Asap dupa itu tampak mengepul dari "pedupan" yang diletakkan di atas altar setinggi 1,5 meter di halaman Langgar Jimat Kalisalak, Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Banyumas, Senin.

Kepulan asap dupa itu menandai dimulainya tradisi jamasan terhadap benda-benda peninggalan Raja Mataram Amangkurat I di Desa Kalisalak.

Satu per satu benda yang disebut sebagai "Jimat Kalisalak" tersebut dikeluarkan dari dalam langgar dan diasapi dengan asap dupa oleh juru kunci Ki Mad Daslam Dwijodipura sebelum diletakkan di atas altar.

Jimat yang pertama kali dikeluarkan berupa "bekong" atau alat takar beras yang terbuat dari tempurung kelapa, disusul benda-benda peninggalan Amangkurat I lainnya.

Setelah seluruh jimat dikeluarkan dari dalam langgar, Ki Mad Daslam segera memimpin penjamasan dengan mengeluarkan jimat-jimat itu dari wadahnya.

Sebelum penjamasan dimulai, Ki Mad Daslam terlebih dulu mendata dan mengecek kondisi jimat, apakah sama seperti tahun sebelumnya atau mengalami perubahan.

Pendataan dan pengecekan inilah yang ditunggu-tunggu ribuan warga yang menyaksikan prosesi penjamasan karena fenomena yang muncul dinilai sebagai isyarat atau pertanda zaman.

"Percaya atau tidak percaya, sesuatu bisa terjadi berdasarkan indikasi yang muncul dalam jamasan ini," kata Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Dwi Pindarto di sela-sela kegiatan Jamasan Jimat Kalisalak, di Langgar Jimat Desa Kalisalak.

Fenomena yang muncul saat dilakukan pendataan dan pengecekan terhadap kondisi jimat, antara lain bagian luar "bekong" terlihat basah meskipun telah diasapi di atas pedupan.

Kondisi tersebut sama seperti saat penjamasan tahun lalu, meskipun dalam penjamasan tahun-tahun sebelumnya sempat terlihat kering.

Selain itu, sebuah "piti" (wadah kecil yang terbuat dari anyaman bambu, red.) yang tahun lalu berisi sejumlah mata uang Belanda dan dua batang akar "jenu" (akar tanaman yang memabukkan dan biasa digunakan untuk menangkap ikan, red.) seukuran jari kelingking, dalam jamasan kali ini hanya berisi mata uang Belanda.

Sementara akar "jenu" yang sebelumnya berada di dalam "piti" tersebut, telah berpindah ke wadah yang berisi peralatan atau persenjataan.

Keanehan lain yang muncul adalah jumlah kitab sastra Arab yang tahun lalu hanya ada dua buah, dalam jamasan kali ini menjadi lima buah.

Ketua Kelompok Masyarakat "Mandala Kaloka" Desa Kalisalak, Ilham Triyono mengatakan, jumlah kitab sastra Arab tersebut sama persis seperti pada jamasan tahun "Wawu" sebelumnya atau delapan tahun silam.

Bahkan, kitab sastra Arab yang sebelumnya diikat dengan tali lawe, dalam jamasan kali ini ikatannya telah berganti menjadi kain mori bersulam benang emas.

Seorang pemuka agama yang hadir dalam jamasan tersebut, KH Abdul Wahab mencoba membaca beberapa lembar kitab sastra Arab itu.

Menurut dia, lembaran kitab yang dapat terbaca menceritakan tentang Maulud Nabi Muhammad SAW.

Selain kitab sastra Arab, di antara jimat-jimat peninggalan Amangkurat I ini juga terdapat kitab sastra Jawa Kuno yang ditulis menggunakan huruf Jawa pada lembaran daun lontar.

Akan tetapi tidak ada satu pun kerabat Langgar Jimat yang bisa membaca tulisan dalam daun lontar ini dan secara kebetulan petugas Kepurbakalaan yang biasa membacakannya berhalangan hadir.

KH Abdul Wahab pun mencoba membaca lembaran daun lontar yang dipilihnya. Akan tetapi ternyata dia pun tidak mampu membaca tulisan Jawa dalam daun lontar tersebut.

Oleh karena itu, juru kunci Ki Mad Daslam mencoba memilihkan daun lontar yang tulisannya terlihat jelas.

Meskipun demikian, KH Abdul Wahab tetap tidak bisa membaca lembaran daun lontar yang dipilih oleh Ki Mad Daslam karena tulisan yang terlihat jelas tersebut tampak bolak-balik.

Atas seizin juru kunci, tamu undangan dan masyarakat dipersilakan untuk membacakannya, namun tidak ada satu pun yang mampu membaca tulisan Jawa dalam lontar ini.

