Kherbet al-Khaldiyeh, Suriah (Antara/AFP) - Bagi jutaan warga Suriah yang mengungsi akibat pertempuran, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan bagi mereka di Kherbet al-Khaldiyeh itu berarti kesana-kemari mencari makan dan minum.
"Kami makan dedaunan dan menampung air hujan untuk minum dan mencuci," kata Hisham, 24 tahun, yang menutup kepalanya dengan selembar kain berwarna merah dan putih.
Hisham, yang berjanggut, sedianya akan masuk perguruan tinggi ketika pertempuran pecah di Suriah pada 2011.
Sekarang dia bernasib seperti rakyat Suriah lainnya yang mengungsi akibat perang saudara itu.
Di Kherbet al-Khaldiyeh, satu kamp dekat perbatasan Turki, Hisham menunjukkan tempat penampungan air yang tercemar. Sekelompok anak bermain di sekitarnya. Banyak di antara mereka yang kulitnya terinfeksi karena air kotor.
Naida, 35 tahun, memiliki tujuh anak. Dia memandikan anak-anaknya dengan air yang tercemar itu karena pasokan air bersih yang terdekat berjarak beberapa kilometer.
"Kami memetik dedaunan yang dapat dikonsumsi dan memasaknya. Tak ada yang lain yang bisa kami makan," katanya.
"Suami saya biasa bekerja di satu penambangan, memecah batu, tetapi sekarang kami tak punya apa-apa lagi dan tak seorangpun menolong kami. Suatu kali kami membawa satu kilo kentang per keluarga -- bagaimana kami semua bisa hidup dengan satu butir kentang per minggu."
Bersama dengan sekelompok perempuan lain, Naida kadang pergi ke desa terdekat mencari air untuk diminum. "Kami membawa kaleng berisi air di kepala beberapa mil," katanya. Ia tampak kelelahan terlihat dari sorot matanya yang berwarna biru.
"Untuk membawa makanan dari satu daerah ke daerah lain jadi perjuangan sekarang. Gudang-gudang makanan dan truk kami terjebak dalam tembak-menembak," kata Mohannad Hadi dari Program Pangan Dunia, katanya dalam satu pernyataan Selasa.
"Situasi kritis dan kawasan-kawasan konflik dan yang dikuasai oposisi tempat WFP memiliki akses terbatas dan tempat jutaan orang sangat memerlukan makanan"' kata organisasi itu.
Pernyataan itu menyebutkan truk-truk WFP telah dihentikan di tempat-tempat pemeriksaan dan bahkan dibajak.
Ibrahim, 25 tahun, tinggal di satu desa dekat bandar udara Minnigh -- yang menjadi ajang pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Serangan-serangan udara tiada henti akhirnya memaksa dia menyelamatkan diri dan kedua puteranya, serta sekitar 20 kepala keluarga lainnya.
Sedikit dari ternaknya yang dapat dia selamatkan dan dia membawa serta hewan peliharaannya.
"Tiap hari kami sembelih seekor ayam seperti itu," katanya, menunjuk ke arah potongan ayam yang telah disembelih. "Ayam-ayam itu untuk kami semua makan. Bisa Anda bayangkan berapa banyak setiap orang dapat jatah?" katanya tersenyum getir.
Lebih satu juta warga Suriah meninggalkan negeri itu sejak protes damai menentang rezim Presiden Bashar al-Assad meledak pada Maret 2011. Perang saudara kemudian berkecamuk di negara Arab itu setelah pasukan pemerintah menumpas secara brutal aksi-aksi protes.
Tapi tidak setiap orang dapat melintasi perbatasan dan meloloskan diri dari kekerasan karena banyak yang tak memiliki paspor atau uang cukup untuk mereka gunakan di pengungsian. Warga terpaksa mencari tempat-tempat paling aman di wilayah Suriah.
Untuk sekitar 100 orang di sini, daerah paling aman berada di jalur pinggiran kota di Provinsi Aleppo, tempat mereka tinggal di antara reruntuhan puing-puing Romawi, beberapa kilometer dari perbatasan Turki.
Semula mereka tinggal di lubang-lubang tanah, beratap jerami guna melindungi mereka dari udara dingin dan salju, kata Naida.
Sekarang mereka berada di tenda-tenda yang berlogo badan PBB urusan pengungsi UNHCR.
Hidup dengan kondisi dingin dan kurang sehat, pengungsi juga menghadapi ketiadaan obat khususnya bagi anak-anak yang sakit.
"Pada saat mereka ke apotek di Azaz (di bagian utara Suriah) atau di Turki, anak sudah meninggal," kata Issa, 25 tahun, yang berpakaian jas hangat.
Duduk di atas batu, Rajab, 80 tahun, memperhatikan kehidupan desa pengungsi itu.
