Gubernur Bengkulu periode 2012-2015 Junaidi Hamsyah membeberkan pengalaman susahnya mengatur tambang batubara saat ia memimpin provinsi dengan julukan "Bumi Rafflesia" ini.

Ia mengakui selama kurang lebih 2,5 tahun memimpin Provinsi Bengkulu setelah menggantikan Agusrin M Najamudin yang tersandung kasus korupsi pada 2012 lalu, ada banyak pertentangan melawan oligarki yang berkepentingan terhadap eksplorasi sumber daya alam di daerah itu.

Alhasil, berpegang dengan prinsip azaz pemanfaatan, kemaslahatan serta kesehatan warganya, selama menjabat sebagai Gubernur Bengkulu tidak satu pun izin tambang batubara yang ia keluarkan. 

"Saat itu saya berpikir betapa menderitanya masyarakat karena debu batubara sementara tidak ada hasilnya bagi masyarakat, masyarakat hanya dapat bengeknya saja sedangkan saat kita mau minta CSR perusahaan itu susah," kata dia.

Salah satu gebrakan yang paling fenomenal yang ia ambil saat menjadi Gubernur Bengkulu terkait penyelamatan lingkungan hidup yakni melarang transhipment batubara disekitar perairan Pulau Tikus, Kota Bengkulu karena dianggap merusak ekosistem laut.

Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Bengkulu bahkan menyebut Junaidi merupakan satu-satunya gubernur yang berani melakukan hal tersebut.

Junaidi mengaku perjuangan melarang bongkar-muat batubara disekitar perairan Pulau Tikus tersebut mendapat tantangan yang sangat besar, meskipun disatu sisi ia  juga mendapat banyak dukungan dari masyarakat.

Berbagai upaya pemodal tambang untuk mengintervensi kebijakannya itu dilakukan tidak hanya dengan upaya politik kemasyarakatan, tetapi juga melalui penelitian ilmiah.

Kata dia, ada banyak penelitian yang dibiayai pengusaha tambang yang menyimpulkan jika transhipment batubara tersebut tak merusak ekosistem laut.

"Tapi logika saya masa menjatuhkan jangkar sebesar gajah itu tidak merusak batu karang, dan bukan hanya satu jangkar tetapi banyak jangkar," ucapnya.

Meskipun banyak pertentangan, tapi ia bersyukur dengan kebijakan tersebut saat ini masyarakat bisa menikmati keindahan kekayaan bahari di perairan Pulau Tikus.

Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar dalam webinar bertema "Ketika kewenangan pengelolaan sumber daya alam di ambil pusat apa guna gubernur" tiga hari lalu menyebut ada skenario besar dari negara guna memuluskan rencana pengerukan sumber daya alam. 

Menurut Ali, kewenangan yang selama ini berada ditangan daerah berdasarkan semangat reformasi telah dibajak oleh sekelompok orang yang bersekongkol dalam satu wadah bernama oligarki dan menganggap kewenangan ini akan mengganggu rencana ekploitasi yang sedang mereka jalankan. 

"Terbitnya PP 24 tahun 2018, tentang perizinan atau lebih dikenal dengan OSS, UU Mineral dan batubara No 2 tahun 2020 dan RUU omnibus law adalah bentuk-bentuk nyata bahwa mesin oligarki sedang berjalan," paparnya.

Ali menjelaskan, investasi tambang batubara terbukti tidak mensejahterakan rakyat, hal ini terbukti dengan Bengkulu yang sudah menjadi ladang investasi sawit seperti di Seluma, tambang di Bengkulu tengah justru menempatkan Bengkulu sebagai propinsi termiskin di Sumatera.

"Kewenangan daerah justru menjadi alat memperkaya kelompok tertentu dan demokrasi menjadi demokrasi prosedural, gubernur, wali kota dan bupati mungkin menikmati situasi seperti ini dan fakta tidak ada reaksi dari sebagai bentuk protes dari setiap aturan yang dibuat oleh pusat menguatkan dugaan ini," jelasnya.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020