Terkait fenomena tersebut, Ilham Triyono mengatakan, masyarakat dipersilakan untuk menafsirkan sendiri berbagai isyarat atau perlambang yang muncul dalam penjamasan ini.

"Silakan ditafsirkan sendiri," tegasnya.

Menurut dia, fenomena lain berupa tidak adanya kitab sastra China yang sempat muncul dalam jamasan tahun lalu.

Usai dilakukan pendataan dan pengecekan, jimat-jimat tersebut selanjutnya dijamas oleh enam orang kerabat termasuk juru kunci yang berdiri mengelilingi altar.

Penjamasan tersebut dilakukan dengan jeruk nipis dan sinar matahari. Beberapa jimat dijamas menggunakan air yang diambil dari sumur Tegal Arum, di Slawi, Kabupaten Tegal.

Konon, Amangkurat I menggunakan air sumur Tegal Arum untuk menjamas pusakanya secara pribadi saat dalam perjalanan ke Batavia.

Setelah dilakukan penjamasan, jimat-jimat tersebut selanjutnya dimasukkan kembali ke dalam langgar dan akan dikeluarkan lagi pada jamasan tahun berikutnya.

Kepala Dinporabudpar Banyumas Dwi Pindarto saat memberikan sambutan, mencoba menafsirkan beberapa fenomena yang muncul dalam penjamasan.

Menurut dia, fenomena tersebut diyakini sebagai isyarat atau perlambang terhadap sesuatu hal yang bakal terjadi sehingga ada baiknya jika para pemimpin di pusat dapat turut menyaksikan prosesi jamasan ini.

"Kalau mau kita pahami, ada beberapa indikator yang perlu dicermati seperti yang ada di dalam 'piti'. Kalau tahun kemarin, 'benggol' (mata uang, red.) dalam 'piti' bertambah banyak dan akar jenunya ada di situ. Kita tidak tahu pertanda apa ini," katanya.

Setelah dicermati, kata dia, fenomena tersebut ternyata merupakan pertanda bahwa pada tahun 2011 banyak pejabat atau politisi yang menerima uang tetapi tidak tahu asal-usulnya sehingga tersangkut korupsi.

"Jenu kan memabukkan, dan uang di dalam 'piti' bertambah banyak. Jadi ini pertanda bahwa banyak orang yang mabuk karena banyak uang," ujarnya.

Akan tetapi dalam jamasan tahun ini, kata dia, akar jenu tersebut berada di tempat yang berisi persenjataan.

Dia pun mencoba mengaitkan dengan alokasi APBN ke sektor pertahanan atau persenjataan yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah sehingga para pejabatnya diharapkan untuk berhati-hati dalam penggunaan anggaran tersebut.

"Bapak Presiden sudah berkali-kali mengingatkan agar alokasi anggaran tersebut digunakan dengan baik," katanya.

Sementara terhadap kitab sastra Arab yang kembali berjumlah lima buah, menurut dia, hal itu dapat ditafsirkan sebagai isyarat agar bangsa Indonesia kembali melaksanakan Pancasila.

Sedangkan tali pengikat kitab sastra Arab yang berganti menjadi kain mori putih dan bersulam benang emas, kata dia, mengisyaratkan akan datangnya sosok pemimpin yang bersih dan berhati mulia.

"Saya 'matur' (katakan, red.) ini secara pribadi, 'mbok menawa bener' (siapa tahu benar, red.)," kata dia dalam bahasa Indonesia bercampur Jawa.

Terkait tulisan sastra Jawa pada lembaran daun lontar yang tidak bisa terbaca, menurut dia, mengisyaratkan agar masyarakat selalu ingat dan waspada.

Menurut dia, hal itu terlihat dari tulisan Jawa yang terbolak-balik dan bertumpuk-tumpuk sehingga tidak terbaca meskipun tertulis jelas, dan secara kebetulan petugas yang biasa membacakan tulisan daun lontar tersebut berhalangan hadir.

"Kalau benda-benda ini sudah terlanjur masuk (ke dalam langgar), kita tidak mungkin bisa membacakan kembali ketika petugas tersebut datang, karena benda-benda ini akan dikeluarkan lagi pada jamasan tahun depan. Oleh karena itu, kita harus 'eling' dan waspada, karena tulisan itu 'molak-malik lan tumpuk undung' (terbolak-balik dan bertumpuk-tumpuk)," katanya.

Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.

Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Amangkurat dikabarkan sempat singgah di Kalisalak, dan meninggalkan pusaka-pusaka itu agar tak membebani perjalanannya menuju Batavia. Amangkurat menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677.  (ANT)

Pewarta: Sumarwoto

Editor : AWI-SEO&Digital Ads


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012