Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan upaya pemulihan 14 juta hektare lahan kritis di Indonesia membutuhkan waktu hingga 60 tahun.
"Diperlukan waktu selama 60 tahun untuk pemulihan lahan kritis di Indonesia. Karena itu kesadaran dan peran penting masyarakat sangat diharapkan," kata Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung KLHK Handoyo dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.
Melalui webinar yang digelar Pusat Kajian Silvikultur Intensif Hutan Tropis Indonesia memperingati dies ke-57 Fakultas Kehutanan UGM, Handoyo mengakui menghadapi 14 juta hektare lahan kritis bukan persoalan mudah.
Dengan mendapat dukungan APBN dan APBD serta swasta, menurut dia, kemampuan pemulihan lahan kritis hanya 232.250 hektare per tahun.
Menurut dia, lahan kritis muncul akibat degradasi lahan berupa pengurangan status lahan secara fisik, kimia dan atau biologi sehingga menurunkan kapasitas produksi.
Fenomena itu terjadi karena ada beberapa sebab diantaranya berkurangnya lahan basah, perluasan lahan pertanian subsisten, perluasan lahan industri tidak ramah lingkungan, dan dinamika penggunaan lahan.
"Tentu saja lahan kritis atau terdegradasi ini menjadikan kurang berfungsi dengan baik untuk ditanami," kata dia.
Hudoyo mengatakan berkurangnya lahan basah seperti mangrove yang memiliki luas 3,4 juta ha, sebanyak 1,8 juta ha dalam kondisi kritis dan 1,6 kondisi baik. Sementara kemampuan rehabilitasi lahan mangrove ini hanya 1.000 ha per tahun, belum lahan basah yang gambut.
Demikian pula kondisi perluasan lahan pertanian subsisten yang mengakibatkan lahan pertanian meningkat 18,7 persen, dan menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi.
Perluasan produksi minyak sawit, kayu lapis, serta industri pulp-kertas, menurut dia, juga turut menyumbang terjadinya degradasi lahan.
"Belum lagi adanya dinamika penggunaan lahan, berupa perubahan fungsi lahan prima menjadi lahan kritis dan lahan rusak," kata dia.
Akibat degradasi lahan ini, kata dia, berbagai isu harus dihadapi diantaranya musim kemarau panjang atau kekeringan, minimnya peresapan air ke dalam tanah dan kekurangan sumber daya air.
Berbagai upaya yang saat ini sedang dilakukan, menurut dia, mulai dari pembuatan hujan buatan, pembuatan sumur resapan, menghidupkan mata air dengan kegiatan penanaman di sekitar sumber mata air dan lainnya.
Hudoyo menyatakan rencana aksi nasional berupa pengurangan degradasi lahan guna mendukung ketahanan pangan telah dilakukan dengan mendorong peningkatan kesadaran dan pendidikan terutama untuk kalangan generasi muda.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
"Diperlukan waktu selama 60 tahun untuk pemulihan lahan kritis di Indonesia. Karena itu kesadaran dan peran penting masyarakat sangat diharapkan," kata Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung KLHK Handoyo dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.
Melalui webinar yang digelar Pusat Kajian Silvikultur Intensif Hutan Tropis Indonesia memperingati dies ke-57 Fakultas Kehutanan UGM, Handoyo mengakui menghadapi 14 juta hektare lahan kritis bukan persoalan mudah.
Dengan mendapat dukungan APBN dan APBD serta swasta, menurut dia, kemampuan pemulihan lahan kritis hanya 232.250 hektare per tahun.
Menurut dia, lahan kritis muncul akibat degradasi lahan berupa pengurangan status lahan secara fisik, kimia dan atau biologi sehingga menurunkan kapasitas produksi.
Fenomena itu terjadi karena ada beberapa sebab diantaranya berkurangnya lahan basah, perluasan lahan pertanian subsisten, perluasan lahan industri tidak ramah lingkungan, dan dinamika penggunaan lahan.
"Tentu saja lahan kritis atau terdegradasi ini menjadikan kurang berfungsi dengan baik untuk ditanami," kata dia.
Hudoyo mengatakan berkurangnya lahan basah seperti mangrove yang memiliki luas 3,4 juta ha, sebanyak 1,8 juta ha dalam kondisi kritis dan 1,6 kondisi baik. Sementara kemampuan rehabilitasi lahan mangrove ini hanya 1.000 ha per tahun, belum lahan basah yang gambut.
Demikian pula kondisi perluasan lahan pertanian subsisten yang mengakibatkan lahan pertanian meningkat 18,7 persen, dan menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi.
Perluasan produksi minyak sawit, kayu lapis, serta industri pulp-kertas, menurut dia, juga turut menyumbang terjadinya degradasi lahan.
"Belum lagi adanya dinamika penggunaan lahan, berupa perubahan fungsi lahan prima menjadi lahan kritis dan lahan rusak," kata dia.
Akibat degradasi lahan ini, kata dia, berbagai isu harus dihadapi diantaranya musim kemarau panjang atau kekeringan, minimnya peresapan air ke dalam tanah dan kekurangan sumber daya air.
Berbagai upaya yang saat ini sedang dilakukan, menurut dia, mulai dari pembuatan hujan buatan, pembuatan sumur resapan, menghidupkan mata air dengan kegiatan penanaman di sekitar sumber mata air dan lainnya.
Hudoyo menyatakan rencana aksi nasional berupa pengurangan degradasi lahan guna mendukung ketahanan pangan telah dilakukan dengan mendorong peningkatan kesadaran dan pendidikan terutama untuk kalangan generasi muda.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020