"Di bawah tenda, Anda merasakan angin dan dingin," kata kakek itu. "Siapa yang bisa hidup dalam kondisi ini? Lihatlah di sekitarmu, siapakah yang bisa hidup seperti ini?" (ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Kami makan dedaunan dan menampung air hujan untuk minum dan mencuci," kata Hisham, 24 tahun, yang menutup kepalanya dengan selembar kain berwarna merah dan putih.
Hisham, yang berjanggut, sedianya akan masuk perguruan tinggi ketika pertempuran pecah di Suriah pada 2011.
Sekarang dia bernasib seperti rakyat Suriah lainnya yang mengungsi akibat perang saudara itu.
Di Kherbet al-Khaldiyeh, satu kamp dekat perbatasan Turki, Hisham menunjukkan tempat penampungan air yang tercemar. Sekelompok anak bermain di sekitarnya. Banyak di antara mereka yang kulitnya terinfeksi karena air kotor.
Naida, 35 tahun, memiliki tujuh anak. Dia memandikan anak-anaknya dengan air yang tercemar itu karena pasokan air bersih yang terdekat berjarak beberapa kilometer.
"Kami memetik dedaunan yang dapat dikonsumsi dan memasaknya. Tak ada yang lain yang bisa kami makan," katanya.
"Suami saya biasa bekerja di satu penambangan, memecah batu, tetapi sekarang kami tak punya apa-apa lagi dan tak seorangpun menolong kami. Suatu kali kami membawa satu kilo kentang per keluarga -- bagaimana kami semua bisa hidup dengan satu butir kentang per minggu."
Bersama dengan sekelompok perempuan lain, Naida kadang pergi ke desa terdekat mencari air untuk diminum. "Kami membawa kaleng berisi air di kepala beberapa mil," katanya. Ia tampak kelelahan terlihat dari sorot matanya yang berwarna biru.
"Untuk membawa makanan dari satu daerah ke daerah lain jadi perjuangan sekarang. Gudang-gudang makanan dan truk kami terjebak dalam tembak-menembak," kata Mohannad Hadi dari Program Pangan Dunia, katanya dalam satu pernyataan Selasa.
"Situasi kritis dan kawasan-kawasan konflik dan yang dikuasai oposisi tempat WFP memiliki akses terbatas dan tempat jutaan orang sangat memerlukan makanan"' kata organisasi itu.
Pernyataan itu menyebutkan truk-truk WFP telah dihentikan di tempat-tempat pemeriksaan dan bahkan dibajak.
Ibrahim, 25 tahun, tinggal di satu desa dekat bandar udara Minnigh -- yang menjadi ajang pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Serangan-serangan udara tiada henti akhirnya memaksa dia menyelamatkan diri dan kedua puteranya, serta sekitar 20 kepala keluarga lainnya.
Sedikit dari ternaknya yang dapat dia selamatkan dan dia membawa serta hewan peliharaannya.
"Tiap hari kami sembelih seekor ayam seperti itu," katanya, menunjuk ke arah potongan ayam yang telah disembelih. "Ayam-ayam itu untuk kami semua makan. Bisa Anda bayangkan berapa banyak setiap orang dapat jatah?" katanya tersenyum getir.
Lebih satu juta warga Suriah meninggalkan negeri itu sejak protes damai menentang rezim Presiden Bashar al-Assad meledak pada Maret 2011. Perang saudara kemudian berkecamuk di negara Arab itu setelah pasukan pemerintah menumpas secara brutal aksi-aksi protes.
Tapi tidak setiap orang dapat melintasi perbatasan dan meloloskan diri dari kekerasan karena banyak yang tak memiliki paspor atau uang cukup untuk mereka gunakan di pengungsian. Warga terpaksa mencari tempat-tempat paling aman di wilayah Suriah.
Untuk sekitar 100 orang di sini, daerah paling aman berada di jalur pinggiran kota di Provinsi Aleppo, tempat mereka tinggal di antara reruntuhan puing-puing Romawi, beberapa kilometer dari perbatasan Turki.
Semula mereka tinggal di lubang-lubang tanah, beratap jerami guna melindungi mereka dari udara dingin dan salju, kata Naida.
Sekarang mereka berada di tenda-tenda yang berlogo badan PBB urusan pengungsi UNHCR.
Hidup dengan kondisi dingin dan kurang sehat, pengungsi juga menghadapi ketiadaan obat khususnya bagi anak-anak yang sakit.
"Pada saat mereka ke apotek di Azaz (di bagian utara Suriah) atau di Turki, anak sudah meninggal," kata Issa, 25 tahun, yang berpakaian jas hangat.
Duduk di atas batu, Rajab, 80 tahun, memperhatikan kehidupan desa pengungsi itu.
"Di bawah tenda, Anda merasakan angin dan dingin," kata kakek itu. "Siapa yang bisa hidup dalam kondisi ini? Lihatlah di sekitarmu, siapakah yang bisa hidup seperti ini?" (ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013