Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Susi Handayani menyebutkan layanan perlindungan bagi perempuan dan anak, terutama anak dan perempuan difabel di Bengkulu masih minim. 

"Walaupun UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah disahkan, dengan banyak sekali mandat di dalamnya, Kota Bengkulu belum memiliki kebijakan khusus untuk kelompok difabel, terutama perempuan dan anak difabel," kata Susi, di Bengkulu, Jumat.

Susi menilai perempuan dan anak difabel masih sangat rentan mengalami kekerasan dengan pelaku terbanyak dari keluarga dan teman sepermainan.

"Seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, perbuatan salah dan eksploitasi ekonomi baik difabel dan non difabel masih cukup banyak ditemui dan para pelakunya adalah keluarga terdekat," kata Susi.

Untuk itu, PUPA berencana menindaklanjuti keberadaan sekolah gradiasi, di mana sekolah ini nantinya menjadi sarana untuk mengajak para korban kekerasan berbicara dan berani menyampaikan keluhan yang selama ini justru lebih banyak dipendam. 

"Ketika mengalami kekerasan, perempuan dan anak difabel masih cenderung untuk diam saja karena merasa tidak berdaya untuk melawan, tidak berani untuk melapor karena takut dipersalahkan dan tidak tau kemana harus melapor. Juga karena pertimbangan nama baik keluarga," kata Susi. 

Tak hanya itu, latarbelakang perempuan dan anak difabel masih kesulitan mengakses ruang publik, karena dari segi infrastruktur dan layanan, karena pembangunan infrastruktur di Kota Bengkulu belum memiliki perspektif disabilitas, baik dari pendidikan, kesehatan, dan area publik maupun sosial. 

"Hal tersebut bisa dilihat dari struktur bangunan sekolah, fasilitas toilet umum, pintu masuk, juga papan informasi, jenis permainan di taman bermain," katanya.

Pewarta: Bisri Mustofa

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020