Bengkulu (ANTARA) - Jaringan organisasi masyarakat sipil Sumatera untuk advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merilis tingginya angka kekerasan seksual di Sumatera selama tahun 2020.
Organisasi masyarakat sipil di Sumatera yang tersebar di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Bandar Lampung ini meramu sejumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 254, menimpa pada anak dan perempuan.
Perwakilan jaringan dari Yayasan Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Susi Handayani mengungkap, saat ini di Sumatera sedang darurat kekerasan seksual, di mana negara wajib berpihak pada korban.
"Kami mendesak DPR RI segera untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual kedalam prolegnas prioritas dan segera sahkan demi perlindungan yang hakiki bagi korban kekerasan seksual yang selama ini terabaikan oleh negara," katanya.
Susi mengatakan, situasi ini ditengarai darurat kekerasan seksual tanpa ketiadaan regulasi yang memulihkan korban kekerasan seksual sehingga berdampak pada perkembangan generasi masa depan bangsa.
254 kasus tersebut dirincikan Sumatera Barat sebanyak 34 kasus, Jambi 8 kasus, Bengkulu 25 kasus, Sumatera Selatan 57 kasus, Sumatera Utara 61 kasus, Aceh 17 kasus, Bandar Lampung 45 kasus dan Riau 7 kasus.
Berdasarkan data tersebut, jaringan organisasi ini menyimpulkan bentuk kekerasan seksual yang terjadi diantaranya perkosaan, termasuk perkosaan di ranah keluarga kandung (Incest), pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan traficking yang dibarengi kekerasan seksual.
Kemudian kasus pemaksaan perkawinan, sodomi, kekerasan dalam pacaran, pemaksaan aborsi hingga kekerasan berbasis gender online.
Dari kasus ini didapati 4.833 kasus se Indonesia (hingga 18 Agustus 2020) atau 5,25% di Sumatera.
Susi menambahkan, saat ini kondisi ruang aman dari kekerasan seksual terancam oleh predator kekerasan seksual.
"Situasi darurat kekerasan seksual ini mesti segera disikapi serius oleh negara. Salah satunya dengan melahirkan regulasi yang melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual di Indonesia yakni RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," sampainya.
"Oleh karenanya, kami menuntut DPR RI untuk memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi prolegnas prioritas yang akan disidangkan pada 9 Oktober 2010," tambah Susi.
Selanjutnya, pihaknya mendesak Pemerintah dan DPR RI sesegera mungkin mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Bagi kami, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah penyelamat korban kekerasan dan penyelamat bagi nasib anak bangsa kedepan," kata Susi.