan perempuan.

"Jadi ini bukan ploting anggarannya khusus untuk satgas konflik satwa liar dan manusia, tidak seperti itu. Jadi misalnya gini, disebutkan pada kegiatannya butuh anggaran untuk pelatihan satgas, jadi masuknya ke pemberdayaan masyarakat," jelas Syarah.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020