Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu mencatat, angka perkawinan usia anak di Kota Bengkulu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Tahun 2019 angka perkawinan anak mencapai 20 perkawinan, angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2018 yakni 14 perkawinan.

Direktur Yayasan PUPA Bengkulu, Susi Handayani mengatakan, data tersebut merupakan angka perkawinan anak yang tercatat di Kantor Kementerian Agama Kota Bengkulu. Sedangkan angka perkawinan anak yang tidak tercatat, kata Susi kemungkinan bisa dua kali lebih besar dari angka yang tercatat.

Sebagai organisasi yang konsen terhadap isu-isu keperempuanan, Susi mengaku organisasi yang dipimpinnya kualahan untuk mendata perkawinan anak yang tidak tercatat di kantor Kemenag Kota Bengkulu, hal itu lantaran banyak keluarga yang tertutup tentang perkawinan anak.

"Kalau yang tidak tercatat pastilah lebih besar dari angka itu. Contohnya seperti ini, dari data yang kami punya, hampir setiap sekolah di Kota Bengkulu mulai dari SMP hingga SMA itu rata-rata ada 1 hingga 4 orang siswa yang setiap tahunnya berhenti karena alasan menikah. Tapi pernikahan ini tidak tercatat di Kemenag," kata Susi saat diwawancarai usai kegiatan workshop tentang pencegahan pernikahan anak di Kota Bengkulu, Rabu (26/2).

Selain karena faktor desakan ekonomi dan hamil diluar nikah, kata Susi, meningkatnya angka perkawinan anak ini kemungkinan juga disebabkan karena adanya perubahan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-undang nomor 16 tahun 2019.

Perubahan UU ini mengatur batasan usia minimal perkawinan dari sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Karenanya, anak yang menikah di usia 17 atau 18 tahun yang pada UU sebelumnya dianggap tidak termasuk perkawinan anak, pada UU yang baru dianggap masuk dalam kategori perkawinan anak.

Susi menyebut, perkawinan di usia anak bisa menimbulkan banyak dampak, terutama bagi perempuan. Tidak hanya menyebabkan keretakan dalam rumah tangga hingga berujung pada perceraian karena tingkat emosi yang belum stabil, perkawinan anak juga rentan menyebabkan kematian pada perempuan.

"Dalam perkawinan anak yang paling menderita itu adalah perempuan. Dari segi kesehatan, secara bilogis rahim anak itu belum kuat, tulang-tulangnya belum kuat pastilah akan berdampak pada kesehatan reproduksinya, bisa sampai berujung pada kematian juga," papar Susi.

Susi menjelaskan, jika dilihat secara umum di Provinsi Bengkulu, perkawinan anak sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah perkotaan saja, tetapi juga terjadi di perdesaan. Hanya saja, pola perkawinan anak di dua kawasan ini berbeda-beda.

Di kawasan perdesaan, perkawinan anak lebih banyak dipicu karena persoalan kemiskinan dan desakan ekonomi. Banyak anak di perdesaan yang putus sekolah sehingga terpaksa harus menikah. Sedangkan di kawasan perkotaan, perkawinan anak banyak dipicu karena persoalan hamil diluar nikah.


"Anak bin pak RT"

Pejabat di Dinas Pendidikan Kota Bengkulu menyebut, pihaknya masih banyak menemukan anak-anak yang tidak jelas identitasnya, terutama tidak mengetahui siapa orang tua laki-lakinya karena merupakan anak yang lahir diluar nikah. 

Anak-anak seperti ini banyak ditemukan di kawasan eks lokalisasi di kawasan Kampung Melayu, Kota Bengkulu. Hal ini diketahui saat Dinas Pendidikan Kota Bengkulu melakukan pendataan terhadap anak-anak yang belum sekolah di Kota Bengkulu.

"Jadi tidak jelas bapaknya siapa, tidak mungkin dibuat bin rame-rame tidak boleh dalam aturan, jadi minta tolong sama pak RT terpaksa pakai nama pak RT. Jadi bin pak RT semua anak-anak itu jadinya," papar Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kota Bengkulu, Zaenal Azmi.

Hal semacam ini, kata Zaenal dikhawatirkan juga terjadi pada anak-anak yang lahir dari perkawinan anak. Ketidakjelasan data orang tua anak akan menimbulkan banyak persoalan dikemudian hari, terutama ketika anak tersebut memasuki usia sekolah.

Hal berbeda disampaikan Susi. Menurutnya, anak-anak yang tidak jelas identitas orang tuanya karena dilahirkan diluar nikah akan tetap mendapatkan hak sipil yang sama seperti anak-anak lainnya. 

"Sebenarnya negara kita sudah mengeluarkan akte kelahiran itu dalam 4 jenis. Akte kelahiran atas nama ibu bapak yang menikah secara resmi maka dia punya bin, kemudian anak yang dilahirkan diluar perkawinan maka dia hanya punya nama ibu tetapi tetap keluar akte kelahirannya. Jadi hak-hak anak termasuk untuk sekolah tetap dijamin oleh negara, tidak ada persoalan dengan itu," jelas Susi.

Susi menegaskan, menikah karena alasan sudah hamil duluan bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan. Orang tua yang menikahkan anaknya karena alasan sudah hamil duluan kebanyakan lebih karena ingin menutupi aib keluarga dan tidak memikirkan nasib anak.

"Untuk menutup aib jadi dipaksa untuk menikah. Tidak pernah dilihat apakah kehamilan tersebut disebabkan karena adanya pemaksaan hubungan seksual. Jadi jangan langsung dinikahkan, dilihat dulu penyebabnya apa. Kalau ada pemaksaan hubungan seksual selesaikan dulu perkara pidananya. Kalau dilanjutkan ke tahap perkawinan maka potensi kekerasannya bisa lebih besar," tegas Susi.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020