Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011—2015 Bambang Widjojanto mengkritik lamanya eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD) tertangkap.
"Pertama, Februari tahun ini salah seorang lawyer yang biasa menangani kasus-kasus korupsi Saudara Maqdir Ismail itu merilis KPK ini berlebihan kalau pakai anak muda sekarang KPK lebay. Kenapa berlebihan? Mengapa mesti menerapkan DPO? Nurhadi-nya ada di Jakarta," kata Bambang dalam diskusi daring berjudul "Akhir Pelarian Nurhadi: Apa yang Harus KPK Lakukan?" di Jakarta, Jumat.
Untuk diketahui, Maqdir merupakan pengacara Nurhadi saat yang bersangkutan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kira-kira ada pernyataan seperti itu dan sekitar 20 Februari kemudian ada pernyataan sebenarnya Nurhadi ada di suatu tempat tertentu," kata Bambang.
Artinya, lanjut dia, Nurhadi sebenarnya bergerak di seputaran Jakarta Selatan, yang juga lokasi dari Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, dia pun mempertanyakan KPK yang tidak menangkap Nurhadi meskipun sudah ada informasi bahwa Nurhadi berada di Jakarta.
"Kalau dia ada di seputaran Jakarta dan KPK yang pada hari ini tidak mampu mengungkap dia, itu 'kan masalah besar. Bagaimana kalau orangnya keluar Jakarta, di Jakarta saja tidak sanggup. Itu 'kan pertanyaan dasar seperti itu," ungkap Bambang.
Atas hal tersebut, dia pun menduga penetapan DPO terhadap Nurhadi hanya "akal-akalan" saja.
"Jadi, pertanyaannya adalah jangan-jangan men-DPO-kan orang itu adalah bagian dari strategi. Kalau sudah DPO 'kan dia tidak usah dipanggil-panggil lagi. Kalau tidak ada informasi dari publik kita tidak perlu ungkap-ungkap, apalagi menangkap dia," ujar Bambang.
Diketahui pada tanggal 16 Desember 2019, Nurhadi bersama menantunya atau swasta Rezky Herbiyono (RHE) dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MMA pada tahun 2011—2016.
Ketiganya kemudian ditetapkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020. Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6).
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Dengan demikian, akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
"Pertama, Februari tahun ini salah seorang lawyer yang biasa menangani kasus-kasus korupsi Saudara Maqdir Ismail itu merilis KPK ini berlebihan kalau pakai anak muda sekarang KPK lebay. Kenapa berlebihan? Mengapa mesti menerapkan DPO? Nurhadi-nya ada di Jakarta," kata Bambang dalam diskusi daring berjudul "Akhir Pelarian Nurhadi: Apa yang Harus KPK Lakukan?" di Jakarta, Jumat.
Untuk diketahui, Maqdir merupakan pengacara Nurhadi saat yang bersangkutan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kira-kira ada pernyataan seperti itu dan sekitar 20 Februari kemudian ada pernyataan sebenarnya Nurhadi ada di suatu tempat tertentu," kata Bambang.
Artinya, lanjut dia, Nurhadi sebenarnya bergerak di seputaran Jakarta Selatan, yang juga lokasi dari Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, dia pun mempertanyakan KPK yang tidak menangkap Nurhadi meskipun sudah ada informasi bahwa Nurhadi berada di Jakarta.
"Kalau dia ada di seputaran Jakarta dan KPK yang pada hari ini tidak mampu mengungkap dia, itu 'kan masalah besar. Bagaimana kalau orangnya keluar Jakarta, di Jakarta saja tidak sanggup. Itu 'kan pertanyaan dasar seperti itu," ungkap Bambang.
Atas hal tersebut, dia pun menduga penetapan DPO terhadap Nurhadi hanya "akal-akalan" saja.
"Jadi, pertanyaannya adalah jangan-jangan men-DPO-kan orang itu adalah bagian dari strategi. Kalau sudah DPO 'kan dia tidak usah dipanggil-panggil lagi. Kalau tidak ada informasi dari publik kita tidak perlu ungkap-ungkap, apalagi menangkap dia," ujar Bambang.
Diketahui pada tanggal 16 Desember 2019, Nurhadi bersama menantunya atau swasta Rezky Herbiyono (RHE) dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MMA pada tahun 2011—2016.
Ketiganya kemudian ditetapkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020. Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6).
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Dengan demikian, akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020