Jakarta (ANTARA) - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota menjadi angin segar bagi kebijakan impor.
“Presiden Prabowo memerintahkan agar menghapus kebijakan kuota impor untuk barang barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Arahan Presiden Prabowo ini tentu menjadi angin segar bagi perbaikan kebijakan impor,” kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan momentum ini juga bisa menjadi reformasi menyeluruh atas kebijakan perdagangan internasional Indonesia.
Secara makro, lanjut dia, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus. Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik.
“Kebijakan tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan mereka tidak defisit kian mendalam,” ujarnya.
Kemudian, Said berpendapat kebijakan impor hendaknya diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya di dalam negeri.
Namun, ke depannya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan atas barang-barang impor dengan produksi sendiri, dengan arah menjadi negara yang relatif mandiri, setidaknya dari sektor primer, yakni pangan dan energi.
Kebijakan impor dinilai perlu mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional, dengan arah strategis semakin upaya memperkuat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang semakin besar porsinya.
“Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya,” kata Said.
Lebih lanjut, mempertimbangkan makin kompleksnya kebutuhan terhadap produk barang dan jasa serta kait mengait dari rantai pasok, pemerintah dan pelaku usaha diharapkan tidak menyandarkan kebutuhan impor barang dan jasa dari negara tertentu. Akan tetapi, perlu memperluas dari beberapa negara, sehingga pemerintah dan pelaku usaha memiliki berbagai alternatif negara tujuan impor. Langkah ini untuk menghindari ketergantungan impor terhadap negara tertentu.
Deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi, juga diharapkan mempermudah akses rakyat terhadap komoditas tersebut dengan tingkat harga yang lebih terjangkau, sehingga barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah.
Said juga menyoroti Indonesia telah meratifikasi perjanjian Free Trade Agreement (FTA) setidaknya dengan 18 negara dengan berbagai skema, baik bilateral, regional maupun multilateral.
“Skema FTA ini harus mampu meningkatkan Revealed Comparative Advantage (RCA) barang barang Indonesia, dengan demikian manfaat kita meratifikasi FTA memberi manfaat scale up perekonomian nasional,” tuturnya.